Peristiwa sejarah memang tidak pernah terulang kembali. Akan tetapi, ide di balik peristiwa sejarah dapat menemukan kembali momentumnya sekalipun telah melewati dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Ungkapan, “sejarah terulang kembali” menjadi relevan dalam konteks ini. Dengan menggunakan perspektif ini, penulis akan berusaha menjelaskan peristiwa historis kehadiran Muhammadiyah pada awal abad ke-20 yang berhubungan dengan kondisi ekstrem dalam masyarakat sebagai dampak dari Revolusi Industri 2.0. Lewat tulisan ini pula, penulis berusaha membandingan sebab-sebab dan situasi ekstrem akhir-akhir ini sebagai dampak dari Revolusi Industri 4.0.
Dalam situasi ekstrem—merujuk pada “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua” (2015: 14), gerakan Muhammadiyah menempati “posisi tengahan”. Tidak terlibat dalam arus ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Bukan berarti Muhammadiyah tidak memiliki prinsip atau pijakan yang jelas ketika menempati posisi “tengahan”. Justru, Muhammadiyah menawarkan jalan moderasi yang tidak populer, tetapi telah terbukti survive dalam perjalanan seabad sejarahnya.
Pengaruh Mesin Cetak
Struktur masyarakat kolonial yang segregatif memang potensial memicu gesekan kepentingan di antara kelas-kelas sosial yang saling berebut pengaruh. Pemerintah kolonial membagi struktur masyarakat menjadi: 1) kelas keturunan Eropa, 2) kelas keturunan Arab dan China, 3) kelas pribumi (inlander) (Robert van Neil, 2009:102).
Posisi umat Islam berada di level terrendah dalam struktur masyarakat kolonial. Akses terhadap fasilitas umum—terutama implementasi program Politik Etis (pengairan, pendidikan, transmigrasi)—sangat dibatasi bagi kelas pribumi. Kondisi semacam ini telah memicu kecemburuan sosial bagi warga pribumi—terutama kelompok mayoritas (umat Islam).
Di luar kebijakan nasional, situasi global turut menentukan dinamika perpolitikan di tanah air. Perubahan besar sedang dimulai pada awal abad abad ke-20, terutama setelah ditemukan listrik dan mesin-mesin industri di Eropa. Temuan Johan Gutenberg pada tahun 1450 berupa alat cetak manual telah disempurnakan dengan mesin industri sehingga produksi barang cetakan kian masif. Di Nusantara, pada awal abad ke-20, kehadiran mesin cetak telah mengawali babak baru gerakan nasional yang diinisiasi oleh para intelektual pribumi.
Produk mesin cetak dalam bentuk media massa berfungsi sebagai media sosial yang efektif pada awal abad 20 atau tahapan awal Revolusi Industri 2.0. Kehadirannya mengiringi pertumbuhan gerakan-gerakan nasionalis bumiputra. Inilah masa-masa peralihan model perjuangan kaum bumiputra dari yang sebelumnya cenderung fisik tetapi sporadis menjadi model perjuangan diplomasi secara kolektif. Pengaruh kebijakan politik etis memang tidak dapat diabaikan dalam hal ini.
Disrupsi Awal Abad 20
Politik Etis di bidang pendidikan memang telah melahirkan kelas elite modern yang melek literasi di tanah air pada waktu itu. Mereka adalah para lulusan sekolah-sekolah Belanda yang mengalami proses penyadaran lewat proses transmisi pengetahuan dari Barat. Lewat pendidikan formal mereka mengenal teori-teori kehidupan berbangsa dan bernegara secara modern.
Tetapi di luar faktor Politik Etis, sebenarnya kehadiran budaya baru yang datang dari Eropa—lewat kolonialisme Belanda—telah mengenalkan alat produksi modern bernama mesin cetak. Produk mesin cetak berupa media massa hadir secara masif. Dari sinilah sebenarnya kesadaran berbangsa dibangun lewat tulisan-tulisan menggugah nurani bangsa. Lewat media massa mereka membaca dinamika pemikiran liberal yang sedang bergulir di negara-negara Eropa.
Riset Abdurrahman Surjomijarjo (2008: 267-269, 243-248) paling tidak menyebut sekitar 60 media massa nasional yang dikelola secara profit oleh kaum bumiputra pada sekitar tahun sebelum 1930-an. Sedangkan surat kabar atau media massa yang dikelola secara profit di Yogyakarta mencapai 40-an media. Belum lagi media-media massa milik perkumpulan-perkumpulan lokal yang dikelola secara sederhana, dengan mekanisme penerbitan yang tidak teratur, serta jumlah oplag media yang sangat terbatas.
Itulah tanda-tanda disrupsi yang terjadi pada awal abad ke-20 lewat kehadiran media massa cetak yang berkembang secara masif. Dampaknya sangat signifikan mempengaruhi dinamika sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat kolonial pada masanya.
Situasi Ekstrem Awal Abad 20
Di tengah kehidupan sosial yang mulai terdisrupsi, ditambah kebijakan politik kolonial yang tidak adil kepada kelas pribumi, gesekan kepentingan antar kelas sosial semakin kuat. Segregasi antar kelas sosial telah memicu kecemburuan dan sentimen etnis serta keagamaan.
Situasi menjadi ekstrem ketika antar kelas sosial terjadi gesekan kepentingan yang memicu konflik. Pertama, kasus perkelahian di pasar Laweyan antara pedagang muslim pribumi dengan pedagang China. Inilah kasus yang menjadi latar belakang berdirinya perkumpulan Rekso Roemekso(16 Oktober 1905) atas inisiasi Haji Samanhoedi. Jika tidak karena publikasi media massa milik Tirto Adhi Soerjo, maka Rekso Roemekso tidak akan hadir sebagai organisasi pribumi yang terbesar pada masanya. Di kemudian hari, perkumpulan ini berubah menjadi Sarekat Dagang Islamiyah (SDI)—kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) (Deliar Noer, 1996: 115).
Kedua, terbentuknya organisasi milisi Islam Tentara Kandjeng Nabi Moehammad (TKNM) padaFebruari tahun 1918 di bawah stuktur Sarekat Islam (SI) adalah contoh situasi ekstrim yang dipicu dari latar belakang ketidakadilan politik, pemanfaatan sentimen keagamaan umat Islam, dan penggunaan media massa secara massif. Adalah H.O.S. Tjokroaminoto—inisiator TKNM—tokoh yang menjadikan kasus penistaan agama dalam surat kabar Djawi Hisworo (nomor 4 dan 5/ edisi 9 dan 11 Januari 1918) sebagai isu nasional lewat artikel bantahan di koran Oetoesan Hindia(edisi 31 Januari 1918). Ia menuduh pemerintah kolonial tidak mementingkan umat Islam. Di Solo, surat kabar Medan-Moeslimin(edisi no. 4/1918) memuat ulang artikel Abikoesno Tjokrosoejoso di Oetoesan-Hindia.
Situasi menjadi ekstrem karena Tjokro telah menjadikan kasus penistaan agama sebagai isu nasional sehingga umat Islam terpancing kemarahan mereka untuk merespon dengan tindakan redaktur Djawi Hisworo. TKNM kemudian menjadi kekuatan politik baru di bawah Sarekat Islam yang ditopang dengan kekuatan ekonomi yang digali dari iuran atau derma para anggotanya.
Ketiga, kelahiran TKNM sebagai gerakan politik identitas baru yang memanfaatkan sentimen keagamaan umat Islam telah memicu respon reaktif dari kelompok nasionalis pribumi yang merasa terancam kepentingan mereka. Surat kabar Neratjaedisi nomor 37, tanggal 23 Februari 1918 menurunkan rilis dari Comite Javaansch Nationalism (JN) di Weltevreden.
JN menganggap tujuan TKNM sebagai penghalang mewujudkan cita-cita Nasionalisme Jawa. Apalagi ajaran Islam dianggap merendahkan Ilmu Jawa yang sudah menjadi khazanah turun-temurun. Mereka menganggap agama Islam sebagai agama bangsa asing (Arab). Dengan tegas mereka menolak tujuan pembentukan TKNM.