Kim Hyung-Jun, namanya. Dia adalah seorang guru besar dalam antropologi budaya di Kangwon National University, Korea Selatan. Ketika menamatkan studi doktoralnya di The Australian National University (ANU), Canberra, Kim meneliti tentang Muhammadiyah di sebuah desa di Yogyakarta. Penelitian itulah yang kemudian menjadi disertasi dengan judul Reformist Muslims in a Yogyakarta Village: The Islamic Transformation of Contemporary Socio-Religious Life. Karya itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah dengan judul Revolusi Perilaku Keagamaan di Pedesaan Yogyakarta (2017).
Kim Hyung-Jun dan Muhammadiyah yang Tidak Sombong
Sebagai antropolog, Kim tertarik meneliti Muhammadiyah, karena dalam pandangannya banyak sekali nilai-nilai positif yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Belakangan, Kim meneliti tentang tradisi demokrasi dalam Muhammadiyah, dan ia mencatat sejumlah nilai positif. Dalam sebuah diskusi daring di Universitas Muhammadiyah Malang Ramadhan lalu, Kim membuat suatu pernyataan mengejutkan. “Menurut saya, Muhammadiyah harus lebih sombong,” demikian kata Kim. Pernyataan ini muncul dalam konteks pembicaraan tentang praktik-praktik baik yang telah dijalankan oleh Muhammadiyah dalam berbagai bidang kehidupan. Atau yang dalam istilah masa kini disebut dengan best practices.
Telah sangat banyak best practices yang dijalankan oleh Muhammadiyah. Sayangnya, Kim memandang, best practices itu jarang terdengar secara luas. Padahal, hal-hal baik yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu bisa menjadi pemicu bagi organisasi atau komunitas lain untuk melakukan kebaikan serupa. Kebaikan Muhammadiyah tak banyak terdengar, karena menurut Kim, para pemimpin Muhammadiyah kurang berani membicarakan hal-hal baik yang telah dilakukan itu.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang juga hadir dalam kajian tersebut menanggapi pernyataan Kim dengan mengungkapkan bahwa memang kenyataan itu terjadi di Muhammadiyah. Pimpinan maupun anggota Muhammadiyah takut dianggap riya’ (pamer) atau tidak ikhlas jika harus membicarakan kebaikan-kebaikan itu secara publik. Karena itu, di Muhammadiyah berkembang jargon “sedikit bicara banyak kerja.”
Sebagai orang luar, saya meyakini pernyataan Kim sangatlah jujur. Kejujuran Kim ini tak pula berlebihan, karena senyatanya, Muhammadiyah memang menjadi pelopor dalam berbagai hal. Kepeloporan inilah yang menjadi salah satu poin modernitas Muhammadiyah. Secara implisit, Masdar Hilmy, rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya memberikan penegasan pada hal tersebut. Dalam sebuah seminar di UMM, ia menyebut bahwa kepeloran Muhammadiyah rupanya diikuti oleh banyak kalangan, tak terkecuali Nahdlatul Ulama. Kata Masdar, “saya menunggu kepeloporan-kepeloporan yang baru,” agar modernitas Muhammadiyah tetap terjaga.
Ormas Paling Peduli dengan Pandemi
Data terbaru tentang kepeloporan Muhammadiyah itu baru saja dirilis oleh Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan (LKSP). Lembaga ini menempatkan Muhammadiyah pada posisi pertama organisasi kemasyarakatan yang memiliki kepedulian paling tinggi terhadap kepentingan warga di masa wabah global covid-19 ini. Selain pengakuan LKSP, belum lama ini, di dunia maya juga beredar sebuah tulisan berjudul: “Lagi-lagi Muhammadiyah, Saya Jadi Curiga.” Andriawan, penulis artikel itu, menyatakan keheranannya atas segala hal yang dilakukan oleh Muhammadiyah berkaitan dengan aksi-aksi kemanusiaan.
Namun, ia melihat ironi. Di tengah gejolak politik, Muhammadiyah selalu mengambil netral. Sementara ketika terjadi bencana di banyak tempat, Muhammadiyah justru bergerak di garda depan. Itu menjadikan Andriawan curiga: Apa yang sesungguhnya dicari Muhammadiyah? Namun, dalam keheranan itu dia mengamati: “…selalu yang dilakukan miskin publikasi, seolah tanpa pamrih.”
Karena penulis artikel tersebut baru mengenal Muhammadiyah, maka ia menganggap Muhammadiyah adalah sebuah LSM. Dari situ lalu ia mengambil sebuah kesimpulan: “…dan saya baru tahu kalau Muhammadiyah ternyata sudah 100 tahun lebih berbuat seperti ini… dan LSM ini memang sudah mengambil jalan selalu berkiprah dalam kesunyian, berbuat hanya untuk sesama.”
Bagi kalangan Muhammadiyah sendiri, kenyataan seperti ini sebenarnya merupakan bagian dari nilai dasar Muhammadiyah. Muhammadiyah memilih bekerja untuk manusia demi tegaknya kemanusiaan dan sama sekali bukan untuk memeroleh pengakuan manusia. Namun, bagi para pengamat, miskinnya publikasi atas aktivitas kemanusiaan Muhammadiyah dan jalan sunyi yang ditempuh oleh Muhammadiyah dalam melakukan pengabdian kepada kemanusiaan memang itu masih merupakan tanda tanya yang bagi mereka tak mudah untuk dijawab. Pada dasarnya, fakta ini tidak bisa dipisahkan dari karakter dasar Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan. Jainuri dalam Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal (2002), menarik garis korelatif antara doktrin pembaruan dengan amal sosial.
Wajah Kemanusiaan Islam
Dalam pembaruan, agama harus dipisahkan dari ritualisme dan mistisisme yang menyimpang. Sikap seperti ini, kata Jainuri “mendorong gerakan-gerakan pembaharuan, dan khususnya Muhammadiyah, untuk mencari signifikansi sosial dari setiap bentuk ritual agar ritual tersebut tidak terpisah dari etika sosial.” Dari sini bisa difahami bahwa gerakan kemanusiaan Muhammadiyah pada dasarnya merupakan implementasi dari amal ritual, karena amal ritual harus mewujudkan diri dalam etika sosial.
Maka amal ritual yang berdimensi individual itu harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang berdimensi sosial. Sehingga, sebagaimana amal ritual yang harus dirahasiakan, maka amal sosial pun harus tetap dijaga dalam pola sepi ing pamrih rame ing gawe (sedikit bicara banyak bekerja). Melihat gerakan Muhammadiyah yang demikian ini, Herman L Beck, seorang pengkaji Muhammadiyah dari Belanda, lalu menyebut Muhammadiyah sebagai “gerakan aktualisasi.” Tujuannya, kata Herman, adalah untuk “mengaktualisasikan Islam sesuai dengan masa kita hidup.” Aksi-aksi kemanusiaan Muhammadiyah pada dasarnya adalah aktualisasi terhadap Islam yang sesuai dengan masa kita hidup itu.
Maka seruan Kim agar Muhammadiyah lebih sombong itu pada dasarnya bukan seruan negatif. Kim berpandangan bahwa nilai-nilai baik yang dipraktikkan Muhammadiyah perlu ditularkan kepada komunitas yang lain. Saya sendiri ingin menyebut aksi-aksi kemanusiaan Muhammadiyah itu sebagai salah satu “wajah kemanusiaan Islam.” Kim rupanya resah bagaimana Muhammadiyah yang telah berhasil menunjukkan wajah kemanusiaan Islam itu hanya “diam”, dan seperti tak memiliki “nafsu” untuk pamer. Dalam hal ini, Abdul Mu’ti menyebut bahwa bagi Muhammadiyah sangatlah tidak mungkin mempromosikan tindakannya sendiri. Sebaliknya, kalangan non-Muhammadiyah seperti Kim harus berbicara tentang nilai positif Muhammadiyah ini karena akan lebih terjamin obyektivitasnya.
Muhammadiyah Sekali-Kali Perlu Sombong
Sebagaimana kaitannya dengan pembaruan Islam, Muhammadiyah yang “kurang sombong” terhadap prestasi amal sosialnya, sebenarnya merupakan refleksi dari gerakan puritan yang menjadi ciri dasarnya. Puritanisme tak hanya bermakna pemurnian Islam dari aspek-aspek yang mencemari kemurnian ibadah; tetapi lebih jauh dari itu, puritanisme dalam konteks Muhammadiyah bermakna purifikasi hati. Membersihkan hati dari segala macam pikiran orientasi duniawi.
Dari sinilah lalu timbul keikhlasan. Dari rasa ikhlas itu, lalu tokoh-tokoh, pemimpin, anggota maupun simpatisan Muhammadiyah yang terlibat dalam aneka proyek kemanusiaan tak lagi memandang pentingnya publikasi dan apalagi remunerasi. Jangankan hanya publikasi, sedangkan jika dalam menjalankan proyek-proyek kemanusiaan itu mereka harus mengorbankan harta pribadi, itu akan terjadi. Ini juga bermakna bahwa jika dalam menjalankan kepemimpinan Muhammadiyah, termasuk aneka unit sosialnya, orientasi keduniaan yang dikedepankan, maka saat itulah tanda-tanda kehancuran segera terlihat.
Etos seperti ini tak hanya menjadi ciri Muhammadiyah sebagai komunitas, tetapi mewujud dalam pribadi-pribadi penggeraknya. Ataukah justru sebaliknya, karena Muhammadiyah didukung oleh pribadi-pribadi yang ikhlas itulah, sehingga wajah komunal Muhammadiyah terlihat sangat humanis dan filantropis. Dengan pola ini, di balik kebesaran amal usaha Muhammadiyah, pribadi-pribadi ikhlas itu selalu hadir sebagai pilar. Dan, karena keikhlasan itulah, mereka tak pernah muncul ke permukaan.
Maka, betapapun Muhammadiyah sering dianggap anti-tasawuf, sesungguhnya praktik keikhlasan seperti ini merupakan wujud lain dari sufisme. Khozin dalam Sufisme Tanpa Tarekat: Praksis Keberagamaan Muslim Puritan (2013) mengungkap fakta bahwa tasawuf yang dipraktikkan di Muhammadiyah adalah tasawuf akhlaqi, dan bukan tasawuf dalam arti formal yang harus terikat dengan tarekat atau ordo tertentu. Keikhlasan dalam beramal sosial inilah wujudnya.
Dalam semangat ini, hemat saya, Muhammadiyah harus tetap bertahan untuk tidak sombong. Namun, karena jalan yang ditempuh oleh Muhammadiyah dianggap mampu menjadi inspirasi dan motivasi bagi kelompok Islam lain, atau bahkan kelompok non-Muslim, baik di Indonesia maupun di seantero belahan dunia, maka sesungguhnya menyombongkan diri sekali-kali perlu. Hanya saja, akan lebih baik jika pengamat-pengamat Muhammadiyah seperti Kim yang menyombongkan Muhammadiyah. Cukuplah bagi Muhammadiyah untuk tiada henti menebar kebaikan tanpa terbebani dengan popularitas dan pamrih, seperti selama ini sudah berlangsung. Bukankah itu salah satu rahasia mengapa Muhammadiyah mampu bertahan sampai dengan hari ini?
Editor: Yusuf R Y