Memasuki sesi ke-6, acara Kolokium Nasional Interdisipliner Cendekiawan Muda Muhammadiyah, setelah pemaparan materi oleh Wahyudi Akmaliyah selaku Peneliti LIPI dan Mu’arif sebagai Sejarahwan Muhammadiyah, tutut disampaikan materi selanjutnya oleh Nasrullah (akademisi komunikasi UMM), Azaki Khoirudin (Pendiri IBTimes.ID), dan Najih Prasetyo (Ketua DPP IMM 2018-2019).
Nasrullah menekankan satu fakta kecil tentang betapa media (online terutama) sangat memengaruhi kehidupan manusia. Manusia diubah oleh teknologi komunikasi. “Ketika media masih berfisik seperti koran dan tv, ruang gerak terbatas karena penguasa memonitori. Ketika internet hadir pada 1998, aktivis menggunakannya untuk mengkritik politik yang otoriter,” terangnya.
Kini, internet of things telah mengubah segalanya. Sekitar 600 ribu pekerjaan hilang, tapi muncul 2 juta pekerjaan baru. Ini tantangan milenial muslim, karena menurutnya, internet of things juga punya banyak jebakan, salah satunya, degradasi minat intelektual dan kritisisme.
“Sekarang pekerjaan kita adalah merumuskan strategi jitu agar jihad digital Muhammadiyah tidak jatuh dalam jebakan-jebakan yang ada, kemudian, harus ada perencanaan kuat untuk integrasi potensi kaum muda dan teknologi digital,” tambahnya.
***
Azaki Khairuddin membagi pengalamannya merintis dan membesarkan IBTimes untuk menyebarkan gagasan Islam Berkemajuan.
“Mulanya dari analisis tentang kekuatan Muhammadiyah di media sosial yang sangat lemah,” ceritanya. Konsekuensinya, tulisan sebagus apapun, bila diviralkan oleh influencer lawan, tulisan itu akan menjadi jelek.
Pada Pengajian Ramadhan tahun 2018 tentang keadaban digital dan dakwah pencerahan milenial, Muhammadiyah terpukul oleh uraian dari para pembicara, dan baru mulai ada inisiatif dari PP Muhammadiyah untuk menekuni dakwah digital.
“Padahal gaya dakwah mengalami banyak perubahan. Hirarki menjadi jaringan, program menjadi gerakan, otoritas menjadi pengaruh, oral menjadi visual, serius menjadi kasual, durasi panjang menjadi pendek, orator menjadi kreator. Perubahan ini mengakibatkan kesenjangan antara bahasa kaum muda dan kaum tua. Akibat lanjutnya, gagasan-gagasan kaum tua di Muhammadiyah yang kritis dan serius itu terasa asing dan tabu bagi kaum muda Muhammadiyah,” ia menjelaskan.
Menurutnya, Muhammadiyah memerlukan sindikasi penulis dan media. “Sindikasi memudahkan penyebaran serta pertahanan suatu ide,” imbuhnya.
***
Pembicara terakhir, Najih Prastiyo, mengingatkan pada peserta Kolokium Nasional bahwa cara-cara yang digunakan oleh pelaku start-up nasional sesungguhnya merupakan cara-cara yang lazim digunakan di dalam kultur Muhammadiyah.
“Teman-teman IMM, misalnya sudah terbiasa menggalang dana, mendesain acara, dan melancarkan perlawanan/kritik. Hanya saja kaum muda tidak terbiasa melakukan kapitalisasi dan memamerkannya di media sosial.”
Akibatnya, Muhammadiyah tampak gagap dakwah digital. Ukuran keberhasilan Muhammadiyah di media sosial. Menurutnya, bila merujuk pada survei Denny JA didapatkan keterangan bahwa Muhammadiyah beranggotaan hanya beberapa juta orang, maka salah satu cara mengukur keberhasilan dakwah digital adalah melihat jumlah follower akun-akun resmi Muhammadiyah atau tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Penyebabnya adalah Muhammadiyah terjebak rutinitas, konvensional, gagasan besar yang nirbungkus kasual, dan terakhir, minus empati dan solidaritas sesama Muhammadiyah. “Kita tidak terbiasa menjadi pemain wacana,” imbuhnya.