Inspiring

Murtadha Muthahhari, Ketua Dewan Revolusi Islam Iran

3 Mins read

Pembaca tulisan-tulisan Ali Syariati tidak akan asing dengan kata ‘Husayniyah Irsyad’. Husayniyah Irsyad didirikan oleh tokoh-tokoh intelektual terkemuka Iran. Seperti Ali Syariati, Sayyed Hossein Nasr, dan Murtadha Muthahhari.

Husayniyah Irsyad didirikan sebagai markas kebangkitan intelektual Islam. Di tempat tersebut, Ali Syariati memperoleh pengaruh yang luas. Pidato-pidatonya selalu dihadiri oleh ribuan mahasiswa dan masyarakat Teheren. Gagasan-gagasan revolusionernya mulai dikenal di seluruh Iran, bahkan di luar negeri. Termasuk Indonesia.

Melihat geliat itu, rezim Pahlevi merinding. Tokoh-tokohnya ia penjarakan. Ali Syariati dan Murtadha Muthahhari berkawan baik dengan jeruji besi. Mereka bolak-balik keluar masuk penjara. Namun, itulah harga sebuah perjuangan.

Di Indonesia, terutama pasca Revolusi Iran, Syariati, Muthahhari, dan Nasr menjadi model intelektual baru yang digandrungi generasi muda. Mereka adalah ulama yang intelek sekaligus intelek yang ulama. Muthahhari dan Nasr lebih sering disebut sebagai ulama yang intelek. Sementara Syariati lebih sering disebut sebagai intelek yang ulama. Syariati juga dipengaruhi oleh ide-ide perlawanan Marx.

Sayang, tak ada gading yang tak retak. Muthahhari dan tokoh-tokoh lain merasa tidak cocok dengan Syariati. Mereka menganggap Syariati terlalu berani dan revolusioner. Dampaknya bisa kita lihat kemudian. Syariati meninggal secara misterius di London tahun 1977. Dua tahun sebelum revolusi yang ia cita-citakan terlaksana.

Karena tidak cocok, Muthahhari mundur dari Husayniyah Irsyad pada tahun 1973. Ia memilih jalan perjuangan lain. Muthahhari menjadi semacam penyambung lidah bagi Ayatollah Khomeini dan rakyat Iran. Saat itu, Khomeini tengah berada di pembuangan. Di Irak dan belakangan pindah ke Prancis.

Muthahhari berkali-kali berkunjung ke tempat pembuangan. Ia menjadi salah satu murid terbaik imam besar yang kelak menjadi pemimpin tertinggi Republik Islam Iran.

Baca Juga  Setelah Merah Putih Berkibar: Saat Ibukota Negara Dipindah ke Yogyakarta

Biografi Murtadha Muthahhari

Murtadha Muthahhari lahir di Fariman, Iran pada 2 Februari 1920. Fariman terletak di dekat Masyhad, pusat belajar dan ziarah muslim syiah di Iran Timur. Ayahnya bernama Hujjatul Islam Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama terkenal di Iran.

Ketika berusia 12 tahun, Muthahhari mulai belajar agama secara formal di Masyhad. Sejak awal, ia telah menunjukkan minat yang tinggi terhadap filsafat, teologi, dan tasawuf. Setelah beberapa tahun di Masyhad, ia pindah ke Qom, kota sejuta ulama.

Di Qom, Muthahhari bertemu dengan Ayatollah Ruhullah Khomeini. Dalam bidang filsafat, ai terpengaruh oleh Allamah Husain Thabathaba’i. Thabathaba’i adalah ulama besar Iran, penulis Tafsir Al-Mizan. Selain mempelajari literatur Iran dan Arab, ia juga mempelajari literatur Barat seperti Freud, Russel, dan Fromm. Melalui literatur itu, ia mengenal tokoh filsafat sejak Aristoteles hingga Sartre.

Muthahhari dibimbing langsung oleh dua Ayatullah, yaitu Khomeini dan Borojerdi, selain Thabathaba’i sendiri. Pada tahun 1934, ia mengajar logika, filsafat, dan fikih di Universitas Teheran. Muthahhari juga sempat menjabat sebagai Ketua Jurusan Filsafat di kampus tersebut.

Bersama-sama dengan kelompok ulama dan intelektual lain, Muthahhari melihat kebobrokan rezim Pahlevi. Ia kemudian ikut larut dalam perjuangan melawan rezim. Pada tahun 1963, ia ditahan bersama gurunya, Khomeini.

Ketika Khomeini dibuang ke Turki, Muthahhari menjadi penerus Khomeini dalam memimpin barisan ulama Iran. Gerakannya berpusat di Masjid Al-Jawad dan Husayniyah Irsyad. Masjid Al-Jawad ia jadikan sebagai pusat gerakan politik Islam melawan rezim Pahlevi.

Pada tahun 1972, Husayniyah Irsyad dan Masjid Al-Jawad ditutup oleh pemerintah. Muthahhari juga kembali dikirim ke bui. Meskipun dikurung, langkahnya tak pernah surut. Ia terus menjalin komunikasi dengan Khomeini. Pada tahun 1978, ia mengecam pembuangan Ayatullah Muntazerri. Muthahhari kemudian dilarang memberikan khutbah dan kuliah meskipun telah bebas dari bui.

Baca Juga  Sosok Pemimpin Teladan itu Bernama Abu Bakar

Setelah rezim Pahlevi tumbang awal tahun 1979, Muthahhari diangkat sebagai Ketua Dewan Revolusi Islam. Sayang, ia tak dapat menikmati buah revolusi yang telah belasan tahun ia perjuangkan. Jabatan tersebut hanya ia emban tak lebih dari lima bulan. Pada 1 Mei 1979, ia dibunuh oleh kelompok anti-revolusi Islam. Ia dibunuh tepat setelah memimpin rapat Dewan Revolusi Islam.

Pemikiran

Sebagai ulama, intelektual, sekaligus aktivis pergerakan, Muthahhari memiliki perhatian yang serius terhadap konsepsi negara. Lebih-lebih, ia ditunjuk sebagai Ketua Dewan Revolusi Islam yang salah satu tugasnya adalah membahas konstitusi baru bagi negara.

Menurut Muthahhari, Iran merupakan negara teokrasi. Pemerintah memiliki kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah kekuasaan Allah. Setiap peraturan harus sesuai dengan prinsip syariat Islam.

Menurutnya, pemerintah merupakan wakil dari masyarakat yang bertugas untuk mengurus kepentingan agama dan dunia. Didirikannya lembaga pemerintahan bertujuan agar pengaturan kehidupan masyarakat tidak bertentangan dengan Alquran dan hadits.

Dengan dasar pemahaman tersebut, Republik Islam Iran menjadi negara yang menjalankan syariat Islam sesuai dengan pemahaman syiah. Di samping terus melakukan pengembangan model demokrasi.

Karena itu pula, pasca revolusi, perjudian, diskotik, dan hiburan malam berubah menjadi pengajian. Menariknya, bagi Muthahhari Revolusi Iran berbeda dengan Revolusi Prancis atau Revolusi Bolshevik. Revolusi Iran tak hanya dilakukan oleh buruh, petani, mahasiswa, dan intelektual, melainkan oleh seluruh lapisan masyarakat Iran. Baik yang kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, profesional atau petani, sarjana, dan tentu ulama.

Revolusi tersebut bertujuan untuk menegakkan demokrasi dan menghapus kolonialisme. Sekaligus menegakkan hak-hak asasi manusia dan melenyapkan ketidakadilan dan penindasan. Bahwa kemudian pasca revolusi masih terjadi banyak pelanggaran HAM lain, itu soal yang berbeda.

Baca Juga  Agus Edy Santosa (1): Bermula dan Berakhir di Muhammadiyah

Meskipun menjadi penganut model negara Islam, Muthahhari mengakui bahwa pemerintah yang demokratis dapat terwujud jika ada pengakuan akan kesamaan derajat dan martabat manusia. Sedangkan salah satu prinsip dalam Islam adalah adanya persamaan derajat tanpa diskriminasi apapun.

Avatar
114 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds