Falsafah

Cara Berpikir Qur’ani Mulla Shadra

3 Mins read

Gesekan Filsafat dengan Keilmuan Lain

Paradigma pemikiran filsafat sering berubah seiring determinan dengan perkembangan zaman dan tempat. Aristoteles dan Plato telah berhasil menancapkan filsafat dalam bentuk peripatetik.

Kemudian, perkembangan filsafat itu diakomodir oleh Ibnu Sina yang mengembangkan pemikirannya berbentuk Masyaiyah (Peripatetisme), yang mengambil alih filsafat Aristoteles.

Lalu, inspirasi dari corak pemikiran Ibnu Sina memberikan pemikiran baru bagi Suhrawardi al-Maqtul, maka lahirlah filsafat Isyraqiyah (iluminasionisme).

Telah terjadi pertentangan antara paripetik dan illuminasi, filsafat dan irfan, atau filsafat dan kalam, yang belum menemukan penyelesaiannya. Pertentangan antar para filosof dengan mistisme (penganut mistisme Islam), juga di sisi lain pertentangan mutakallimin (para teolog Islam) dengan al-fuqaha (para ahli fiqh).

***

Sebagai bukti kesaksian di atas, betapa dahsyat pertentangan mereka dapat dilihat dalam dua karya Al-Ghazali, Maqashid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah merupakan dekonstruksi Al-Ghazali terhadap para Filosof Muslim. Dan juga karya Ibn Rusyd Tahafut al-Tahafut sebagai jawaban atas kritik Al-Ghazali terhadap para filosof seperti Al-Farabi dan Ibn Sina.

Kemudian muncullah Shadru al-Dien Muhammad ibn Ibrahim al-Syirazi yang dikenal dengan sebutan Mulla Shadra yang sangat relatif baru dalam pergumulan filsafat Muslim. Ia mencoba mendamaikan ruang pemikiran filsafat ke arah yang lebih komprehensif dan compatible dengan pola “berpikir Qur’ani” dengan menawarkan metode berpikir al-Hikmah al-Muta’aliyah yang kemudian diartikan sebagai filsafat transeden. Adapula yang memahami sebagai filsafat eksistensialisme, filsafat teosofi, atau di kalangan para pemikir Muslim dikatakan sebagai filsafat irfani.

Sekilas tentang Mulla Shadra

Nama lengkap Mulla Shadra adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, dan diberi gelar “Shadr al-Din, lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra atau Shadr al-Muta’allihin (Syaifan Nur, 2002: 42-43).

Baca Juga  Titik Temu Gagasan Pluralisme dan Kebebasan Beragama

Mulla Shadra adalah salah seorang filosof Muslim terbesar. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam.

Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars.Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz (Syaifan Nur, 2002: 42-43).

Mulla Shadra mendapatkan pelajaran pertama di kota Syiraz. Selain dibimbing oleh keluarganya yang juga berasal dari keluarga terpandang dan terpelajar, ia juga mendapatkan pelajaran dari sekolah dasar di kota tersebut (Syaifan Nur, 2002: 44).

Mulla Shadra adalah murid pertama dari Syaikh Al-Baha’i dan kemudian murid dari Mir Damad, pendiri mazhab filsafat Islam Isfahan. Di bawah asuhan keduanya, Mulla Shadra memiliki keunggulan ilmu di bidang filsafat, tafsir, hadis, dan irfan.

Setelah merampungkan pendidikan formalnya, ia terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari kaum Syiah dogmatis. Dan dalam periode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan menjalani uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama periode ini, pengetahuan yang pernah diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, dan kreativitasnya menemukan tempat penyalurannya.

Tak hanya itu, karya-karyanya meliputi hampir lima puluh tentang pelbagai persoalan di hampir setiap disiplin ilmu-ilmu tradisional Islam, di antaranya: Al-Hikmah al-Arsyiyyah, Al-Hikmah al-Muta’alliyah fi al-Asfar al-‘aqliyyah al-Arba’ah, Al-Lama’ah al-Masyriqiyyah fi al-Funun al-Mantiqiyyah, Al-Mabda’ wa al-Ma’ad, Al-Masya’ir, Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi al-Asrar al-Ulum al-Kamaliyyah, Al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah, Al-Tasawwur wa al-Tasdiq, dan masih banyak lainnya (Mustamin Al-Mandary, 2003:11-12).

Berpikir Qur’ani menurut Mulla Shadra

Mulla Shadra mengkritisi pemikiran filsafat Islam ke dalam pendekatan sintesis akhir berbagai pemikiran filsafat. Basis utama pemikirannya yaitu bertumpu pada ajaran Al-Qur’an dan sunah, filsafat peripatetik, iluminatif, kalam sunni, serta irfani (gnosis).

Baca Juga  Spat-Kapitalismus: Tertindas, tapi Tak Merasa Tertindas

Mulla Shadra membuat sintesis secara menyeluruh yang kemudian ia namakan al-hikmah almuta’aliyah. Mulla Shadra merasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual, dan visi batin atau pencerahan (kasyf) (Ahmad Tafsir, 1993).

Ungkapan Hikmah Muta’aliyah, terdiri atas dua istilah al-Hikmah (artinya teosofi) dan al Muta’aliyah (tinggi atau transenden).

Muta’aliyah dimaksudkan sebagai sistem filsafat yang melebihi wacana sebelumnya, yaitu peripatetik, illuminasionisme dan gnostis. Apabila teologi menekankan pada teologi argumentasi naqli, kalau peripatetic lebih menekankan pada argumentasi emontratif, dan kalau illuminasionisme serta gnostis lebih menekankan pada pembenaran intuisi (dzawq), maka Hikmah Mutaaliyah menggabungkan ketiga metode di atas yang direlevansikan dengan Al-Qur’an, hadis nabi, dan perkataan sahabat, khususnya Ali bin Abi thalib (Hasan Bakti Nasution, 2006).

Secara epistemologis, Hikmah Muta’aliyah ini berarti kebijaksanaan yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), dan syariat. Dengan demikian, Hikmah Muta’aliyah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional.

***

Hikmah Muta’aliyah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi, juga realisasi yang mengubah wujud penerima pencerahan untuk merealisasikan pengetahuan. Sehingga, terjadinya transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syariat.

Adapun pengertian Hikmah Muta’aliyah menurut Mulla Shadra adalah, pengetahuan yang didasarkan pada argumentasi rasional/burhani, teologi dan filsafat, visi rohani/dzauq, tasawuf, serta sesuai dengan syari’at (Hasan Bakti Nasution, 2006).

Di samping itu, Mulla Shadra juga mempertemukannya dengan kebenaran Al-Qur’an dan hadis. Harmonisasi yang dilakukannya menghasilkan sebuah sintesa yakni mengintegrasikannya melalui tiga jalan, Al-Qur’an (wahyu), burhan (demonstrasi atau inteleksi), dan irfan spiritual atau mistis). Karena memang ketiganya tidaklah bertentangan dalam tujuannya mencapai kebenaran.

Baca Juga  Harun Nasution, Pendukung Mu'tazilah dan Pembaharu IAIN

Keberhasilannya melakukan sintesis dan penyatuan terhadap tiga arus kebenaran utama, antara lain, wahyu, demonstrasi rasional, dan penyucian jiwa, yang membelokkan arah filsafat menuju illuminasi. Baginya, gnostik, filsafat, dan wahyu agama, merupakan elemen harmonisasi yang keharmonisan tersebut bermuara pada pola kebaikan hidup manusia.

Dia memformulasi sebuah perspektif dalam kerangka demonstrasi rasional filsafat. Sekalipun tidak terbatas pada filsafat Yunani, namun juga menjadi sangat erat kaitannya dengan Al-Qur’an, hadis, dan pernyataan para Imam. Semuanya menyatu dalam doktrin gnostik sebagai hasil dari iluminasi yang diterima melalui penyucian diri.

Editor: Rozy

Salman Akif Faylasuf
59 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds