Tesis Deliar Noer mengenai model identitas keberislaman modern dan tradisional sesungguhnya punya konteks yang terbatas oleh ruang dan waktu. Saat itu, gelombang muslim yang berkenalan, berinteraksi, dan sedikit banyak terpengaruhi alam pikiran modern memang memiliki model yang cukup khas, sehingga bisa diidentifikasi sebagai entitas tertentu yang disebut sebagai “muslim modern.”
Pembacaan sosiologis ini mungkin sah secara akademik untuk membaca fenomena sosial masyarakat saat itu. Namun, stempel itu lama kelamaan mengering, berkerak, dan tampak tidak bisa diubah. Padahal, makin lama makin lepas dari perubahan sosial masyarakat. Tesis ini diamplifikasi dan dilestarikan sedemikian rupa sehingga terus digunakan sampai sekarang, saat nyata-nyata kondisi masyarakat telah berubah. Oleh karena itu, ini jelas bermasalah. Nah, apa masalahnya?
Dikotomi Kelompok Islam
Dikotomi tradisional-modern jadi usang setelah kini ciri-ciri tradisional modern telah lebur. Dikotomi ini hanya sebatas labeling yang sudah tidak lagi menjadi pembeda yang khas.
Gerakan sosial yang dikerjakan oleh yang disebut ‘muslim modern’ dan ‘muslim tradisional’ sudah sama saja: pendidikan, kesehatan, ijtihad kebangsaan, pemberdayaan masyarakat, dan lain sebagainya. Yang membedakan hanya instrumen-instrumen teknis saja yang sesungguhnya sudah tidak bisa lagi dijadikan ciri pembeda. Dan makin ke sini, instrumen-instrumen teknis itu makin kabur dan luntur.
Pembagian wilayah kerja desa-kota, dengan segala kondisi yang membedakannya, sudah tidak relevan lagi. Misalnya, Muhammadiyah itu modern di kota, NU itu tradisional di desa, ini pemetaan yang sudah tidak cocok lagi. Karena saat ini semua sudah membaur, Muhammadiyah juga berkiprah di desa, sebaliknya NU juga berkiprah di kota.
Ditambah lagi, pada era Revolusi Industri 4.0, interaksi masyarakat sudah tidak lagi dibatasi ruang desa-kota secara ketat. Orang yang tinggal di desa sudah komunikasi dengan orang kota dengan gadget. Desa-kota sudah bukan lagi pembatas ruang gerak karena saat ini semuanya sama-sama buka youtube, atau menjadi alay dengan tiktok.
Gejala semacam ini hanya tinggal menunggu waktu untuk menjadi seperti di Tiongkok di mana petani kampung sudah melakukan transaksi secara e-commerce. Bahkan, pembayaran di tempat pun sudah pakai e-money. Desa kini sudah tidak ndeso lagi.
Stempel Identitas yang Meninabobokan
Kaum modernis terlalu lama menyukai stempel ‘modern’ yang disematkan pada dirinya, karena jadi serasa lebih maju dibanding yang lain. Terlalu bangga menjadikan modernitas sebagai identitas. Seolah-olah kalau identitas itu dicabut, maka hilang jati dirinya, mereka akan mandek alias jumud.
Bagaimana tidak, mereka masih merasa tinggi dengan tinggal di dalam kotak label modernitas, padahal peradaban sudah melaju pesat menuju post-modern, bahkan sudah melampauinya lagi. Ya, modern itu saat ini sudah kuno. Hanya tinggal cerita saja.
Nah, dari situ relevan auto-kritik Prof. Dr. M. Amin Abdullah bahwa Muhammadiyah yang modern ini sudah mulai konservatif. Saya memaknai konservatif di sini sebagai model pemelihara khazanah, bukan reformis yang memberikan tawaran baru yang melompat. Padahal, Muhammadiyah generasi awal adalah reformis-transformatif.
Editor: Arif dan Nabhan