Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kabinetnya pada 23 Oktober 2019, Nahdlatul Ulama (NU) perlahan menjauhkan diri dari presiden. Hal ini salah satunya terjadi karena kecewa tidak diberi posisi di kabinet. Setelah memberikan dukungan penuh kepada Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2019, mereka berharap Jokowi akan menunjuk salah satu kader NU untuk menjadi Menteri Agama. Sebaliknya, Jokowi memilih Fachrul Razi, seorang tokoh militer, ke posisi itu.
Lalu, ada apa dengan sikap NU ini? Profesor Riset LIPI Ahmad Najib Burhani memberikan paparannya dalam artikel berbahasa Inggris Nahdlatul Ulama versus Jokowi: The NU Normal? pada website ISEAS, 19 Oktober 2020 lalu.
UU Cipta Kerja dan Pandemi COVID-19
Setelah pengumuman kursi menteri, pernyataan Ketua PBNU Said Agil Siradj, menunjukkan perpaduan antara keputusasaan, ketidakpedulian, dan sikap acuh tak acuh terhadap apa yang akan dilakukan Jokowi di masa jabatan keduanya. Termasuk proyek pemberantasan radikalisme dan terorisme. “Sikap seperti itu bertentangan dengan sifat NU – tidak terbayangkan jika NU mengabaikan radikalisme, terutama tekanan yang dipengaruhi oleh ideologi Salafi-Wahabisme. Bagaimanapun, salah satu alasan berdirinya dan eksistensi NU adalah untuk melawan penyebaran Wahhabisme. Hal itu bisa ditafsirkan dari pernyataan bahwa para pemimpin NU tidak akan bekerja lagi dengan Jokowi seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya,” kata Najib.
Selain permasalahan kursi menteri, hubungan NU dan pemerintah makin menurun saat pandemi COVID-19 ini. Terutama terkait dengan rencana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Omnibus Law UU Cipta Kerja. NU pun mengambil sikap kritis dan menentang pemerintah dalam dua isu tersebut.
Terkait Pilkada, NU punya pendirian yang tegas. Jumlah kematian akibat COVID-19 telah melampaui 11.000 jiwa, namun pemerintah memutuskan jalan terus melanjutkan Pilkada yang dijadwalkan pada 9 Desember 2020. Najib pun menyatakan bahwa pemerintah sebenarnya kewalahan dengan pandemi ini, pemerintah juga sangat terbantu dengan bantuan organisasi masyarakat sipil semacam NU.
“Bantuan organisasi Muslim seperti NU-lah yang meringankan beban pemerintah dalam menanggulangi pandemi. Ormas-ormas ini berusaha sekuat tenaga untuk membantu pemerintah dalam memerangi COVID-19. Mereka mengeluarkan fatwa yang membimbing pengikut mereka untuk mengikuti protokol kesehatan dan menghindari ritual berjamaah. Mereka mengubah rumah sakit mereka untuk menangani kasus COVID-19 dan mengubah hampir semua aktivitas mereka menjadi aktivitas kemanusiaan untuk mengurangi efek pandemi,” tukas Najib.
Sikap Terhadap Pilkada
Awalnya, Pilkada dijadwalkan digelar pada September 2020. Pemerintah kemudian menjadwalkan ulang pemilu menjadi Desember, dengan asumsi pandemi akan selesai akhir tahun ini. Namun, sepertinya asumsi itu dibuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan pemerintah. “Asumsi tersebut tampaknya lebih didasarkan pada harapan daripada fakta empiris. Kegigihan pemerintah dalam menggelar pemilu membuat geram sejumlah pihak,” ujar Najib.
Terlepas dari retorika presiden bahwa kehidupan rakyat lebih penting daripada politik dan ekonomi, pelaksanaan pemungutan suara hanya akan mengarah pada berkumpulnya orang banyak dan kurangnya physical distancing. Bahkan, beberapa tokoh seperti cendekiawan Muslim Azyumardi Azra, berpendapat bahwa pemerintah tidak cukup perhatian dan telah membahayakan kehidupan masyarakat.
Menanggapi kegigihan pemerintah menggelar pilkada pada Desember lalu, NU pun mengeluarkan pernyataan resmi pada 20 September lalu. Ia meminta pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pemilu hingga krisis kesehatan mereda. Bahkan dengan protokol kesehatan yang ketat, menghindari keramaian akan sulit.
Lebih jauh lagi, sebelum isu Pilkada mereda, pemerintah kembali menyulut kontroversi dengan mengesahkan Omnibus Law pada 5 Oktober lalu. Meski undang-undang tersebut ditentang oleh berbagai kalangan, namun pemerintah bergeming. Najib pun menegaskan kegelisahan masyarakat dan beragam tokoh, kata Najib, “Azyumardi Azra berpendapat bahwa proses pengesahan UU itu cacat dan memalukan, mengingat UU tersebut melanggar proses demokrasi tradisional dan draf final tidak dapat diakses publik sepekan setelah disahkan di parlemen. Terlebih lagi UU tersebut merevisi lebih dari 77 undang-undang, termasuk klausul tentang perbankan syariah. Argumen pemerintah adalah bahwa undang-undang tersebut akan mendorong investasi asing dan mendorong pembangunan ekonomi Indonesia yang lamban.”
Sementara itu, Najib juga menggambarkan sikap NU terkait Omnibus Law. “Pada 8 Oktober, NU mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan ‘menyesali’ undang-undang yang ‘terburu-buru, tertutup, dan gagal memenuhi aspirasi publik’. Pengesahan undang-undang yang menjangkau luas seperti itu membutuhkan kesabaran, kehati-hatian, dan ‘partisipasi pemangku kepentingan yang luas’,” tukas Najib dalam artikel tersebut.
Lebih jauh lagi, Najib menggambarkan sikap NU yang menyiratkan bahwa memaksakan penyusunan dan pengesahan Omnibus Law saat negara berada dalam pergolakan pandemi adalah “bentuk praktik negara yang buruk”.
Nahdlatul Ulama Kembali ke Akarnya
Menurut Najib, sikap NU kepada pemerintah atas dua isu tersebut merupakan puncak gunung es. Sebelumnya para pimpinan NU mengkritik revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pembahasan RUU Pedoman Ideologi Pancasila (HIP). Representasi NU di pemerintahan pun tak luput dari kritik ini. Kata Najib, “Satu hal yang jelas: representasi NU dalam pemerintahan (Ma’ruf Amin, Mantan Rais ‘Aam NU, sekarang menjadi Wakil Presiden dan Zainut Tauhid, Wakil Menteri Agama, juga dari NU) tak luput dari kritik dan sikap politik NU tersebut.”
Sikap politik NU yang belakangan cukup keras pada pemerintah, meskipun terdapat representasi NU dalam pemerintah, pun menarik untuk diamati. Tentu saja, hal ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan faksi-faksi dalam tubuh NU. “Sebagaimana diketahui, NU selalu memiliki lebih dari satu faksi. Selain faksi PBNU, ada juga faksi PKB dan faksi yang terhubung dengan PPP. Ada pula faksi dari berbagai pesantren,” jelas Najib.
Meski begitu, Najib berpendapat bahwa sikap politik NU ini tidak sebatas pada perbedaan faksi-faksi dalam NU. Sikap-sikap NU ini menyiratkan kemunculan “NU Normal”, kembalinya NU ke akarnya sebagai organisasi masyarakat sipil yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia. “NU sejatinya adalah organisasi masyarakat sipil yang memperkuat demokrasi Indonesia. Setelah kedekatan yang singkat dengan Jokowi, bisa dikatakan bahwa Nahdlatul Ulama telah kembali ke akarnya sebagai organisasi masyarakat sipil,” tutup Najib dalam artikel tersebut.
Reporter: Nabhan