Falsafah

Mulla Shadra (2): Mengajar dan Kontemplasi Filosofis

4 Mins read

Kemasyhuran Mulla Shadra atau Shadr Al-Din sebagai guru dua cabang ilmu dan pengajaran Syi’ah – naqliah dan ‘aqliah – segera merebak sepanjang ibu kota Shafawiyyah. Banyak jabatan resmi ditawarkan, tetapi tidak diterima, sebagaimana disepakati oleh para biografernya. Shadra tidak sudi dengan penghargaan material serta penolakannya mengabdi di istana pada masa itu.

Para sejarahwan juga menyatakan bahwa ketersohoran tiba-tiba Shadr Al-Din menemui kecemburuan khas dari pihak anggota komunitas ulama. Ia dituduh kafir secara semena-mena, dan ini merupakan salah satu faktor penolakannya menjadi pusat perhatian liingkaran-lingkaran Shafawiyyah di Isfahan.

Namun, ia bersedia kembali ke kehidupan publik dan mengajar di madrasah  yang dibangun dan ditunjang oleh bangsawan Shafawiyyah, Allahwirdi Khan, di Syiraz. Lembaga pendidikan baru, yang jauh dari lingkungan politik ibu kota, cocok bagi kesibukan dan keasyikan Shadr Al-Din yang semakin meningkat dengan mengajar dan meditasi.

Bahasa yang digunakan untuk menggambrkan kehidupan kontemplatif Shadr Al-Din dengan kuat memperlihatkan sikap Iluminasionisnya terhadap filsafat umumnya dan pandangan Iluminasionis tentang keutamaan pola pengetahuan intuitif yang dialami khususnya. Suhrawardi telah mendemonstrasikan keabsahan visi-iluminasi (musyahadah wa isyraq) sebagai sarana bagi penemuan kebenaran-kebenaran abadi yang dipakai dalam kontruksi filsafat.

Tradisi Iluminasionis secara berulang-ulang menggunakan alegori (kiasan) perjalanan batin yang diarahkan kepada mundus imaginalis (‘alam al-khayal) sebagai metode tertinggi untuk memperoleh prinsip-prinsip filsafat yang benar. Suhrawardi telah menetapkan urutan tindakan-tindakan tertentu sebagai langkah pertama yang diperlukan untuk mencapai visi ini, yang diyakininya akan menghasilkan pengetahuan atemporal dan langsung tentang seluruh realitas.

Shadra ternyata menerima diktum-diktum ini dengan sungguh-sungguh. Semua biografernya menyinggung soal praktik asketis (riyadhah) dan pengalaman visioner (musyahadah, mukasyafah) nya. Banyak diantara tulisan-tulisan filosofis Shadr Al-Din menginformasikan kepada pembaca bahwa esensi argumen filosofisnya pertama kali disingkapkan kepadanya dalam pengalaman visioner, yang kemudian dianalisisnya dalam sistem diskursif.

Baca Juga  Gayatri Spivak: Feminisme Barat Belum Tentu Cocok di Dunia Timur

Aktivitas Mengajar dan Pengaruhnya

Selama periode kehidupannya inilah Mulla Shadra mendidik dan melatih sejumlah pelajar. Aktivitas ini kemudian menjadi signifikan dalam aktivitas-aktivitas filosofis selanjutnya di Persia. Dua murid terpentingnya menghasilkan karya-karya yang dikaji dan diteliti secara luas hingga sekarang.

Yang pertama, diantara para siswanya yang layak diperhatikan di sini, yaitu Muhammad ibn Al-Murtadha’ – yang dikenal sebagai Mulla Muhsin Faidh Kasyani yang menulis sebuah risalah yang berjudul Al-Kalamat Al-Makmunah, yang menekankan dua sisi pemikiran sang guru, yaitu gnostik (‘irfan) dan interpretasi Syi’ah terhadap alam ghaib yang termaktub dalam Al-Qur’an sebagai sumber ilham.

Yang kedua, adalah ‘Abd Al-Razzaq ibn Al-Husain Al-Lahiji, yang ringkasan-ringkasan berbahsa Persianya tentang kecenderungan Peripatetik gurunya sangat populer di Persia. Syawariq Al-Ilhamnya layak disebut secara khusus di sini karena memasukkan pandangan Ibn Sina tentang etika.

Kedua pemikir muda ini juga menikahi kedua putri Shadr Al-Din, yang mengungkapkan hubungan yang semakin akrab antara syaikh dan pengajar dalam lingkaran terpelajar Syi’ah yang masih terus berlangsung hingga hari ini. Beberapa murid lainnya disinggung pula dalam sejumlah sumber biografis, termasuk dua putra sang guru ini.

Walaupun pengaruh karya dan pemikiran Shadr Al-Din atas sejarah intelektual Islam sangat monumental, amat sedikit studi sistematis dan komprehensif tentang filsafatnya yang tersedia dalam terjemahan bahasa-bahasa Barat. Studi ekstensif paling awal dilakukan oleh Max Horten, yang Das Philosopische System von Schirazi (1913)-nya masih menjadi sumber yang cukup andal meskipun penulisnyamasih menggunakan terminologi filsafat pramodern dan pandangan lama Orientalis.

Dalam dekade-dekade lebih belakangan, suntingan-suntingan teks dan studi-studi rintisan Henry Corbin membuka sebuah babak baru dalam kesarjanaan Barat tentang filsafat Islam, yang melahirkan kesadaran akan eksistensi tren-tren orisinal pada periode pasca-Ibn Sina, jika bukan pemahaman analitis lengkap dan tuntas tentang signifikansi filosofis mereka. Namun, penekanan Corbin pada dimensi yang diduga esoterik dari pemikiran Shadr Al-Din cenderung menutupi filosofis Barat modern terhadap “filasafat metafisika”.

Baca Juga  Bagaimana Filsafat Islam Mendefinisikan Eksistensi?

Mengikuti Corbin, kajian Seyyed Hossein Nasr terhadap pemikiran Shadra dan kajian serta terjemahan James Morris dari karya Shadr Al-Din yang kurang begitu penting, yang berjudul Hikmah ‘Arsyiyyah (diterjemahkan Morris dengan Wisdom of the Trone), juga menekankan aspek non-sistematik filsafat ini. Pilihan mereka pada istilah-istilah seperti “teosofi transenden” tidak menunjukkan sisi filosofis kegeniusan orisinal pemikiran Shadr Al-Din.

Hingga kini, satu-satunya studi yang mendalam tentang “filsafat metafisika” Shadr Al-Din adalah karya Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Shadra. Penggunaan terminologi filsafat kontemporer oleh Rahman dan pendekatannya kepada sistem pemikiran filsafat Islam menjadi pengantar berharga dalam bahasa Inggris yang dapat di sejajarkan, dari segi ruang lingkup dan analisisnya, dengan banyak karya Eropa abad ke-17 hingga ke-19.

Orisinalitas Pemikiran

Seberapa jauh Mulla Shadra dapat dianggap sebagai seorang pemikir orisinal? Dan sejauh manakah sintesis barunya dan formulasinya atas apa yang diyakininya sebagai keseluruhan filsafat, yang kemudian diberinya nama filsafat metafisika itu secara logis konsisten dan secara filosofis masuk akal?

Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab jika studi-studi lanjut dilakukan oleh para filosof yang berminat pada pertanyaan-pertanyaan ini, dan oleh orang yang dengan mata terlatih dapat melihat aspek-aspek yang lebih mendalam dari aspek-aspek yang diduga “teosofis” dari pemikiran Shadr Al-Din. Ini bukanlah tugas mudah, karena hingga sekarang baru beberapa karyanya yang telah disunting dengan baik; dan, lebih sedikit lagi (jika ada) yang telah diterjemahkan penuh arti dari sudut pandang filsafat teknis.

Satu-satunya sarjana sepengetahuan saya yang telah menganalisis dan menulis berbagai aspek filsafat Islam dari perspektif filsafat modern dengan menggunakan bahasa kontemporer dan pendekatan analitis adalah filosof Islam terkemuka Mehdi Ha’iri Yazdi. Meskipun sebagian besar karyanya berbahasa Persia sehingga sulit di akses secara luas – studinya paling mutakhir dalam bahasa Inggris, berjudul Knowledge by Presence, menggambarkan suatu upaya serius untuk membuka dialog dengan filosof Barat kontemporer.

Baca Juga  Konsep Being Menurut Jean Paul Sartre dan Muhammad Iqbal

Dalam karya ini, para pengkaji filsafat modern dapat mengikuti argumen filosofis yang sudah berumur berabad-abad berkenaan dengan keunggulan epistemologis modus pengetahuan intuitif dan eksperensial tertentu yang seluruhnya diuji ulang dan diverifikasi oleh Shadr Al-Din. Para peneliti mungkin masih lebih menyukai modus yang murni predikatif-proposisional, yang menerima pandangan para logikawan, tetapi mereka tidak lagi dikacaukan oleh banyaknya karya polemik yang umumnya mengabaikan konsep epistemologis Iluminasionis tentang “melihat” (musyahadah) – modus pengetahuan dengan kehadiran – yang hanya dianggap semata “pengalaman mistik” (yang umumnya disebut sebagai pengalaman sufi).

Sebagian pembaca argumen-argumen epistemologis Islam dapat melihat kemiripan menonjol dengan gagasan-gagasan Barat, seperti “intuisi primer”-nya Brouwer dalam fondasi Intuisionisnya bagi matematika, misalnya. Sebagian barangkali menemukan kesejajaran dan kesepadanan dengan pemikiran kontemporer tentang masalah intuisi yang menganggap pemikiran itu sebagai hasil pemahaman subjek yang mengetahui atas suatu objek ketika dikotomi subjek-objek tidak berlaku dengan kata lain, ketika subjek objek itu satu.

Sederhananya, inilah yang dimaksud dengan “kesatuan orang yang mengetahui, apa yang diketahui, dan akal (ittihad al-‘aqil wa al ma’qul wa al-‘aql), yang diperkenalkan oleh Suhrawardi dan selanjutnya dianalisis oleh Shadr Al-Din.Masih banyak karya keilmuan yang harus dikerjakan, tahap pertama adalah editing dan penerjemahan teks-teks Arab dan Persia.

Generasi-generasi filosof dalam Islam, yang sebagian besar tidak menganggap diri mereka sebagai sufi, telah mengkaji teks-teks Iluminasionis dan juga teks-teks dalam tradisi “filsafat metafisika” Shadr Al-Din dan meganggap mereka telah mewakili sistem yang sangat rasional seraya menegaskan pentingnya Iluminasi.


Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds