Oleh : Nurbani Yusuf*
Jika jelas dipandang bahwa ada kecurangan dan kezaliman politik dalam pilpres, siapakah yang paling berhak menuntut –apakah partai politik peserta pemilu, timses, atau ormas semacam Muhammadiyah?
^^
Apakah para ulama dan pimpinan Muhammadiyah harus membuat pernyataan keras, mengutuk rezim atau menyeru umatnya melakukan people power berteriak turun ke jalan –sementara para pendukung dan pimpinan partai politik duduk manis diam menunggu pembagian jatah kursi kekuasaan?
Sebuah cara keji jika hanya menjadikan ormas keagamaan (Muhammadiyah, NU, Persis, Al
Irsyad) sebagai payung atau tukang dorong motor mogok dan tempat berlindung karena kalah. Kemudian menuntut banyak macam, agar begini dan begitu –kenapa tidak begini kenapa tidak begitu– hingga lupa adab pada ulama dan abai pada kaidah organisasi. Ini saya sebut zalim, karena meminta sesuatu yang tidak ada padanya.
Sejak kapan semua ketidakadilan politik, kezaliman rezim, kecurangan pilpres, dan segala macam urusan partai politik dibebankan kepada Muhammadiyah? Masing-masing kita sudah punya porsi dan tak harus saling menafikkan dan merasa paling.
Nahi munkar Muhammadiyah telah lama dilakukan –bahkan sebelum NKRI berdiri– ketika HTI atau FPI atau parpol masih menjadi orok, dengan cara dan model yang berbeda: membangun sekolah adalah jihad melawan kebodohan. Membangun rumah sakit adalah jihad melawan kemusyrikan. Menggerakkan Lazis adalah jihad melawan kemiskinan. Membangun masjid adalah jihad melawan bid’ah. Inilah amar ma’ruf-nahi munkar yang dipilih. Bukan berteriak-teriak di pinggir jalan sambil membakar ban bekas. Apalagi hanya sekedar berkomentar keras di WA atau membagikan berita hoax lantas merasa telah berbuat banyak. Keberpihakan Muhammadiyah terhadap rakyat sangat jelas bahkan melampaui tugas negara dan hal ini telah terbukti. Kerja besar-kerja iklas tanpa berharap sanjung puji.
^^^
Satu kesuksesan yang tak bisa dibantah dari politik identitas adalah framing capres yang didukung tak boleh salah dan hanya lawan yang selalu salah.
Kemudian dicarikan pembenaran, bahkan Tuhanpun dipersalahkan karena mengijabah doa tak sesuai kehendak. Ini soal besarnya, merasa diri dan kelompoknya yang paling benar. Semacam musyrik akut karena menganggap hanya dirinya yang benar.
Politik identitas berubah menjadi semacam brainwashing massal; indoktrinasi terstruktur, sistematis, dan masif. Para pengikutnya seperti kerumunan yang tidak berakal, karena mengikuti semua bentuk informasi yang diterima tanpa tabayyun dan dipikir dengan nalar sehat.
^^
Karena sikap politik yang demikian inilah konflik di timur tengah tak pernah bisa reda. Perang antara Taliban dan Mujahidin di Afghan, pertengkaran ISIS, Hizbullah, Baat, dan kelompok-kelompok Islam identitas lainnya di Syuriah, Houthi di Yaman, dan Wahabi takfiri, tumbangnya kongsi politik Ikhwan Hasan Turoby dan Omar Hasan di Sudan dan banyak lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah pertempuran antar Islam dengan melibatkan politik identitas. Kita tak pernah benar-benar melawan orang kafir, orang munafik, orang China, tetapi bertengkar melawan sesama teman seiman yang dikafirkan atau dituduh munafik karena beda identitas dan pilihan.
Narasi politik para ulama penggiat politik identitas seakan menjadi bahan bakar yang tidak pernah bisa habis, terus membakar dan menghabiskan semua yang ada. Mendorong referendum untuk memisahkan diri adalah bentuk-bentuk irasionalitas politik identitas karena kalah pilpres.
Para ulama, pimpinan ormas, atau perkumpulan apapun harus siap dibully karena bersikap tidak sesuai dengan yang dihendaki. Mereka hanya mau taat dengan yang sesuai kehendak hatinya dan akan menolak apapun yang tidak sesuai dengan keinginannya. Inilah yang harus dibayar mahal. Tumbuhnya firqah politik (bukan firqah fiqh) yang kecil tapi fanatik bahkan cenderung beringas meski saya tak yakin mereka mempunyai nyali jika dihadapkan dengan pernyataan yang benar-benar keras di muka publik.
^^^
Pola berpikir seperti inilah yang sekarang tumbuh berkembang mengitari, tanpa kontrol, terus merambat, dan entah kapan menemukan muaranya. Ini persoalan kita bersama yang harus diurai dan diluruskan kembali agar kapal tetap di haluan sesuai khittah. Tugas besar Muhammadiyah adalah tetap menjaga NKRI utuh bersatu. Bukan menjadi alasan hanya karena kalah pilpres lantas berkeras memisah ingin membentuk negara sendiri. Wallahutaala a’lam
*) Komunitas Padhang Makhsyar