Oleh: Makmun Pitoyo*
Saya beranggapan bahwa Muhammadiyah itu, insyaAllah, sudah benar karena beberapa hal. (jika ternyata salah di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengampuni kita. Juga menunjukkan kita pada jalan yang benar serta memberi kekuatan lahir batin untuk memegangnya sampai akhir hayat kita, amin). Hal-hal yang membuktikan bahwa Muhammadiyah itu benar antara lain:
Tidak Menyelisihi Nabi
Pertama, dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) pada penutup bab iman, disebutkan bahwa “inilah pokok-pokok aqidah yang benar yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits dan dikuatkan oleh berita-berita yang mutawatir. Maka barangsiapa yang percaya akan semua itu dengan keyakinan yang teguh, masuklah ia ke dalam golongan Ahlul Haqqi Was Sunnah (golongan pengikut kebenaran dan sunnah), serta lepas dari golongan Ahlul Bid’ah dan kesesatan”.
Dalil yang dipakai oleh HPT dalam masalah ini adalah hadits tentang Firqotun Najiyah yang berbunyi “…..Ma Ana Alaihi Wa Ashhabi”. Ahlul Haqqi Was Sunnah, menurut informasi ustadz Wahyudi Abdurahim, adalah istilah yang dimunculkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari (260 H). Seorang ulama besar yang diakui banyak kalangan, terutama di bidang ilmu kalam.
Dalam kitab beliau yang terakhir Al-Ibanah ‘An Ushulid Diyanah, dikatakan bahwa beliau membenarkan dan mengikuti pandangannya Imam Ahmad bin Hanbal (164 H). Sebagaimana perkataan beliau, “pendapat yang kami ucapkan serta agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan kitab Allah Rabb kita dan Sunnah nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, serta yang diriwayatkan dari para tokoh sahabat dan tabi’in, serta para ulama hadits. Kami genggam erat hal itu.”
Kami juga berkeyakinan seperti keyakinan Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal-semoga Allah menyinarkan wajah beliau, serta mencurahkan pahala kepada beliau. “Siapa yang menyelisihi beliau, maka kamipun menyelisihinya. Karena beliaulah imam yang mulia, pemuka yang sempurna”. Imam Ahmad bin Hambal sendiri adalah salah satu dari empat Imam Mazhab yang diyakini oleh kita semua sebagai bagian dari ulama Ahlus Sunnah, pengikut kaum salaf.
Dimana beliau ini yakni Imam Ahmad bin Hambal, adalah imam yang pendapatnya juga banyak mempengaruhi pemahaman Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qoyyim. Kalimat-kalimat yang muncul di HPT menunjukkan ketersambungan Muhammadiyah dengan para ulama salaf sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Kata-kata “Firqotun Najiyah” juga disebut pula dengan Ahlul Haqqi Was Sunnah atau Ahlus Sunnah Wal Jamaah, atau Thoifah Al-Mushuroh, yang merupakan golongannya para salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Muhammadiyah Itu Benar
Kedua, Muhammadiyah dengan sangat jelas mengajak anggotanya untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah. Dua kitab yang memang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya untuk dipegang erat oleh umat Islam.
Muhammadiyah juga mengajak apabila ada perkara yang belum jelas atau terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama (maaf, bukan orang awam) tentang suatu perkara agama, maka agar dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini dapat dilakukan menggunakan pintu ijtihad dengan beberapa metode seperti ijma’ dan qiyas. Jika terjadi ta’arudh maka melalui Al-jam’u Wat taufiq, atau tarjih, atau naskh, atau jika tidak mungkin maka tawaqquf. Metode-metode ini juga dilakukan oleh banyak kalangan ulama fiqih.
Manhaj Muhammadiyah
Ketiga, Muhammadiyah tidak mengikatkan dirinya pada satu mazhab tertentu yang bersifat perorangan. Mungkin saja karena keterbatasannya maka ada pendapat perorangan yang keliru. Di samping bahwa ketika seseorang meyakini kebenaran mazhab tertentu dan memeganginya dengan erat, maka pada saat yang bersamaan sesungguhnya ia sedang membantah (atau paling tidak melemahkan) hujjah yang dibawa mazhab lain.
Artinya, secara tidak langsung orang tersebut mengakui bahwa bisa jadi ada suatu pendapat imam mazhab yang keliru termasuk yang dipegangnya. Maka, argumen ini tepat. Sehingga yang diambil adalah manhajnya.
Manhaj Muhammadiyah ini, secara objektif, harus kita katakan sama atau hampir sama dengan manhaj salaf. Tetapi seandainya karena suatu sebab, kita tidak ingin mengatakannya demikian. Kemudian ingin mengganti dengan istilah manhaj tarjih muhammadiyah misalnya, ya tidak mengapa meskipun itu semua tetap tidak mengurangi hakekat salafinya.
Ini saya rasa harus jelas dan clear bagi jamaah Muhammadiyah, tidak gamang. Sehingga ber-Islam itu mudah: terhadap suatu masalah agama, maka carilah di al-Quran. ada perintah laksanakan, ada larangan tinggalkan. Belum ketemu masalahnya dalam Al-Qur’an (secara rinci), carilah di Sunnah Nabi. Ada perintah laksanakan, ada larangan tinggalkan.
Belum ketemu juga di sunnah Nabi, carilah pendapat (ijtihad) para ulama (termasuk ulama tarjih Muhammadiyah). Ketemu perintah laksanakan, ketemu larangan tinggalkan. Jika kebetulan karena sama-sama melaksanakan perintah tapi beda pemahaman ya itulah khazanah keislaman yang sifatnya Ijtihadiyah (mujtahidnya jika benar berpahala 2, dan jika salah berpahala 1). Tetapi jangan sampai kita membencinya karena ia (saudara semuslim) sedang (berusaha) melaksanakan sunnah atau paling tidak sedang melaksanakan barang-barang yang mubah.
Tentang persoalan ada klaim menggunakan kata “salafi” atau “salafiyyah” bagi kalangan tertentu, ya maka sejarah perjalanan dakwah ini harus menjadi pelajaran bagi kita untuk mengatur kembali strategi dakwah yang tepat. Agar tidak kontra-produktif, apalagi menjadi berpecah belah karena masalah Ijtihadiyah. Sedangkan umat Islam wajib bersatu sebagaimana perintah Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 103. Wallahu A’lam Bis Shawab.