Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy
Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Mas Mu’arif berjudul “Muhammadiyah struktural vs Muhammadiyah oposisi” yang dimuat di ibtimes.id, 3 Juli 2019. Tulisan Mas Mu’arif mencoba menegaskan positioning dirinya sebagai representasi kaum struktural di Muhammadiyah. Sementara yang di luar sana, tepatnya terhadap yang tidak bersepaham dengan Muhammadiyah struktural disebutnya sebagai Muhammadiyah oposisi.
Tulisan Mas Mu’arif menarik ditanggapi. Letak menariknya bukan pada positioning penulisnya, tapi pada beberapa bagian dari isi tulisannya. Mas Mu’arif misalnya menyebut perdebatan usang terkait high politic dan low politic, di mana disebutkan Muhammadiyah dan NU menjalankan high politic sementara partai politik menjalankan low politic.
Harusnya bicara high politic atau low politic tekanannya bukan mendikotomi antara ormas keagamaan dengan partai politik, tapi pada nilai yang diperjuangkan. Disebut high politic bila yang diperjuangkan soal keadilan, kejujuran, kesejahteraan, dan nilai-nilai mulia lainnya. Sebaliknya disebut low politic bila yang diperjuangan sebatas dukung mendukung, perebutan kekuasaan, dan mobilisasi massa untuk kepentingan politik praktis.
Konteks Indonesia saat ini, pendikotomian ini rasanya kurang tepat, karena faktanya ada ormas yang seharusnya menjalankan peran high politic tapi justru lebih tampak wajah low politic-nya. Sebaliknya, ada partai-partai tertentu yang berusaha secara serius menjalankan peran high politic, namun hanya karena keberadaannya yang minoritas di parlemen menjadikan perannya tetap saja pinggiran.
Tulisan Mas Mu’arif juga berhasil mendikotomi, dan bahkan vis a vis jamiyah dengan jamaah. Cara pandang ini karena Mas Muarif sepertinya kurang cermat dan kritis dalam melihat Pemilu 2019, khususnya Pilpres. Terkait Pemilu legislatif, rasanya tak ada ekspresi kekecewaan yang ditunjukan oleh misalnya PAN terhadap Muhammadiyah atau PKB terhadap NU. Begitu pun Pilpres, rasanya tak ada ekspresi kekecewaan yang berlebihan dari PAN terhadap Muhammadiyah dan apalagi PKB terhadap NU. Bagaimana mungkin kecewa, relasi PKB dan NU saat ini sudah menyatu begitu rupa. Bahkan dalam beberapa hal NU sudah menjadi subordinat dari PKB.
Mas Mu’arif misalnya menulis, “Namun, dampak Pilpres kali ini begitu kuat dan nyata masuk ke dalam ormas-ormas mapan tersebut, terutama luapan ekspresi kekecewaan dan kemarahan mereka yang kalah. Sampai-sampai mereka lupa bahwa nalar, spirit, adab, dan kultur berorganisasi, baik ber-Muhammadiyah maupun ber-NU, sangat berbeda dengan nalar, spirit, adab, dan kultur dalam partai politik.”
Memahami bagian tulisan Mas Muarif di atas, saya agak bingung mencernanya. Sebenarnya yang dimaksud “mereka” yang kecewa dan marah itu siapa? Kalau membaca bagian akhir tulisan, sepertinya “mereka” dialamatkan ke partai politik. Karena posisi penulis sebagai kader Muhammadiyah, saya menduga yang dimaksud “mereka” adalah PAN. Kalau yang dimaksud ini benar, rasanya salah alamat. Setahu saya tak ada satu pun pernyataan resmi dari PAN yang bernada kecewa dan marah terhadap Muhammadiyah struktural terkait Pilpres 2019.
Sikap pribadi-pribadi di partai politik rasanya kurang tepat bila dianggap sebagai representasi partai. Begitu pun sikap-sikap pribadi di ormas juga tidak bisa sertamerta dianggap representasi dari sikap ormas bersangkutan. Namun kalau mencerna bagian tulisan lainnya, “Seruan inipun tetap relevan bagi warga NU yang mengalami polarisasi yang sama dengan Muhammadiyah pasca Pilpres lalu,” maka bisa jadi “mereka” yang dimaksud adalah jamaah Muhammadiyah dan NU.” Kalau benar demikian, tuduhan ini justru mendekati kebenaran. Di lingkup jamaah Muhammadiyah memang ada kekecewaan dan kemarahan terhadap proses Pilpres 2019.
Akomodasi atau Oposisi?
Dalam tulisannya, Mas Mu’arif terkesan melihat Pilpres 2019 begitu sederhana. Pemilu sekadar dipahami sebagai persoalan kalah menang. Sementara prinsip jujur dan adil abai dicermati secara kritis. Kalau Mas Mu’arif mampu menyelami dengan baik dan jernih perasaan jamaahMuhammadiyah di banyak daerah, jamaah Muhammadiyah di grassroot meyakini bahwa Pilpres 2019 penuh kecurangan. Kecurangan yang melebih ambang kewajaran bila dibanding pemilu-pemilu sebelumnya di era Reformasi.
Keyakinan ini murni karena kenyataan di lapangan. Tak ada urusannya dengan partai politik. Ada ungkapan vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Saya yakin suara jamaah Muhammadiyah di daerah itu jauh lebih mampu merepresentasikan suara Tuhan, suara hati nurani, suara kejujuran dalam melihat kecurangan Pilpres, karena mereka jauh dari kepentingan perebutan kekuasaan. Makanya, kalau ada yang tidak mampu melihat kecurangan, rasanya melihatnya penuh dengan ketakjujuran dan ketakadilan.
Menyikapi kecurangan Pilpres, wajar bila jamaah Muhammadiyah, termasuk sebagian jamaah NU kecewa dan marah dengan keputusan MK dan KPU terkait Pilpres 2019. Namun kekecewaan dan kemarahan ini tak usah disikapi berlebihan. Sebaliknya harus disikapi secara positif. Kecewa dan marah karena melihat kecurangan (kebathilan) pertanda bahwa jamaah Muhammadiayah cukup berhasil dalam menghayati prinsip dakwahamar makruf nahi munkar.
Dalam pandangan saya, amar makruf dan nahi munkarmerupakan prinsip dakwah yang harus dijalankan secara seimbang, beriringan, tak boleh salah satunya menonjol atau tenggelam. Tentu tidak menafikan bahwa dakwah nahi munkarlebih beresiko daripada dakwahamar makruf.
Menyeru agar kontestan pemilu tidak curang, tak melakukan money politic, pelaksana pemilu harus bersikap jujur dan adil, itu jauh lebih mudah karena tidak beresiko. Namun ketika faktanya pemilu berlangsung curang, terjadi money politic secara massif, pelaksana pemilunya tak jujur dan tak adil, korban meninggal hingga lebih dari 700 orang, belum lagi korban terdampak pemilu yang berjumlah sembilan orang meninggal dan ratusan terluka, lalu Muhammadiyah berteriak kritis menyikapi itu semua pasti akan beresiko.
Menyikapi situasi politik yang demikian, Muhammadiyah punya cukup pengalaman. Terbayang tidak, ketika KH. Ahmad Dahlan melawan misi zending Belanda, Muhammadiyah di era Ki Bagus Hadikusumo menolak Saikirei. Saat menjadi anggota istimewa Masyumi, Muhammadiyah tampil kritis terhadap Soekarno. Di era Amien Rais, Muhammadiyah tampil kritis terhadap Soeharto hingga kejatuhannya 1998. Di era Din Syamsuddin, Muhammadiyah juga tampil kritis terhadap SBY. Semua itu dilakukan secara sadar oleh pimpinan Muhammadiyah di setiap zamannya dalam kerangka dakwah amar makruf nahi munkar, dan tetap dalam koridor Muhammadiyah sebagai ormas.
Fakta sejarah ini menegaskan bahwa bersikap independen dan kritis-konstruktif kepada pemerintah atau negara adalah hal biasa yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Karenanya terkesan aneh ketika Muhammadiyah dinilai tidak atau kurang mampu bersikap independen dan kritis-konstruktif terhadap Jokowi dalam beberapa tahun terakhir, terlebih dalam kaitan dengan Pilpres 2019. Dirasakan oleh sebagian besar warga Muhammadiyah di daerah dan juga kelompok kritis lainnya di luar Muhammadiyah, Muhammadiyah dinilai tidak cukup independen dan kritis-konstruktif. Saya bisa memahami betapa sulitnya bersikap independen dan kritis-konstruktif bagi ormas seperti Muhammadiyah di era politik yang sangat liberal saat ini.
Tulisan Mas Mu’arif seakan menabukan sikap kritis kepada pemerintah atau negara. Seolah sikap kritis hanya berhak dilakukan oleh partai politik, bukan oleh ormas. Coba baca bagian lain tulisan Mas Muarif: “Rupanya, orang-orang Muhammadiyah pasca aksi 212 dan dikuatkan dengan momentum Pilpres 2019 memendam aspirasi dan kepentingan yang berseberangan dengan struktur dan sistem yang mapan, baik pemerintah maupun struktur elite di Muhammadiyah saat ini, sehingga mereka berhasil menggalang kekuatan secara massif di luar jalur struktural. Pola gerakan semacam ini jelas mengikuti pola gerakan politik praktis—seperti yang dijalankan partai-partai politik.”
Menyebut aksi 212 dan aksi di seputar Pilpres sebagai murni gerakan yang mengikuti pola gerakan politik praktis, rasanya sangat tidak tepat. Justru sebaliknya, gerakan partai di Indonesia tak akan mungkin bisa melakukan gerakan seperti Aksi 212, yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang punya militansi gerakan. Sementara partai politik hanya mampu bersikap pragmatis dan nir-militansi. Tengok saja sikap Prabowo Subianto yang diharapkan bisa menjadi motor gerakan oposisi baik di parlemen mapun di luar parlemen, ternyata sudah mengakui “kemenangan” Jokowi. Prabowo tentu paham bahwa mengakui Jokowi sama halnya menafikan segala bentuk kecurangan yang dilakukannya.
Mengakhiri tulisan ini, saya berharap Muhammadiyah istiqamah berada dijalur Khittah 1912. Konsisten menjaga marwah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar yang dipahami dalam kerangka akomodasi dan oposisi, dan dijalankan secara seimbang (tawazun). Kalau pemahaan ini dijalankan secara berkeadilan, maka Muhammadiyah pun akan dilihat secara positif dan berkeadilan pula.
Sebaliknya, kalau yang menonjol salah satunya, maka Muhammadiyah pun bisa diidentikkan sebagai ormas yang akomodatif atau oposan. Tergantung kecenderungan mana yang paling menonjol. Muhammadiyah senantiasa bersikap kritis-konstruktif terhadap siapapun yang berkuasa di negeri ini. Bersikap kritis-konstruktif terhadap penguasa tidak selalu identik dengan partai politik. Sebagai civil society, Muhammadiyah berhak bersikap kritis-konstruktif.
Ketika kebanyakan partai politik hanya paham soal rebutan jabatan politik, berbagi kue kekuasaan, tak paham beroposisi, abai dan seperti hilang ingatan ketika bicara soal kesejahteraan rakyat, keadilan ekonomi, penegakan hukum yang berkeadilan, dan menghadirkan sistem politik yang bermartabat. Ketika ormas seperti NU juga sulit diharapkan bisa tampil independen dan kritis kepada penguasa, seperti di era Gus Dur, terutama periode 1989-1996 (sejak Muktamar Yogyakarta hingga pasca-“Salaman Genggong”), maka saat ini, bangsa Indonesia hanya bisa berharap pada Muhammadiyah. Semoga Muhammadiyah selalu mampu menjaga independensi dan kritis-konstruktifnya (Kaki Gunung Ciremai Linggarjati Kuningan, 14/7/2019).
*Penulis adalah Guru Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ