Oleh: Nurbani Yusuf*
Dalam sebuah disertasi pernah ditemukan ragam identitas Muhammadiyah. Meskipun membawa misi Islam murni, tetapi ekspresi di lapangan bermacam-macam. Disertasi karya Abdul Munir Mulkhan menemukan ada empat varian warga Muhammadiyah. Antara lain: MUNU (Muhammadiyah Nahdlatul Ulama), MUDA (Muhammadiyah Kiai Dahlan), MUKHLAS (Muhammadiyah Ikhlas), dan MARMUD (Marhaenis Muhammadiyah).
Kini saya mengamati nampaknya ada varian baru dalam Muhammadiyah yaitu Muhammadiyah Salafi (MUSA). Cara berpikir, cara ibadah, dan loyalitas pada Salafi, tapi tak mau melepas Muhammadiyah.
Ngaku “MUHAMMADIYAH” tapi cara berpikir dan beramal seperti Salaf. Terus membawa ustadz-ustdaz Salafi ke masjid dan halaqah-halaqah Muhammadiyah. Inilah tren menarik keberagamaan Muhammadiyah yang terus berkembang dinamis sesuai selera.
Manhaj Muhammadiyah yang dipahami sebagian besar jamaah hanyalah sebatas kembali kepada Al-Quran dan as-Sunah. Jika demikian, bagaimana bisa membedakan dengan gerakan Wahabi dan Salafi yang juga bermanhaj sama ?
Keterbukaan Muhammadiyah
Tidak ada larangan bagi pengurus atau jamaah Muhammadiyah berpikir dan beramal model Salafi. Pun bergerak nahi munkar seperti FPI atau HTI. Bisa saja manhaj-manhaj ini kawin silang ditubuh Persyarikatan. Bukankah manhaj Muhammadiyah itu terbuka dan bisa menerima.
Gagasan Prof Yunahar Ilyas tentang manhaj Muhammadiyah tak cukup mendapat respon positif bahkan cenderung diabaikan. Tiada kemauan atau goodwil dari para petinggi Persyarikatan untuk mematangkan rumusan konsep manhaji yang rigid yang bisa dipahami hingga jamaah akar rumput. Akibatnya gagasan manhaj Muhammadiyah terkesan elitis dan tidak membumi.
Sebab sebagian besar hanya sibuk dan berbangga dengan amal usaha. Tapi lupa pada state of mind (manhaj) kenapa amal usaha itu dibangun dan didirikan dan untuk tujuan apa ? Saya berani bertaruh bahwa hanya ada beberapa puluh saja diantara ratusan da’i, mubaligh dan pengurus Muhammadiyah yang paham manhaj Muhamamdiyah dan mau men-sosialisasikannya.
Tidak ada larangan bagi pengurus atau jamaah Muhammadiyah berpikir dan beramal model Salafi. Begitu juga bergerak nahi munkar seperti FPI atau HTI sekalipun. Asal dengan satu syarat, tidak mengambil alih amal usaha dengan cara inviltrasi, ini yang meresahkan.
Kyai Hasyim Muzadi berseloroh ringan jika masjid-masjid NU didiami orang Muhammadiyah, yang hilang cuman bedhug dan qunut. Tapi kalau yang datang orang Salafi maka masjidnya yang “hilang”.
Respon Akar Rumput
Berkaca dari realitas jamaah akar rumput yang telah mengalami bagaimana ofensif kehadiran Salafi di masjid-masjid dan halaqah Muhamamdiyah, maka tidak sedikit aktifis dan penggiat Persyarikatan yang mulai gelisah dengan perkembangan model keberagamaan yang tumbuh di Muhammadiyah. Sebagian tersisih, sebagian diam, sebagian yang lain berpindah haluan. Sebagian yang lain mulai menyiapkan ‘kapal skoci’.
Sebab kita tak tahu lima atau sepuluh tahun kemudian manhaj Muhammadiyah berubah seperti apa. Modernisasi dan gagasan tajidid Kiai Dahlan bisa saja hanya tinggal nama. Dan membuat kapal skoci menjadi pilihan.
Manhaj Salafi memiliki kesamaan dalam hal pegerakan–yang membedakan adalah mereka bukan saja mengembangkan paham keberagamaan tapi juga punya nafsu menguasai masjid berikut halaqah–maka gesekan pengurus dan jamaah sangat mungkin terjadi. Bahkan di beberapa tempat sudah menunjukkan hal yang demikian. Maka tidak menutup kemungkinan di beberapa tempat telah berpindah kepengurusan meski secara dejure milik Persyarikatan tapi dari sisi amaliyah adalah Salafi.
Masa Depan Salafi di Muhammadiyah
Jujur saya katakan bahwa manhaj Salafi punya masa depan gemilang di Persyarikatan. Setidaknya ada enam rasional kenapa Salafi tumbuh pesat yang ditandai dengan adanya migrasi kader dan manhaj Salafi:
Pertama, ada banyak peluang dan ruang kosong yang belum sempat digarap yang secara maksimal dimanfaatkan Salafi.
Kedua, ustadz-ustadz Salafi dianggap lebih ‘meyakinkan’ ketimbang ustadz Muhammadiyah, kita bisa buktikan dengan riuhnya jamaah yang datang pada saat kajian ustadz Salafi dibanding pengurus atau mubaligh Muhammadiyah sendiri.
Ketiga, ada kecenderungan jamaah lebih taat kepada ustadz Salafi ketimbang ulama-ulama tarjih.
Keempat, fatwa-fatwa Ustadz Salafi lebih mudah ditemukan (didapatkan) daripada fatwa-fatwa Majlis tarjih.
Kelima, jamaah Muhammadiyah pandai membangun masjid tapi cukup pandai memakmurkan. Akibatnya dimakmurkan Salafi.
Keenam, sikap Muhammadiyah yang sangat baik hati dan toleran terhadap perkembangan Salafi.
Apresiasi yang setinggi-tingginya kepada teman-teman Salafi atas penampilan yang memikat.
Selamat berdakwah di Muhammadiyah semoga barakah … Aamien
*Komunitas Padhang Makhsyar