Tajdida

Bolehkah Fanatik Dengan Muhammadiyah?

4 Mins read

Oleh : Sapari*

Judul ini terinspirasi dari pengalaman saya saat berhadapan dengan orang-orang yang berusaha menyerang dan mendiskreditkan Muhammadiyah. Saat menulis di web pribadi tentang pembelaan terhadap doktrin-doktrin Muhammadiyah dan menyebarkannya lewat media sosial, saya pernah beberapa kali mendapati komentar yang intinya tidak usah fanatik terhadap organisasi/golongan. Komentar yang sepintas menyejukkan, namun sebetulnya ambigu dan tidak konsisten. Karena biasanya hanya berlaku searah terhadap lawan bicara. Sementara untuk yang melontarkan tidak berlaku.

Sepertinya Muhammadiyah pasca reformasi. Ia menjadi ormas Islam yang paling sering mendapat serangan dari sesama gerakan Islam sendiri. Saya masih ingat betul dan mengalami sendiri. Dulu awal pasca reformasi tahun 1998, serangan terhadap Muhammadiyah terjadi secara Terstruktur Massif dan Sistematis (TMS). Serangan tersebut berasal dari sebuah gerakan yang belakangan menjadi sebuah partai politik Islam.

Tidak Usah Fanatik Dengan Muhammadiyah?

Serangan tersebut menyasar Muhammadiyah mulai level pimpinan sampai warga biasa, dari tingkat pusat hingga ranting sampai dengan aset-asetnya. Tidak tanggung-tanggung, serangan tersebut berhasil memboyong para kader ortom untuk bermigrasi dan kemudian balik “menyerang” Muhammadiyah.

Kata-kata yang seringkali terlontar adalah “Muhammadiyah sudah tidak Islami lagi”. Jika ada kader/pimpinan Muhammadiyah membela diri, maka segera terlontar ungkapan seperti “tidak usah fanatik sama Muhammadiyah”, “Muhammadiyah sama saja dengan yang lainnya”, “kalau Islami apa salahnya”.

Tampaknya serangan tersebut kini terulang kembali. Muhammadiyah kembali dihimpit-himpitkan, disama-samakan, masjid dan AUM-nya dimasuki dan para kadernya diseret-seret masuk ke salah satu aliran keagamaan. Sama persis dengan serangan pertama dulu, muncul kembali tudingan-tudingan “Muhammadiyah sudah tidak Islami” dan “tersusupi Islam liberal”.

Jika ada kader/pimpinan yang membela diri maka terlontar ungkapan “Muhammadiyah dan kami tidak jauh beda, sama-sama kembali kepada Al Qur’an sunnah”, “tidak usah fanatik dalam satu golongan/organisasi tapi fanatiklah pada ajaran Islam”.

Baca Juga  Pluralitas Indonesia: Harapan atau Ancaman?

Ajakan untuk tidak fanatik golongan/organisasi sepertinya ajakan manis, padahal jika dicermati dan diikuti para penganut aliran tersebut justru orang-orang yang sangat fanatik terhadap kelompoknya sendiri, selalu menyalah-nyalahkan aliran/faham/golongan lain dengan hujjah-hujjah yang berdasarkan tafsir mereka sendiri dan diklaim paling sesuai dengan Al Qur’an Sunnah.

Tidak ada ruang dialog yang dikembangkan, hanya ada satu kata mereka benar yang lain salah dalam semua urusan agama Islam. Jadi untuk kelompok lain maka tuduhan fanatik golongan/organisasi/kelompok itu berlaku, namun untuk diri mereka sendiri tidak berlaku.

Kalau mau obyektif, maka sebenarnya Muhammadiyah adalah ormas Islam yang paling terbuka terhadap kritik dibandingkan ormas lain. Di Muhammadiyah, kritik itu seperti obat, dalam dosis dan peruntukan yang tepat akan mengobati penyakit yang diderita. Dari awal pendirian Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan sudah meletakkan pondasi keterbukaan pemikiran dan pandangan di Muhammadiyah. Jadi fanatisme di Muhammadiyah sebenarnya tidak mendapat tempat. Lalu bagaimana dengan kebiasaan orang-orang Muhammadiyah membanggakan keberhasilan-keberhasilan Muhammadiyah? Mungkin pertanyaan ini dimiliki oleh banyak orang diluar Muhammadiyah.

Suatu Analogi Sederhana

Sekarang mari kita ambil analogi dari dunia bisnis dan perdagangan, jika Anda mempunyai satu produk karya Anda sendiri untuk dijual maka apa yang akan Anda lakukan? Tentu mempromosikan barang dagangan Anda, tidak mungkin Anda justru mempromosikan barang dagangan orang lain bukan? Anda tentu tidak bisa mengharapkan orang lain mempromosikan barang dagangan Anda tanpa kepercayaan dari mereka terhadap kualitas barang Anda atau imbalan yang pantas bukan? Siapa yang pertama-tama akan mempromosikan barang produksi Anda sendiri kalau bukan Anda sendiri pula?

Sama dengan ideologi dan faham agama, yang akan mempromosikannya tentu adalah para penganut ideologi atau faham agama tersebut, bukan orang lain yang tidak mungkin mau, apalagi jika dia tidak sefaham dengan ideologi/faham yang tersebut. Alih-alih ikut mempromosikan, yang terjadi justru akan memusuhinya. Maka di titik inilah menjadi kewajaran jika masing-masing penganut ideologi, faham agama, aliran, golongan atau organisasi gencar mempromosikan ideologi, faham agama, aliran, golongan atau organisasi yang diikutinya. Sekali lagi, tentu mereka tidak bisa berharap orang lain yang akan melakukan bukan?

Baca Juga  Menyalakan Pelita di Tengah Kutukan Kegelapan: Refleksi 17 Tahun JIMM

Maka wajar jika para pimpinan, kader, warga dan simpatisan Muhammadiyah kemudian gencar mempromosikan faham keagamaan yang dianut oleh Muhammadiyah sebagaimana faham/aliran/golongan/organisasi lain melakukannya. Tak jarang terjadi, orang-orang diluar Muhammadiyah yang berusaha untuk melakukan ekspansi ke Muhammadiyah tersebut melontarkan pernyataan-pernyataan lucu demi memuluskan niatnya.

Lontaran-lontaran “jangan fanatik organisasi/golongan”, “Muhammadiyah sudah tidak Islami”, “kita ini saudara seiman tidak usah menonjolkan perbedaan-perbedaan”, “Muhammadiyah sama juga dengan faham/aliran yang lain” menjadi lagu lama yang diputar kembali. Itu hanya ditujukan kepada Muhammadiyah, disaat yang sama mereka tidak menerapkan untuk mereka sendiri. Eksklusif, tidak mau dialog, merasa paling benar sendiri, merasa paling memegang sunnah adalah ciri-ciri yang melekat pada orang-orang model ini. Mereka menuduh orang lain fanatik, sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sangat fanatik dengan faham keagamaan yang dianutnya, merasa paling benar sendiri dan menyalah-nyalahkan orang lain.

Saling Menghormati Saja

Yang mengherankan bagi Penulis, dalam sejarahnya Muhammadiya tidak pernah mengganggu faham/organisasi Islam lain. Bahkan, Muhammadiyah adalah rumah besar bagi semua aliran/faham Islam di Indonesia ini. Jika diteliti maka di AUM-AUM Muhammadiyah bukan hanya para kader Muhammadiyah yang bekerja disana, para kader, simpatisan dan warga organisasi lain tidak sedikit pula yang bekerja disana. Kampus dan sekolah Muhammadiyah terbuka untuk semua golongan, bahkan non muslim sekalipun seperti di NTT dan Papua. Lazismu dan MDMC bahu-membahu melaksanakan misi kemanusiaan tanpa pandang suku, agama, ras dan golongan.

Mengherankan pula jika Muhammadiyah yang sudah sedemikian terbuka terhadap perbedaan pandangan dan pemikiran, sudah sedemikian baiknya memberi kesempatan kader, warga dan simpatisan faham/organisasi lain masih sering diserang dari kanan dan kiri. Tampaknya Muhammadiyah begitu seksi dengan segala “kebesarannya”. Sumber daya manusianya yang banyak dan terpelajar, AUM-AUM-nya yang banyak dan kaya raya menarik pihak-pihak luar untuk merencanakan “serangan” secara Terstruktur, Massif dan Sistematis (TSM). Apakah salah jika Muhammadiyah kemudian melakukan proteksi terhadap dirinya sendiri dari serangan-serangan tersebut? Apakah adil jika Muhammadiyah tidak boleh membela diri sementara orang lain boleh seenaknya sendiri menyerang Muhammadiyah?

Baca Juga  Lima Varian Salafisme di Indonesia

Menghindari Perselisihan

Maka agar tidak menimbulkan perselisihan yang tidak perlu, gesekan-gesekan diantara umat Islam sendiri maka lontaran-lontaran yang mendiskreditkan satu sama lain harus diakhiri. Syahwat untuk melakukan ekspansi, mengurusi rumah tangga organisasi lain bahkan mengambil alih kader dan aset organisasi lain harus dihilangkan. Itu jika memang ada niatan baik demi terjaganya ukhuwah Islamiyah, namun berdasarkan pengalaman Penulis, syahwat tersebut memang sebuah bentuk ambisi ekspansi yang dibungkus dalam bingkai dakwah Islam untuk memaksakan faham keagamaan yang dianut kepada pihak lain.

Upaya melakukan infiltrasi, ekspansi dan pengambilalihan aset Muhammadiyah yang pernah terjadi secara Terstruktur Massif dan Sistematis dulu seharusnya tidak terjadi lagi jika pihak-pihak diluar Muhammadiyah menghargai eksistensi Muhammadiyah. Namun jika narasi yang dibentuk dan skenario yang dijalankan adalah bahwa Muhammadiyah obyek dakwah yang “harus diselamatkan” berdasarkan perspektif mereka sendiri, maka itu adalah bentuk perusakan ukhuwah Islamiyah yang dibungkus secara “Islami”. Hentikan dan mari saling menghormati eksistensi masing-masing jangan saling mengganggu.

*Kader Muhammadiyah Magelang, relawan media MDMC PP Muhammadiyah

 

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *