Jika kita men-search di mesin pencarian persentuhan Muhammadiyah dengan tasawuf, maka akan keluar beberapa artikel berkaitan dengan tema tersebut. Beberapa artikel itu di antaranya ditulis oleh cendekiawan Muhammadiyah sendiri; Ahmad Najib Burhani dan Syafiq A. Mughni.
Tasawuf Menurut Tokoh Muhammadiyah
Keduanya, pada batas-batas tertentu sebenarnya sangat mengapresiasi dimensi esoteris Islam ini. Najib Burhani misalnya mengatakan, tujuan dari tasawuf itu sendiri adalah kesempurnaan akhlak dan tidak ada yang memungkiri jika tasawuf adalah moral education atau moral elaboration perfection.
Bahkan, katanya, tasawuf falsafi, jika dipikirkan dengan pikiran yang lebih positif. Pemikiran para teosofi (sufi falsafi) ini bertujuan untuk lebih mengenal Allah lebih dekat. Hanya saja, dalam rangka mengenal Tuhan itu, mereka melakukan upaya-upaya tertentu untuk lebih mengenal penciptanya hingga pada batas-batas penyatuan dengan zat ilahiyah seperti dalam konsep wahdatu al-wujud dan wahdatu as-syuhud yang banyak ditentang oleh para sufi beraliran Sunni.
Sementara menurut Syafiq A. Mughni, jika mengaitkan tasawuf dengan tradisi di Muhammadiyah maka tasawuf itu sendiri identik dengan akhlak (tasawuf akhlaki), ihsan (berbuat baik), dan tazkiyatunnafs (meyucikan jiwa). Karena tasawuf banyak distigmatisasikan oleh sebagian kalangan Muhammadiyah mengandung TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat), maka tasawuf dianggap sebagai doktrin yang “dilarang” dan sulit mendapatkan legitimasi di dalam Muhammadiyah secara formal. Seandainya tidak ada itu, kata Mughni, maka tasawuf akan diterima dengan baik di Muhammadiyah.
***
Tak hanya itu, berbagai macam penelitian yang mengaitkan Muhammadiyah dengan doktrin tasawuf pun sudah banyak dilakukan, beberapa di antaranya; disertasi Prof. Masyitoh Chusnan di UIN Jakarta, yang melirik kesufian AR Fakhruddin sebagai sosok Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1968-1990). Penelitian Dr. Khozin “Sufi Tanpa Tarekat” yang menyebut karakteristik tasawuf Muhammadiyah sebagai “Tasawuf Akhlak Transformatif” yang pada intinya, berorientasi pada semangat spiritualitas sang pendiri Muhammadiyah yaitu KH. Ahmad Dahlan, dan berbagai penelitian-penelitian lainnya.
Karakteristik ini kemudian diperinci lagi oleh Prof. Biyanto dalam “The Typology of Muhammadiyah Sufism: Traching its Figures’ Thoughts and Exemplary Lives.” Ia menyebut ada tujuh karakteristik tasawuf di Muhammadiyah; (1) berbasis pada tauhid murni; (2) dipraktikan dalam bingkai syariah, sesuai al-Quran dan as-Sunnah; (3) substansi tasawuf Muhammadiyah adalah akhlakul karimah yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari; (4) berorientasi pada amal shaleh, praksis sosial, bergerak dari teori ke praktik; (5) sesuai dengan semangat modernitas sehingga layak disebut “Tasawuf Modern”; (6) Diekspresikan dalam corak yang lebih aktif dan dinamis; (7) menjauhi wacana tasawuf falsafi yang mengundang perdebatan.
Memang betul, corak tasawuf dalam Muhammdiyah itu, kerap kali dikaitkan dengan istilah Neo Sufisme yang dipopulerkan oleh Fazlur Rahman. Namun, Neo Sufisme tetap saja “sufisme” (esoterisme Islam) yang dielaborasikan bersamaan dengan paham fundamentalisme dan digerakkan dengan semangat modernitas. Dengan kata lain, Neo Sufisme adalah fundamentalisme plus aktivisme. Tema ini pernah digarap oleh Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam “Diskursus Neo Sufisme Muhammadiyah: Geneologi, Konstruksi, dan Manifestasi”(baca: neo-sufisme).
Tasawuf Modern Buya Hamka
Terlepas dari postulat-postulat di atas, adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan nama Buya Hamka, salah satu prototipe atau figur di kalangan tokoh Muhammadiyah yang dinilai berhasil mengembangkan tasawuf dalam kerangka ideologi Muhammadiyah. Tak ada yang memungkiri, Hamka adalah tokoh pemikir Islam Indonesia yang lahir dari rahim Muhammadiyah. Karya-karyanya sarat dengan kehidupan ruhani Islam. Salah satu gagasannya yang hingga kini masih digandrungi oleh para penggemar kajian tasawuf, utamanya di Nusantara, adalah Tasawuf Modern.
Melalui gagasan “Tasawuf Modern,” Hamka mencoba menawarkan sejumlah konsep beragama yang mandalam, bersifat batiniah, namun tetap berada dalam koridor syariah (al-Quran dan as-Sunnah). Ia ingin mengembalikan makna tasawuf sebagai warisan khazanah intelektual Islam yang pernah gemilang kepada asalnya. Singkatnya, Hamka, mengutip al-Junaidi, memaknai Tasawuf Modern sebagai upaya “keluar dari budi perkerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji” dengan tambahan keterangan “Modern.”
Dengan demikian, Tasawuf Modern adalah ajaran esoterisme Islam seperti tabuat, zuhud, sabar, wara, tawakkal, al-hub, dan ridha, dan lain sebagainya, yang dikontekstualisasikan dengan semangat zaman.
Pada titik inilah, kita bisa memahami bahwa Muhammadiyah tak melulu anti terhadap tasawuf. Hanya saja, sebagaimana pengamatan Mark R. Woodward dan Ahmad Jainuri, ada perbedaan pengertian atau penafsiran yang berasal dari sejumlah aksioma kebudayaan dan keagamaan, antara tasawuf yang dimaknai oleh kaum modernis dengan tasawuf yang dimaknai oleh kaum tradisionalis, antara ahli syariah (ulama dan fuqaha) dengan para sufi.
Sebuah Tantangan bagi Muhammadiyah
Menurut saya, tantangan Muhammadiyah ke depan dalam bidang spiritual, boleh jadi terletak pada gairah keberagamaan muslim di Indonesia yang semakin besar. Gairah tersebut, oleh sebagian kalangan diekspresikan dalam wajah keagamaan dan gerakan yang hari ini disebut sebagai “Trend Hijrah.” Untuk menyebut beberapa fenomenanya seperti “Pemuda Hijrah Shift,” “Hijrah Squad,” “Gelaran Hijrah Fest,” dan lain sebagainya.
Namun sayangnya, sebagian gerakan itu mengarah kepada konservatisme agama yang berujung pada pemahaman keras, intoleransi, dan radikal. Hal ini, tak terlepas dari dominasi pendekatan dakwah Islam yang berbasis pada “fiqih oriented.” Sebagai akibatnya, kaum muslim lebih mengenal Islam dalam aspek kehukumannya saja, dan jarang sekali memahami aspek batinnya.
Tentu saja, saya tidak memungkiri bahwa gerakan tersebut telah berkontribusi dalam melakukan islamisasi yang cukup signifikan, terutama kepada anak-anak muda. Hanya, yang cukup disayangkan, sebagian gerakan ini terjebak pada doktrin keislaman yang kaku, rigid, dan hingga pada batas-batas tertentu mengkafirkan kelompok-kelompok Islam lainnya yang bersebrangan pandangan.
Jika diamati, simpatisan dari gerakan hijrah ini, kebanyakan mereka yang memiliki latar belakang kehidupan yang awalnya kurang mengenal agama kemudian menjadi kenal, baik di lingkungan keluarganya maupun sekolahnya. Mereka, seperti merindukan kehidupan spiritual atau ruhani yang lebih dekat dengan Tuhan. Atau mereka yang semasa hidupnya, sebelumnya pernah melakukan hal-hal yang dianggap berdosa kemudian melakukan pertaubatan dengan mengikuti secara aktif berbagai kajian-kajian keislaman, seperti para seleb yang turut membesarkan gerakan ini.
Perlunya Mengembangkan Tasawuf di Muhammadiyah
Pada titik inilah, Muhammadiyah menurut saya, perlu mengembangkan (sekurang-kurangnya menggeliatkan kajian) doktrin spiritual yang lebih segar dan diterima oleh kalangan muslim Indonesia. Sekurang-kurangnya, Muhammadiyah perlu melirik kembali tasawuf Buya Hamka, yaitu Tasawuf Modern.
Alasannya yang pertama, gerakan modernisasi yang dilakukan Muhammadiyah sudah terlalu masif, sehingga Muhammadiyah oleh sebagian kalangan, dianggap kekeringan spiritual. Hal ini pernah disinyalir oleh Azyumardi Azra, bahwa kajian-kajian tentang spiritualitas di Muhammadiyah masih kurang atau sedikit.
Kedua, figur keulamaan di Muhammadiyah yang semakin sedikit, Muhammadiyah seperti ditinggal oleh ulama-ulama kharismatiknya, sebut saja salah satunya KH. Yunahar Ilyas. Hajrianto Tohari dalam tulisannya, pernah bercerita tentang KH. Tafsir, Ketua PWM Jawa Tengah, yang mulai kesulitan mendapatkan partner diskusi di Muhammadiyah yang mendalami betul ilmu-ilmu keislaman.
Di Kota Serang, saya sendiri punya pengalaman tentang hal ini. Saat ingin meneliti untuk tesis magister, saya sempat bertanya ke beberapa pengurus Muhammadiyah Kota Serang. Siapa tokoh atau figur ulama yang ada di Kota Serang? Jawabannya mengarah hanya pada satu orang yaitu Ustadz Manar Mas Muhammadiyah, alumnus sekolah tarjih di Yogyakarta dan anak KH. AS Hasan, aktivis Muhammadiyah Kota Serang.
Pertanyaannya, bisakah ajaran-ajaran sufistik itu berkembang di Muhammadiyah? Tentu saja bisa! Hanya tentu dalam pengamalannya akan berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf yang dipraktikan oleh berbagai macam tarekat-tarekat yang ada di Indonesia.
Dengan melakukan upaya arkeologis, meminjam istilah Abdul Kadir Riyadi, yaitu menggali sesuatu yang hilang kemudian ditangkap, setidaknya kita akan menumukan ajaran KH. Ahmad Dahlan yang lebih spiritual, bahwa Muhammadiyah dengan doktrin purifikasinya, tak melulu berbicara soal tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Editor: Soleh