Setelah mengetahui dan meyakini keteladanan dan keterpilihan Nabi Ibrahim as sebagai manusia pilihan, maka yang menarik disimak dari seorang Ibrahim muda adalah pencariannya akan Tuhan. Kisah Nabi Ibrahim ini dapat menjadi teladan untuk menghayati kehidupan maupun menuntut ilmu.
Nabi Ibrahim as dalam Pencarian Tuhan
Pencarian Ibrahim diawali dari pengamatannya yang tulus akan ciptaan Tuhan. Dalam QS. Al-An’am: 77-78, Allah bercerita bagaimana Ibrahim yang awalnya menganggap bulan sebagai Tuhan. Namun, ketika ia melihat matahari, maka ia beralih anggapan bahwa itulah Tuhannya, karena tampak lebih besar. Hingga ia mengadu, “Jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, niscaya aku akan menjadi orang yang sesat.“
Di akhir pencariannya, Ibrahim pun mendapat petunjuk dari Allah dan berikrar, yang kemudian menjadi doa iftitah saat kita melaksanakan salat,
إِنِّي وَجَّهۡتُ وَجۡهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ حَنِيفٗاۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
Dalam konteks kajian pemikiran, tampaknya rasio dan rasionalitas itu sebenarnya bisa mengantarkan seseorang pada penemuan akan Tuhan. Episteme ini kadangkala bertentangan, kalau tidak dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan yang dibangun di atas rasionalitas murni. Betapa banyak para filsuf dan ilmuwan yang dengan serta merta membantah keberadaan Tuhan atas rasionalitasnya. Mulai dari Nisztche, Karl Marx hingga Stephen Hawking. Semua bernada sama, meski dengan ungkapan yang berbeda.
Salah satu yang menjadi kendala besar hingga manusia menafikan adanya Tuhan dengan ilmu pengetahuan dan rasionalitasnya adalah karena tidak ada ketulusan dan kelurusan dalam hatinya. Kecenderungan manusia akan dunia, mulai dari harta benda, penghargaan, kekuasaan, prestis sosial, kebanggaan keilmuan hingga sekedar pujian, yang dipengaruhi lingkungan sekitar, seringkali menguasai egoisme kedirian manusia.
Karenanya, tidak berarti bahwa Tuhan tidak bisa didekati dengan pikiran. Hanya saja, Tuhan perlu didekati dengan keutuhan kemanusiaannya, yaitu perlu melibatkan hati di dalamnya. Dan, begitulah yang dilakukan Ibrahim saat masih muda. Keduanya digunakan untuk mencari keberadaan Tuhan. Dan berhasil.
Tidaklah mengherankan jika jauh-jauh hari Rasulullah telah mengingatkan, “Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, Dan janganlah kalian berpikir tentang Dzat Allah.” Hadis ini tidak berarti bahwa orang tidak boleh berpikir tentang adanya Tuhan. Yang tidak boleh adalah berpikir tentang Dzat Tuhan. Manusia tidak akan mampu mencandra bagaimana rupa dan wajah Tuhan.
Yang jelas, sebagaimana kata Allah, “Tiada apa dan siapapun yang menyerupai-Nya.” Inilah wilayah kegaiban yang tidak pernah akan pernah tersentuh oleh manusia, kecuali pada saatnya Nanti.
Ketulusan Mempelajari Ilmu Pengetahuan
Bagian selanjutnya dari kisah Nabi Ibrahim as sebagaimana disebut oleh Allah dalam QS. Maryam: 41 dengan gelar siddiqan nabiyan,
وَٱذۡكُرۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ إِبۡرَٰهِيمَۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقٗا نَّبِيًّا ٤١
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.”
Siddiqan adalah orang yang tulus dan mudah mengakui kebenaran. Nabi Ibrahim di kala mudanya adalah seorang yang gigih menuntut ilmu dengan mengamati proses perjalanan alam ciptaan Allah. Melalui perenungan dan pengamatannya tentang bintang-gemintang, bulan dan matahari, ia kemudian berkesimpulan bahwa Tuhanku adalah yang menciptakan semua ini.
فَلَمَّا رَءَا ٱلۡقَمَرَ بَازِغٗا قَالَ هَٰذَا رَبِّيۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمۡ يَهۡدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلضَّآلِّينَ ٧٧ فَلَمَّا رَءَا ٱلشَّمۡسَ بَازِغَةٗ قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَآ أَكۡبَرُۖ فَلَمَّآ أَفَلَتۡ قَالَ يَٰقَوۡمِ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ ٧٨
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Lalu Nabi Ibrahim berikrar, yang direkam dalam QS. Al-An’am: 79,
إِنِّي وَجَّهۡتُ وَجۡهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ حَنِيفٗاۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٧٩
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
***
Dari sinilah Nabi Ibrahim as kemudian diangkat sebagai Nabi dan Rasul Allah. Dari sini pula Ibrahim mulai menyebarkan keyakinannya. Rasionalitasnya tampak sekali. Hal ini sekaligus memberi pelajaran kepada kita bahwa ilmu pengetahuan itu jika dipelajari dengan tulus (siddiqan), maka ia bisa mengantarkan seseorang kepada kebenaran hakiki untuk menemukan Tuhan.
Demikian kisah Nabi Ibrahim as semoga dapat menjadi teladan bagi kita semua. Kisah sebelumnya dapat dibaca di sini.
Editor: Nabhan