Pukul 07.30 WIT pada Sabtu (26/03/22), kami – Tim Peneliti Pusat Studi Muhammadiyah – tiba di Kampung Warmon, Distrik Mayumuk, Sorong, Papua Barat. Perjalanan kami melewati setapak di antara pematang sawah disambut surya bumi cendrawasih yang amat cerah dan cukup terik.
Sebab secara geografis, kampung ini berdekatan sekali dengan laut. Kampung Warmon sendiri dihuni oleh Suku Kokoda, suku asli Papua yang mayoritas beragama muslim.
Memasuki kampung, kita disambut oleh sebuah sekolah dengan satu bangunan beton dan palang bertuliskan “SD UNIMUDA” lengkap dengan alamat sekolah tersebut, dan di sebelahnya juga dipakai sebagai PAUD.
Hanya ada PAUD dan SD di kampung ini. Itu pun baru ada sejak 2010. Sekolah ini dari awal berdiri hingga saat ini dibangun dan dikelola serta dijadikan Lab School oleh STIKIP Muhammadiyah Sorong, yang saat ini berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong (UNIMUDA).
Pendidikan merupakan ujung tombak pemberdayaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah kepada Suku Kokoda. Senada dengan yang diceritakan oleh Pak Oki, mantan kepala sekolah SD Unimuda di Kampung Warmon tersebut.
Ia menceritakan bagaimana perjuangan Muhammadiyah melalui sekolah ini bukan sekadar menjadikan anak-anak pintar, namun berfokus untuk mengubah kebiasaan anak-anak agar lebih disiplin dan hidup teratur.
Pendidikan di sana jangan kita bayangkan belajar mata pelajaran dengan serius seperti sekolah pada umumnya, namun masih berkutat pada penanaman karakter siswa.
Pak Oki menceritakan bagaimana ia bersama guru lainnya harus mendatangi satu persatu rumah, menyuruh anak-anak mandi, lalu mengajak beranjak ke sekolah.
Tidak jarang pula, mereka harus melobi orang tua wali agar dapat memaksa anaknya pergi ke sekolah. Cerita ini berlangsung sejak awal sekolah berdiri hingga hari ini.
Kami lanjut berjalan menyusuri jalan setapak. Di sebelah sekolah, ada rumah baca. Di sana, tertulis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Rupanya, ini didirikan oleh kelompok KKN dari UMY beberapa tahun lalu sebagai upaya membiasakan anak-anak kokoda dengan literasi.
***
Di sebelahnya, ada mesjid berdiri kokoh yang didirikan pada Tahun 2008 sebagai pusat kegiatan keagamaan Suku Kokoda di Kampung Warmon yang mayoritas muslim.
Semakin memasuki kampung, rasanya memang tidak seperti kawasan perumahan suku adat pada umumnya. Sebab, bangunan yang berdiri sudah cukup kokoh bernuansa modern.
Rupanya, berdasarkan cerita dari Pak Bachtiar yang merupakan Ketua Pusat Studi Muhammadiyah sekaligus Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah, melalui pendampingan Muhammadiyah, kampung ini telah menerima bantuan pembangunan rumah untuk warga.
Cukup disayangkan, kampung Warmon belum memiliki rumah adat. Sebelumnya, ada sebuah rumah adat yang telah dibangun sekaligus sebagai kantor desa. Namun pada saat kami ke sana, bangunan itu sudah tidak ada. Kabarnya, hancur akibat banjir dan baru hendak dibangun ulang kembali.
Besar harapan di pembangunan yang akan datang dapat dibangunkan bangunan yang identik dengan identitas mereka sebagai Suku Kokoda. Biarlah ini menjadi cita-cita. Sebab, jika menoleh ke beberapa tahun lalu, jangankan rumah adat, rumah untuk tempat tinggal saja mereka masih kekurangan dan sangat seadanya.
Kami lanjut berkeliling kampung sembari mengobrol dengan Bapak Syamsuddin Namugur, tokoh sekaligus kepala desa di sini, warga biasa memanggilnya “Bapak Desa”.
Kampung ini dibelah oleh sungai Warmon, untuk itulah dinamakan Kampung Warmon. Kampung inipun sudah mulai ramai, tidak hanya dihuni oleh Suku Kokoda.
Namun menurut pemaparan Pak Syamsuddin, sejak kampung ini resmi dijadikan sebagai Desa pada Tahun 2015, suku-suku lain mulai ikut menghuni seperti Jawa dan Bugis.
Jumlah Kepala Keluarga pun meningkat drastis, dari awalnya hanya sekitar 60-an, saat ini ada sekitar 300 lebih.
Kokoda dan Beribu Stigma Negatif
Salah satu hal paling menarik bagi kami saat meneliti Suku Kokoda adalah beragam stigma negatif yang menghinggapi mereka sedari dulu.
Pasalnya, masyarakat Kokoda yang mendiami kampung ini awalnya adalah masyarakat nomaden dari pulau Kokoda di Sorong Selatan.
Mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Setiap mereka pindah dan mendiami suatu tanah, gesekan dan konflik sosial selalu tidak terhindarkan terutama dengan masyarakat transmigran.
Beragam stigma tertempel kepada suku kokoda seperti pemalas, pencuri, kasar, keras kepala, tidak sopan dan lain sebagainya yang lahir dari konflik-konflik sosial tersebut. Hingga ketika mereka mulai menetap di Desa Makbusum Distrik Mayamuk, mereka kian dikucilkan bahkan tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah Desa setempat.
Beragam masalah tersebutlah yang mengundang keprihatinan Muhammadiyah. Bapak Rustamadji yang waktu itu menjadi ketua STKIP Muhammadiyah Sorong melihat kampung itu pada 2007.
Ia prihatin dengan masyarakat Kokoda yang dikucilkan, tidak memiliki tanah sendiri karena hidup nomaden, administrasi penduduk yang tidak ada, dan beragam masalah lain. Padahal, mereka adalah suku asli Papua.
Di saat kami mengobrol langsung dengan Bapak Rustamadji yang saat ini menjabat sebagai Rektor UNIMUDA mengatakan pada waktu itu stigma-stigma negatif tersebut sebagian benar adanya.
Mereka tidak tertarik diajak bercerita tentang masa depan anak-anaknya. Akan tetapi, lebih tertarik ketika ditawari uang dan bantuan. Ia menganggap, jika mereka semakin dimusuhi maka akan semakin menjadi-jadi dan menjadi masalah yang lebih besar.
Banyak tantangan yang dihadapi oleh Bapak Rustamadji bersama STIKIP PGRI pada waktu itu. Hingga, MPM PP Muhammadiyah juga turut membersamai pembangunan di Kampung ini.
Satu kalimat yang cukup membuat saya terenyuh dari Pak Rustamadji yang juga senada dikatakan oleh Pak Bachtiar yang sudah sejak lama mendampingi Kampung Warmon ini adalah:
“Biarlah sedari awal kita dicap ‘Kurang Kerjaan’ mendampingi Suku Kokoda, tapi percayalah batu sekeras apapun akan terkikis jika dijatuhi air terus menerus.”
Dari Nomaden Hingga Menjadi Kampung Muhammadiyah
“Kita dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai Kampung Muhammadiyah,” Ucap Pak Syamsuddin kepada kami sembari mengelilingi Kampung Warmon.
Ucapan itu ia lontarkan dengan alasan sudah banyak perubahan dan kemajuan yang mereka dapatkan sejak dibersamai oleh Muhammadiyah. Walaupun, hingga saat ini masih banyak sekali kekurangan baik dari aspek sumber daya manusia, infrastruktur, hingga kondisi sosial yang harus terus dimajukan.
Setidaknya, dengan keseriusan berdirinya Kampung Warmon sebagai Desa sendiri, Suku Kokoda telah melangkah menetapkan visi pembangunan melalui pemerintahan desa. Saat ini, bersama Muhammadiyah, beragam program dijalankan.
Di antaranya dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Program ketahanan pangan, Penyediaan fasilitas untuk melaut, kesehatan, hingga pengembangan pendidikan.
Tidak hanya pemerintah desa, sebagaimana namanya yaitu Kampung Muhammadiyah, Pimpinan Ranting Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah juga berjalan di Kampung Warmon. Sangat kebetulan pula, ketika kami berada di sana sedang ada pelaksanaan Posyandu yang diisiasi oleh ‘Aisyiyah di Kampung Warmon.
Konsistensi adalah kunci Muhammadiyah hadir kepada Suku Kokoda. Perubahan sosial dengan permasalahan yang cukup kompleks tersebut memang tidak bisa sekejap mata, ia memerlukan usaha-usaha berkelanjutan. Layaknya percikan-percikan air dan sinar yang jika konsisten menyegarkan dan menyinari bebatuan, ia akan berlubang dan tergerus, sekeras apapun.
Editor: Yahya FR