Manakala Nabi sudah mencapai Sidratul Muntaha, teman seperjalanan beliau, Jibril, tidak sanggup meneruskan perjalanan. Ia meminta agar Nabi meneruskan sendiri perjalanannya menjumpai Tuhan.
“Teruslah berjalan bersamaku, meski hanya selangkah lagi,” pinta Nabi yang tidak ingin berpisah dengan sahabatnya.
Jibril mengiyakan. Namun, baru selangkah saja, seberkas cahaya hampir membakarnya. Jibril menyusut hingga seukuran burung kecil. Ia sudah mencapai batas yang tidak bisa dilewatinya.
Sebelum berpisah, Jibril mengisyaratkan pada Nabi agar mengucapkan salam kepada Tuhan ketika sampai di ‘tempat perbincangan’.
Sesampainya di tempat tersebut, segera ia berujar:
“التحيات المباركات الصلوات الطيبات لله”
Tuhan segera menjawab:
“السلام عليك أيها النبي و رحمة الله و بركاته”
Tuhan menjawab salam Nabi. Betapa momen itu sangat membahagiakannya. Nabi berkesempatan berjumpa dan berbincang langsung dengan Sang Kekasih Sejati tanpa ada hijab yang menghalangi. Bahkan Tuhan menghadiahkan keselamatan, kerahmatan, dan keberkahan khusus buat Nabi seorang.
Namun, apa yang selanjutnya diucapkan oleh Nabi? Kebahagiaan yang menyulubungi perasaan Nabi tak membuatnya kehilangan kendali. Ia justru teringat umat-umat yang sangat ia kasihi. Ia ingin hamba-hamba saleh lainnya, turut mendapat ‘jatah’ dari ‘hadiah’ yang semestinya ia peroleh sendiri.
“السلام علينا و على عباد الله الصالحين”
“Semoga keselamatan terlimpah pada kami dan hamba-hamba Tuhan yang shalihin,” kata Nabi. Seluruh penduduk langit dan bumi lalu serempak berkata:
“أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسول الله”
Intaha.
Kisah ini saya ambil dari sebuah hadis yang ditulis dalam beberapa kitab fikih, di antaranya I’anatu at-Thalibin yang merupakan syarah Fath al-Muin, dan Kasyifatu as-Saja yang menjadi komentar Safinatu an-Najah.
Bagian yang menurut saya perlu diperhatikan adalah bahwa Nabi tidak lupa diri ketika kebahagiaan yang sangat luar biasa sedang meliputi beliau. Bayangkan saja, ia mendapat ‘maqom’ yang tidak dapat diperoleh orang lain selain beliau.
Beliau diberi kesempatan melihat serta berbincang secara direct dengan Tuhan. ‘Maqom’ yang bahkan Jibril selaku pimpinan para malaikat dan Nabi-Nabi lain tidak dapat merengkuhnya. Bahkan di kala itu Tuhan memberi ‘hadiah’ khusus untuknya. Namun, alih-alih menikmatinya sendiri, Nabi justru teringat pada umat-umatnya.
Sikap semacam ini sulit sekali kita ikuti. Sesekali kita memang tampak memiliki kepedulian. Tapi, itu hanya ketika kita ikut merasakan penderitaan. Berbeda jika kita berada di dalam ‘zona nyaman’. Isakan tangis orang lain, rengekan duka orang lain, terhalang oleh ‘headset’ yang menyumpal telinga kita, membunyikan dengan keras lagu-lagu gembira yang melengkapi kebahagiaan kita.
Namun, bilamana kita ikut menderita, teriakan kita yang paling keras. Jika masih kurang, kita ambil ‘TOA’, putar volume hingga maksimal, lalu lantangkan kesengsaraan sekeras-kerasnya. Semua media kita gunakan untuk menyerang apa yang kita sebut ‘ketidakadilan’, ‘kejahatan’, ‘kepedihan’. Seolah-seolah tidak ada pihak lain yang lebih menderita dibanding kita.
Kapan kita bisa mengikuti jejak langkah seseorang yang kita sebut-sebut sebagai ‘uswatun hasanah’? Mengapa saat bahagia, beliau ingin kita turut bahagia? Mengapa saat menderita, beliau tidak ingin kita ikut menderita? Dan mengapa kita tidak peduli selain pada hanya pada kita?