Tasawuf

Kalender Hijriyah: Antara Hisab dan Ru’yah bil Fi’li

4 Mins read

Oleh: Ir. Basit Wahid

Kalender Hijriyah mendasarkan perhitungannya pada edaran Bulan mengelilingi Bumi. Satu kali edaran lamanya 29 ½ hari, atau tepatnya 29,530588 hari. Berbeda dengan agama Kristen, Agama Islam memberikan tuntunan mengenai penyusunan kalender, terutama untuk pegangan bagi umat di dalam menjalankan peribadatan. Antara lain dijelaskan, bahwa awal bulan dan akhir bulan ditentukan betul-betul dengan mendasarkan pada peredaran Bulan. Tidak boleh semau gue, dengan menyisipkan satu dua hari pada bulan-bulan tertentu sebagai pernah dijalankan di masa jahiliyah.

Bilangan Bulan

Bulan Muharram, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah adalah empat bulan yang dihormati. Yakni, di dalam bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan. Tetapi orang Arab jahiliyah melanggar peraturan itu dengan mengadakan peperangan di bulan Muharram dan menjadikan Shafar sebagai bulan yang dihormati untuk mengganti bulan Muharram. Meskipun bulan yang disucikan jumlahnya tetap empat, tetapi dengan perubahan semacam itu, tertib keamanan di jazirah Arabia menjadi kacau, lalu lintas perjalanan dan perdagangan menjadi terganggu.

Oleh sebab itu, perbuatan mengundur-undurkan bulan dilarang keras di dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 37 yang artinya: “Sungguh nasi’ atau perbuatan mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang kafir dengan mengundur-undurkan itu. Mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan oleh Allah, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”

Jumlah bulan di dalam satu tahun ditetapkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 36 yang artinya: “Sungguh bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, di dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan Langit dan Bumi, di antaranya 4 bulan haram,” dan seterusnya.

Baca Juga  Rahasia Hidup Zuhud Imam Hasan Al-Bashri

Oleh sebab itu, tidak dibenarkan bila manusia ingin mengubah jumlah bulan menjadi 13 atau berapa saja, tidak pula dibenarkan menggeser bulan Ramadhan pada bulan Rajab, misalnya. Juga tidak dibenarkan untuk mengganti bulan Dzulhijjah bulan untuk ibadah Haji menjadi bulan Shafar. Juga tidak dibenarkan menggeser hari Jum’at ke hari Ahad dengan ibadat Jum’atnya, meskipun dengan rasio intelek manusia yang mungkin mengaku dirinya rasional, eksak, dan sebagainya.

Perhitungan Bulan dan Ibadah

Ibadat puasa, ibadat haji, ibadat Jum’at, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha telah ditentukan di dalam Al-Qur’an waktu-waktunya, bulan dan harinya. Jadi, juga tidak dibenarkan misalnya menyisipkan satu hari Sabtu yang kedua di dalam satu Minggu, sebagaiman disarankan untuk memperbaiki kalender Miladiyah.

Surat Al-Baqarah ayat 189 jelas menerangkan, bahwa bulan diciptakan oleh Allah untuk mengukur waktu. Arti ayat tersebut: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit adalah tanda waktu bagi manusia dan bagi “ibadat haji,” dan seterusnya. Di dalam Surat Yunus ayat 5 diterangkan: “Allah menciptakan Matahari bercahaya dan Bulan bersinar dan ditetapkan tempat-tempat lintasan Bulan, supaya kamu tahu akan bilangan tahun dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan hak. Dia jelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.”

Meskipun hisab atau perhitungan waktu dijelaskan di dalam Al-Qur’an dengan tegas, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT di dalam Surat Yunus ayat 5 tersebut, namun penentuan bulan baru untuk mulai puasa dan mengakhirinya biasa dilakukan dengan ru’yah bil fi’li atau actual observation. Hal itu berdasarkan sabda Nabi: “Shumu liru’yatih wa afthiru li ru’yatih = Puasalah karena menyaksikan bulan (baru) dan berbukalah karena menyaksikannya.” Namun banyak juga ulama yang menentukan bulan baru dengan hisab astronomi, berdasarkan Surat Yunus ayat 5. Meskipun demikian, hasil dua buah pemikiran tersebut pada umumnya tidak mengakibatkan perbedaan tentang permulaan dan akhir puasa.

Baca Juga  Tiang Gantungan: Akhir Tragis Kehidupan Al-Hallaj

Oleh karena bulan baru di dalam kalender Hijriyah selalu ditentukan baik dengan hisab astronomi maupun dengan ru’yah bil fi’li, maka tidak akan terdapat kekeliruan sepanjang masa, seperti halnya pernah terjadi kekeliruan besar di dalam kalender Miladiyah. Yakni, pada tahun 1582, hingga perlu diadakan koreksi 10 hari! Meskipun demikian, perhitungan kalender Hijriyah ternyata menjalani peredaran siklus yang tertib dan teratur yang memudahkan perhitungan. Ialah bahwa dua bulan Qamariyah berjumlah kira-kira 59 hari. Maka dapatlah panjang bulan ditentukan secara berselang-seling 30 dan 29 hari.

Hisab ‘Urfi

Dengan dasar perhitungan ini, maka bulan yang ke-1, 3, 5, 7, 9, dan 11 mempunyai 30 hari. Sedangkan bulan ke-2, 4, 6, 8, 10, dan 12 mempunyai 29 hari. Dengan demikian satu tahun yang biasa mempunyai 354 hari. Karena 1 bulan Qamariyah tepatnya adalah 29,530588 hari, maka 1 tahun tepatnya mempunyai 12 x 29,530588 hari 354, 36705 hari. Selisih 0,36705 hari ini boleh dikata hampir persis sama dengan 11/30 hari, yakni 11/30 = 0,36667. Bedanya cuma kecil sekali, yakni 0,36725-0,36667 = 0,00038. Kekurangan 11/30 hari setiap tahun yang ditimbulkan oleh perhitungan ini dapat dikoreksi dengan menambahkan 11 hari yang dinamai yaumul kabs pada setiap 30 tahun Qamariyah.

Cara yang paling luas digunakan di dalam negara-negara Islam adalah penentuan tahun-tahun kabisat di dalam setiap siklus 30 tahun, ialah tahun yang ke: 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29. Di dalam setiap tahun kabisat disisipkan satu hari tambahan di dalam bulan Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah yang di dalam tahun yang biasa memiliki 29 hari, di dalam tahun kabisat diberi 30 hari. Perhitungan semacam ini dinamai perhitungan perhitungan ‘urfi atau hisab ‘urfi. Ini berbeda dengan hisab haqiqi untuk penentuan peribadatan, seperti misalnya permulaan bulan Ramadhan, bulan Syawal, dan waktu haji.

Baca Juga  Mitos di Masyarakat tentang Kesehatan Mental

Hisab ‘urfi dengan perhitungan yang sangat sederhana memiliki ketelitian yang cukup tinggi. Tahun Qamariyah yang biasa, yang bukan tahun kabisat, memiliki 354 hari, yakni (6 x 30) + (6 x 29) hari, ialah 354 hari. Jadi, 30 tahun Qamariyah memiliki hari sejumlah 30 x 354 ditambah dengan 11 hari yang disisipkan di dalam tahun-tahun kabisat. Jumlah total sama dengan 10631 hari. Ini berarti bahwa di dalam setiap 30 tahun, 1 bulan berjumlah 10631 : 360 = 29,530556 hari. Padahal, 1 bulan Qamariyah tepatnya sama dengan 29,530588 hari. Ini berarti bahwa ada kekurangan 29,530588 – 29,530556 = 0,000032 hari, setiap bulannya, bila digunakan hisab ‘urfi. Selisih ini akan menjadi 1 hari di dalam jangka waktu 2604 tahun. Dan hal ini dapat dilakukan koreksi lagi dengan menambahkan satu hari kabisat. 

Sumber: artikel “Mana Yang Lebih Eksak dan Ilmiah: Kalender Miladiyah atau Hijriyah?” karya Ir Basit Wahid (SM. no. 3 dan 4/Th. Ke-57 /1977). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id dengan pengubahan judul dan penyuntingan.

Editor: Arif

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tasawuf

Membaca Sejarah Munculnya Tasawuf dalam Islam

4 Mins read
Membaca sejarah tasawuf awal akan membawa kita pada beberapa pertanyaan. Misalnya, bagaimana sejarah tasawuf pada periode awal itu muncul, bagaimana corak dari…
Tasawuf

Rahasia Hidup Zuhud Imam Hasan Al-Bashri

2 Mins read
Salah satu kajian yang menarik dari sosok Hasan Al-Bashri adalah tentang “Zuhud”. Membahas zuhud adalah tentang bagaimana cara beberapa sufi hidup sederhana…
Tasawuf

Konsep Syukur Menurut Abu Hasan Asy-Syadzili

5 Mins read
Abu al-Hasan Asy-Syadzili Ali ibn Abdillah ibn Abd al-Jabbar lahir di Ghumarah di daerah Maghribi atau Maroko pada tahun 593 H atau…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *