Salah satu topik perbincangan yang seolah tak ada habisnya untuk dibahas oleh warga Muhammadiyah adalah soal Salafi dan Syiah. Tentang Salafi saya sudah pernah menuliskannya dalam artikel berjudul: Membentengi Muhammadiyah dari Paham Salafi dan Serial Polemik Muhammadiyah dan Salafi. Sedangkan soal Syiah saya juga sudah menuliskannya dalam artikel berjudul: Syiah Bukan Islam? Belum Tentu!.
Sayangnya, saya perhatikan, polemik mengenai Salafi dan Syiah semakin tak terarah. Bahkan lebih kepada emosi dibanding dengan adu argumentasi. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya ingin mencoba menguraikan kembali polemik ini agar tidak seperti benang kusut. Diharapkan, kita bisa memetakan masalah dengan jernih setelah itu bersikap dengan benar dan bijak.
Saya ingin mencoba membagi polemik tentang Syiah dan Salafi dalam dua aspek: Pertama, aspek ajaran dan doktrin. Kedua, aspek organisasi dan gerakan.
Mari kita coba melihat polemik Muhammadiyah dan Salafi dalam dua aspek ini. Pertama, dalam aspek ajaran dan doktrin, sebenarnya antara Muhammadiyah dan Salafi lebih banyak miripnya dibanding bedanya. Inilah mengapa saya pernah mengatakan, bahwa dalam beberapa aspek ajaran dan keyakinan, Muhammadiyah bisa disebut juga Wahabi. Misalnya, baik Salafi maupun Muhammadiyah sama-sama tidak mengajarkan Tahlilan, Yasinan, Barzanji, Mahallul Qiyam, dll.
Polemik Muhammadiyah dengan Salafi
Namun dalam beberapa aspek ajaran lainnya, misalnya soal furu’ aqidah dan furu’ fiqhiyah, ada beberapa perbedaan antara Salafi dan Muhammadiyah. Ustadz Wahyudi Abdurrahim menyebutnya Titik Pisah Salafi-Muhammadiyah. Misalnya Salafi mengharamkan mutlak musik, Muhammadiyah berpendapat hukum musik tergantung jenis musiknya. Salafi mengharamkan mutlak isbal, Muhammadiyah tidak mengharamkannya.
Saya ingin mengatakan bahwa dalam aspek ajaran dan doktrin, seharusnya tidak ada masalah antara Muhammadiyah dan Salafi. Wong lebih banyak mirip daripada perbedaan kok malah musuhan. Tidak masuk akal bukan?
Saya ingin tegaskan pula bahwa Muhammadiyah punya ajaran dan doktrin tersendiri. Begitupun dengan Salafi juga begitu. Antara ajaran Muhammadiyah dan Salafi ada samanya ada bedanya. Dua doktrin ini bisa berjalan masing-masing tanpa mengganggu satu sama lain. Kalaupun ada diskusi ilmiah tentang perbedaan pendapat di Salafi dan Muhammadiyah, bisa dilaksanakan secara ilmiah dan suasana kekeluargaan.
Lho? Bukankah Salafi dan Muhammadiyah sama-sama Islam? Kok dikatakan punya ajaran dan doktrin sendiri? Tolong jangan naïf kawan. Islam memang hanya satu agama saja, tapi penafsirannya banyak. Hasil penafsiran ini melahirkan banyak corak ajaran dan doktrin dari berbagai kelompok Islam.
Lantas dari mana muncul polemik Salafi dan Muhammadiyah, saya tegaskan bahwa persoalannya muncul dari aspek yang kedua, yakni organisasi dan gerakan. Salafi adalah gerakan walau bukan organisasi. Gerakannya diwujudkan dalam pengajian-pengajian serta aktivitas dakwah jamaahnya. Muhammadiyah adalah organisasi sekaligus gerakan.
Saya ingin menawarkan sebuah kode etik bahwa hendaknya seorang aktivis gerakan Islam tidak menjadikan kader atau anggota organisasi lainnya sebagai objek dakwah. Hendaknya berdakwah kepada Islam abangan yang memang lebih membutuhkan bimbingan keislaman.
***
Persoalan yang terjadi di lapangan adalah, seringkali ada oknum, yang mengajak kader Muhammadiyah untuk mengaji di Salafi. Ada juga begini, misalnya di grup facebook Muhammadiyah, kader Muhammadiyah mem-posting bahwa Muhammadiyah menggunakan hisab. Tiba-tiba jamaah Salafi menyerang postingan itu, mengatakan Muhammadiyah tidak sesuai sunah. Inilah persoalannya.
Bagi saya, menyelesaikan polemik Salafi dan Muhammadiyah itu cukup mudah. Hendaknya Salafi tidak bernafsu untuk mengajak kader-kader Muhammadiyah menjadi manhaj salaf. Tolong tahan diri juga untuk berdebat dalam persoalan-persoalan khilafiyah. Lebih baik fokus ke kaum abangan saja.
Supaya fair, saya ingin katakan juga kepada kader Muhammadiyah untuk menghormati paham agama ala Salafi yang sebagian hasil ijtihadnya berbeda dengan Muhammadiyah. Kalau sudah seperti ini maka Insya Allah hubungan Salafi dan Muhammadiyah akan damai dan harmonis.
Yang saya bisa jadikan contoh adalah Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Beberapa tahun yang lalu, Ustadz Abduh Tuasikal gencar sekali “menyerang” penentuan waktu ibadah ala Muhammadiyah yang menggunakan hisab. Namun akhir-akhir ini beliau tidak melakukan itu lagi. Kajian-kajian beliau lebih sejuk dan umum.
Polemik Muhammadiyah dengan Syiah
Lantas bagaimana dengan dinamika Muhammadiyah dan Syiah? Mari kita coba gunakan dua aspek tadi. Secara ajaran dan doktrin, tentu saja ada perbedaan fundamental antara Muhammadiyah sebagai ahlussunnah dengan Syiah. Namun saya ingin ketika kita membahas Syiah, kita keluar dari pengaruh konflik Geopolitik Timur Tengah yang terjadi pada tahun 2011.
Dalam membahas soal Syiah, rujukan utama kita adalah buku terbitan MUI yang berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia. Salah satu penyusun buku tersebut adalah Buya Yunahar Ilyas rahimahullah. Namun saya ingin objektif, bahwa buku itu lahir di tengah gejolak konflik geopolitik itu.
Karena itu muncul slogan “Syiah Bukan Islam” yang mempunyai landasan qaul-qaul ulama yang dikutip dalam buku tersebut. Namun pendapat-pendapat ini perlu dibaca dan di-syarah-kan secara lebih kritis. Karena faktanya, jumhur ulama sudah menguraikan bahwa Syiah terbagi bermacam-macam sekte. Ada yang memang keluar dari Islam ada juga yang masih Islam namun melakukan bid’ah dalam akidah.
Pendapat yang paling objektif soal Syiah bagi saya adalah pendapat Habib Rizieq Shihab. HRS sama sekali tidak mengajak kita untuk masuk Syiah dan membenarkannya. Tapi HRS juga mengajak kita tidak gegabah menggeneralisir seluruh Syiah itu bukan Islam. Iya, sebagian Syiah memang bukan Islam. Tapi sebagian lainnya masih ahlul qiblah yang haram darahnya.
Kembali lagi ke soal ajaran dan doktrin Muhammadiyah dan Syiah. Muhammadiyah dan Syiah punya paham ajaran dan doktrin yang berbeda secara fundamental. Tentu saja Muhammadiyah menolak doktrin Syiah dan Syiah pun menolak doktrin Muhammadiyah selaku ahlusunnah. Sampai di sini masalah selesai sebenarnya. Yang jadi persoalan adalah bumbu-bumbu yang tidak perlu yang disebabkan konflik geopolitik tadi. Ini yang perlu kita bersihkan.
***
Selanjutnya adalah Muhammadiyah dan Syiah dilihat dari aspek organisasi dan gerakan. Ini cukup menarik. Di saat Ketua PP. Muhammadiyah Prof. Syafiq Mughni menerima kunjungan Ahlul Bait Indonesia lalu menghadiri konferensi di Iran, muncul suara-suara kekhawatiran bahwa ajaran Syiah akan menyusup ke dalam organisasi Muhammadiyah.
Kekhawatiran ini sangat bisa dimaklumi. Tentu saja, jika kita menolak ajaran Salafi masuk ke Muhammadiyah, maka kita juga menolak ajaran Syiah masuk ke Muhammadiyah. Walaupun dalam aspek organisasi dan gerakan, antara Muhammadiyah dan Syiah tidak mempunyai irisan sebagaimana Salafi dan Muhammadiyah. Sehingga harus diakui, belum ditemukan adanya gesekan antara Muhammadiyah dan Syiah secara organisasi dan gerakan.
Isu yang menarik adalah tentang beasiswa dan mahasiswa Muhammadiyah yang dikirim ke Iran. Begini saja. Di Amerika Serikat yang liberal sudah ada mahasiswa Muhammadiyah. Di China yang komunis sudah ada juga mahasiswa Muhammadiyah. Di Mesir yang Asy’ariyah juga sudah ada Mahasiswa Muhammadiyah. Di Saudi Arabia yang “Wahabi” juga sudah ada Mahasiswa Muhammadiyah. Apakah di Iran tidak boleh ada Mahasiswa Muhammadiyah?
Saya sendiri memandang Iran biasa saja. Bahkan akhir-akhir ini saya agak kecewa, karena Iran melalui rezim Wilayatul Faqihnya terjebak dalam otoritarianisme. Selain itu, Iran terlalu phobia terhadap Barat. Padahal di negerinya sendiri yang banyak masalah, tapi selalu barat yang disalahkan. Di mana saya sendiri berpandangan bahwa tidak semua yang berasal dari Barat itu buruk, misalnya demokrasi.
Tentu saja yang paling penting, mengirim mahasiswa ke negara manapun boleh saja. Karena ilmu itu ada di banyak tempat. Tapi tetap pastikan bahwa jika memang mahasiswa yang dikirim, saat pulang ke Indonesia, ideologi Muhammadiyahnya tidak luntur. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah!