Mempelajari ilmu dalam Islam tidak semata-mata hanya dengan memahami metode saja, melainkan dalam hal praktik dan pelaksanaannya juga harus diperhatikan.
Dalam melaksanakan setiap hal yang berhubungan dengan Islam, kita diharuskan bertumpu pada Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Namun dalam hal ini, sangan rawan sekali jika penggunaannya dilakukan tanpa dasar ilmu yang valid. Maka dari itu, penting halnya bagi kita untuk mempelajari ilmu-ilmu dalam dunia Al-Qur’an maupun hadits dengan benar.
Karena Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang sudah pasti dan terjaga keasliannya, maka dalam penggunaannya tidak perlu diragukan lagi. Namun, lain halnya dengan hadits. Banyaknya hadits palsu yang telah tersebar di masyarakat menjadi permasalahan penting yang perlu perhatikan.
Bijak Menyikapi Hadits Nabi
Dalam menyikapi hadits–hadits palsu tersebut, diperlukan ilmu-ilmu untuk meminimalisir dampaknya. Dampak tersebut yang nantinya akan berpengaruh terhadap hukum-hukum yang kita gunakan.
Kemudian, selain dampak dari banyaknya hadits palsu yang telah beredar, permasalahan lain yang tak kalah penting adalah perselisihan di antara mazhab satu dengan mazhab lain terkait penggunaan hukum yang mereka pelajari.
Hal ini terjadi karena banyak dari mereka yang menganggap bahwa hadits–hadits yang mereka pelajari saling kontradiktif (bertentangan). Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas sedikit mengenai kontradiksi (mukhtalif) hadits dan ilmu-ilmu yang ada disekitarnya.
Ilmu Mukhtalif Hadits
Ilmu mukhtalif hadits ini adalah sebuah ilmu yang khusus membahas tentang hadits-hadits yang berbeda (bervariasi) dan bertentangan dengan dalil-dalil lainnya beserta penyelesaiannya (Salamah Noorhidayati, 2016, 23).
Dalam memahami hadits mukhtalif, makna yang kita pahami dari pengertian mukhtalif menjadi tolak ukur dari pengaplikasian terhadap hadits tersebut. Maksudnya, jika kita memahami mukhtalif hanya sebatas dengan makna “bertentangan”, maka ketika menghadapi hadits yang seolah-olah bertentangan kita juga menghukuminya demikian. Hal ini tentu tidak dibenarkan.
Padahal, jika kita menelusuri pertentangan tersebut, pada hakikatnya hadits–hadits Rasulullah SAW tidak ada yang bertentangan, hanya saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi adanya ikhtilaf dalam hadits.
Faktor-fator tersebut antara lain, faktor sejarah; waktu penetapan hukum Islam yang bertahap; dari hadits tersebut memang terdapat kecacatan; Rasulullah sendiri berbeda tempat dan waktu dalam penyampaian hadits, perbedaan situasi dan kondisi para sahabat saat menerima hadits tersebut; faktor metodologi yaitu perbedaan dari pemahaman para perawi hadits; serta, faktor ideologi madzhab (Salamah Noorhidayati, 2016, 41).
Ilmu Sekitar Mukhtalif Hadits
Setelah mengetahui ke-ikktilaf-andalam hadits dan latar belakang munculnya hadits–hadits mukhtalif, selanjutnya penulis akan memaparkan sedikit terkait ilmu-ilmu yang ada di sekitar ilmu mukhtalif hadits.
Dalam mempelajari ilmu mukhtalif hadits, rasanya tidak akan lengkap jika kita tidak mempelajari ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengannya. Karena selain penting, ilmu-ilmu tersebut juga bisa membantu kita untuk lebih memahami ilmu mukhtalif hadits.
Ilmu-ilmu tersebut anatara lain adalah ilmu musykil al-hadits, ilmu gharib al-hadits, ilmu asbab wurud al-hadits, danilmu nasakh mansukh hadits.
Ilmu musykil al-hadits merupakan istilah yang diberikan untuk hadits–hadits yang maknanya belum jelas dan ambigu. Syarat musykil dalam hadits adalah harus sahih sanadnya (Salamah Noorhidayati, 2016, 47).
Persamaan ilmu musykil hadīs dengan ilmu mukhtalif hadits adalah sama-sama membahas mengenai pertentangan hadits dengan dalil lainnya.
Sebagaimana yang kita pahami dari pengertian musykil di atas adalah hadits yang maknanya belum jelas dan ambigu. Selain karena menimbulkan makna yang ambigu, faktor lain yang mempengaruhi ketidakjelasan makna dari sebuah hadits adalah ada pertentangan dengan dalil lainnya, dan terdapat kejanggalan dalam makna karena belum banyak digunakan (gharib hadits) (Salamah Noorhidayati, 2016, 50).
Ilmu selanjutnya adalah ilmu gharibul hadits. Menurut Ibn Ash-Shalah ilmu Gharibul Hadits adalah ilmu yang digunakan untuk mengungkapkan lafal-lafal yang tersembunyi dalam matan hadits yang menjadikannya sulit dipahami karena jarang digunakan (Salamah Noorhidayati, 2016, 52).
***
Sedangkan menurut An-Nawawi adalah kosa kata yang sulit dipahami dalam matan hadits karena jarang digunakan (M. Khoirul Huda, 2019, 133). Dari kedua definisi tersebut dapat kita pahami bahwa yang dikatakan sebagai gharib dalam hadits adalah, kata yang sulit dipahami dalam matan hadits karena jarang digunakan.
Terdapat 3 cara untuk mengetahui ke-gharib-an suatu hadits, yaitu pertama dengan melihat jalur sanad lain dari hadits tersebut. Kedua, berdasarkan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan diikuti dengan pernyataan sahabat lainnya. Ketiga, melalui penjelasan perawi selain dari kalangan sahabat (Salamah Noorhidayati, 2016, 53).
Keterkaitannya dengan ilmu mukhtalif hadits adalah, kedua ilmu ini sama-sama membahas terkait permasalah yang menimbulkan pertentangan hadits dengan dalil lainnya. Jika tidak ada ilmu yang mengkaji lafal-lafal yang asing dalam hadits, maka akan timbul pertentangan antara dalil-dalil tersebut dikarenakan pemahaman tiap perawi yang berbeda dan periwayatan dengan bahasa mereka juga berbeda-beda. Maka dari itu, ilmu ini penting dan sangat berperan untuk membantu pemahaman dalam ilmu mukhtalif hadits.
Selanjutnya ilmu Asbābul Wurūd Hadīs. Merupakan ilmu yang khusus membahas sebab-sebab, latar belakang, dan peristiwa yang mengiringi turunnya sebuah hadits.
Di antara faktor-faktor yang menyebabkan Rasulullah SAW menyampaikan sabdanya, (1) Faktor internal yaitu hal-hal tertentu yang menyebabkan beliau melakukan dan mengatakan sesuatu. (2) Faktor eksternal yang berkaitan dengan kondisi sahabat penerima hadits. (3) Faktor waktu, tempat dan kondisi saat Rasulullah SAW menyampaikan atau melakukan sesuatu (Salamah Noorhidayati, 2016, 56).
Keterkaitan dengan ilmu mukhtalif hadits adalah, dengan adanya ilmu yang menerangkan latar belakang munculnya sebuah hadits, ketika ada hadits mukhtalif yang bertentangan dengan dalil lain maka ilmu asbābul wurūd hadīs berperan dalam membantu menyelesaikan permasalah tersebut.
Terakhir yaitu ilmu nasakh wa mansukh hadits. Merupakan ilmu yang membahas tentang penghapusan atau penggantian hadits sebagai hukum dengan dalil lainnya.
***
Syarat-syarat dibolehkannya nasakh yaitu harus berupa nash syar’i (dalil al-qur’an dan hadits tentang hukum); datangnya belakangan; tidak dapat diatasi dengan al-jam’u atau pengkrompromian; serta ke-valid-an kedua dalil sama.
Selanjutnya syarat-syarat dibolehkannya mansukh yaitu harus berupa nash syar’i (dalil al-qur’an dan hadits untuk penetapan hukum); ada tarikh yang membuktikan bahwa nasakh datang sesudah mansukh; tidak dibatasi waktu (M. Khoirul Huda, 2019, 119).
Ilmu ini merupakan salah satu metode penyelesaian hadits mukhtalif. Maksudnya adalah sebagai salah satu perangkat pemahaman yang bisa digunakan untuk mendalami ilmu mukhtalif hadits.
Oleh karena itu, kedua ilmu ini saling berkaitan. Jadi, pada hakikatnya semua ilmu yang telah disebutkan di atas adalah ilmu-ilmu yang bisa kita gunakan untuk bisa lebih mengenal ilmu mukhtalif hadits.
Editor: Yahya FR