Manusia modern dihadapkan dengan banyak problematika sosial, baik secara spiritual maupun emosional. Berbagai problematika tersebut di antaranya; disintegrasi keilmuan, transformasi pola kehidupan bermasyarakat, IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), sampai dehumanisasi. Berkembangnya zaman secara global memaksa manusia harus mampu memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan metodologi yang tepat sehingga menuai solusi konkret.
Dehumanisasi menjadi sudut permasalahan paling instrumental bagi manusia, dikarenakan manusia adalah makhluk sosial yang selalu berkeinginan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat berteman atau mendapat relasi harus menjalani interaksi, begitupun nantinya berkeluarga akan lebih intens untuk berkomunikasi antar anggota keluarga. Pertanyaannya, sejauh mana manusia bisa menjalani kehidupan tanpa harus mengakibatkan dehumanisasi?
Apa itu Teoantroposentris?
Teoantroposentris adalah kajian filsafat berupa pemikiran yang hadir dalam upaya rekonstruksi dan hibridisasi antara teosentris dan antroposentris. Pemikiran ini diartikan bahwa seluruh aspek yang ada di alam semesta, porosnya tidak lain adalah Tuhan dan manusia. Kuntowijoyo salah satu tokoh yang sepakat dengan buah pemikiran ini berupaya menghindari adanya radikal dalam beragama dan liberal dalam menjalani kehidupan.
Selain itu, nomenklatur teoantroposentris menjadi pilihan karena berbagai keresahan fundamental yang terjadi secara terus-menerus. Mulai dari kerusakan alam, climate change, bahkan dehumanisasi yang selalu menggerus nilai-nilai sosial sesama manusia. Hal ini patut untuk diperhatikan, mengingat fungsi manusia diciptakan sejatinya bukan hanya sekedar formalitas, namun untuk beribadah sekaligus menjadikan dirinya sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam buku “Manifesto Gerakan Intelektual Profetik” yang ditulis Muhammad Abdul Halim Sani dijelaskan bahwa perbedaan signifikan antara manusia dan hewan adalah kebebasan. Namun, kebebasan bukan diartikan bisa melakukan segalanya tanpa memperhitungkan dampak dan akibatnya. Maksud dari kebebasan disini bebas menjalani aktivitas kehidupan dan dapat menghadirkan eksistensi dan esensi hubungan horizontal sesama manusia dan dalam hubungan vertikal dengan tuhannya. Itulah dasar yang harus dipertimbangkan manusia untuk bisa mengartikan kebebasan dirinya.
Faktor Maraknya Dehumanisasi
Menurut Paulo Freire dehumanisasi sendiri lebih berkaitan dengan pendidikan. Ia menjelaskan bahwa, dehumanisasi adalah bentuk penindasan manusia secara intelektual dan kultural. Contoh konkret di lapangan adanya dikotomi yang terlihat secara jelas antara guru dan peserta didik. Peserta didik dipandang sebagai objek pendidikan yang dapat diproyeksikan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para administrator pendidikan. Sebab diyakini bahwa peserta didik pada dasarnya bodoh, mereka harus diajari informasi yang tentu saja bersifat verbalistik, halus, dan sangat jauh dari realitas yang mereka alami pada masa persekolahan.
Berbeda dengan Freire, Kuntowijoyo memaknai lebih luas dehumanisasi yang terjadi di kehidupan modern saat ini, yaitu; penindasan politik atau polarisasi, kesenjangan ekonomi, dan adanya ketimpangan gender. Dia menegaskan bahwa, dehumanisasi terjadi sebagai akibat dari orang-orang yang memandang orang lain sebagai objek atau benda. Di sisi lain, manusia menjadi sangat materialistis atau terpaku pada harta benda.
Oleh sebab itu, menurut Kuntowijoyo, perlu adanya konsepsi berupa seni terutama seni sastra untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan mengajak orang untuk kembali kepada kemanusiaannya atau kebaikannya. Namun, lingkungan sosial yang kompleks akan menghadang upaya untuk mengangkat kemanusiaan dan meruntuhkan dehumanisasi ini.
Teoantroposentris di Indonesia
Harus diketahui bahwa salah satu negara paling multikultural di dunia adalah Indonesia. Pernyataan ini didukung oleh beragamnya keadaan sosiokultural dan letak geografisnya. Isu-isu terkait sosial-keagamaan merupakan isu yang kompleks dalam negara dan masyarakat yang multikultural dan multiagama. Semua aspek masyarakat, termasuk politisi, pendidik, pemuka agama, dan orang tua di rumah, terpengaruh oleh kompleksitas hubungan sosial di antara para pemeluk agama.
Sebuah upaya yang sia-sia untuk menyangkal keberadaan tradisi sosial atau keagamaan di muka Bumi. Setiap orang memiliki hak yang sama dan dapat melestarikan tradisi dan identitas mereka yang unik dengan berbagai cara.
Amin Abdullah seorang perumus keilmuan berkarakter teoantroposentris-integralistik menyatakan bahwa, tingkat generalisasi pengetahuan dibagi berdasarkan struktur keilmuan, yang dimulai dari ilmu pengetahuan murni hingga ilmu pengetahuan eksakta. Semua tingkat pengetahuan saling berhubungan, serta studi Islam dan ilmu-ilmu sekuler/Barat tidak dibedakan satu sama lain karena sudah digabungkan.
Artinya, teoantroposentris hari ini sudah dimulai melalui perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Dalam upayanya diimplementasikan berupa integrasi kurikulum, misalnya kurikulum Merdeka Belajar yang bersifat fleksibel untuk pendidik ataupun peserta didik, kedalaman spiritualitas antar agama, kematangan pengetahuan, kreativitas, dan profesionalitas.
Menurut Amin Abdullah, teoantroposentris di Indonesia harus konsisten mengoptimalkan perpaduan antara ilmu Kauniyyah (IPTEK) dan ilmu Qauliyyah (teks/naskah) yang implikasinya akan menjaga realitas, memelihara moralitas, dan mewujudkan kesalehan digital. Semuanya akan membuat dehumanisasi merosot apabila dapat diaktualisasikan oleh manusia modern walaupun pada dasarnya masih cenderung sulit.
Editor: Ahmad