Perspektif

Niat untuk Belajar, Satu Hal yang Hilang dari Pendidikan Kita

2 Mins read

Rasulullah mendidik para sahabat (kader umat) di rumah Arqam bin Abi Arqam (baitul arqam). Rumah yang sangat sederhana, letaknya pun di pinggir kota. Namun dari sana para sahabat jadi pribadi yang tangguh, memiliki akidah yang kokoh, dan komitmen kepada Islam sangat tinggi. Hal ini kita bisa lacak di sirah nabawi. Lalu, apa hubungannya karakter sahabat Nabi dengan niat untuk belajar?

Niat untuk Belajar

Apa yang membuat mereka begitu hebat di kenal dalam sejarah? Padahal banyak dari mereka tampilannya sederhana, gaya hidup apa adanya, dan ekonomi juga tidak begitu mencolok. Setelah beberapa waktu saya berfikir dan merefleksikan dalam keseharian, ada perbedaan mendasar, yaitu di niat awal belajar.

Tentu saja para sahabat Nabi memiliki kemauan dan niat yang kuat. Jika dibahasakan dalam agama, niatnya ya karena Allah, tidak ada yang lain. Niat menuntut ilmu murni mencari ridho Allah, bukan karena ingin kaya atau ingin dipandang saleh oleh masyarakat saat itu. Tak heran mereka terbentuk, karakter mereka kuat sebagai seorang muslim yang tak mudah luntur meski diterpa siksaan luar biasa, dan tetap teguh mencintai Nabi meski dihina dengan makian yang tak karuan.

Dari situ saya membandingkan diri saya sendiri dan lingkungan. Banyak dari kita yang tergelincir ketika belajar. Sulit memang meneguhkan niat untuk belajar seperti para sahabat Nabi. Tapi setidaknya, mengusahakan untuk menuju ke arah ridho Allah adalah jalan terbaik. Meski tidak sampai, setidaknya kita berada di atas jalan itu.

Dari situ juga saya mendapat jawaban. Kenapa pendidikan modern, terutama di Iingkungan saya, yang mengusahakan pendidikan karakter anti korupsi dan embel-embel lain menjadi gagal total. Satu kesimpulan yang saya tarik adalah niat kita memang benar-benar tergelincir. Atau dalam bahasa akademiknya, “orientasi” pendidikan kita sedang kehilangan arah.

Baca Juga  Terorisme: Kombinasi Problem dan Misteri

Tinggi Nilai, Rendah Keterdidikan

Bandingkan pendidikan yang dijalankan oleh Nabi di rumah Arqam yang sederhana itu. Bisa dibilang “tauhid-oriented”, benar-benar tujuan pendidikannya vertikal. Bertolak belakang dengan sekarang yang serba pragmatis dan memandang pendidikan sebagai jalan pintas untuk meningkatkan kapasitas keuangan semata, dalam bahasa lain: money oriented. Lupa bahwa pendidikan pada dasarnya dan tujuan utamanya adalah membangun manusia, yang kemudian ditulis dalam konstitusi kita sabagai “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Tentu saja saya tidak sedang menyalahkan pendidikan yang pragmatis. Memang perlu arah ke sana. Namun, yang sedang saya resahkan adalah orientasinya. Contoh konkretnya adalah obsesi murid terhadap nilai, lalu lupa pada ilmunya. Akhirnya hanya akan menghasilkan lulusan yang tinggi nilainya namun rendah tingkat keterdidikannya.

Saya juga temui di seminar nasional. Beberapa peserta sekedar menginginkan sertifikat, tidak pada ilmunya. Atau di mentoring agama Islam di kampus, hanya menginginkan sertifikat untuk syarat sidang skripsi.

Akhirnya, apa yang dibanggakan dari sekolah dan kampus? Outputnya menghasilkan mahasiswa atau siswa yang hambar, karakter juga tidak dapat, apalagi kualitas SDM. Jika ditilik dari titik awal pendidikan kita yang industry-oriented, bisa dibilang gagal. Nyatanya Indonesia tetap ngos-ngosan menyusul perkembangan revolusi industri 4.0. Memang akademisi di Indonesia sering menjadikannya topik seminar dan bahan diskusi. Namun nahas, sejauh ini yang bisa dilakukan hanyalah membayangkan, tidak lebih dari itu.

Tujuan Pendidikan Kita

Minimal, pendidikan perlu menjadi seperti apa yang dikatakan Tan Malaka, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan”. Jika dipikir-pikir dan direnungkan, tiga hal ini sangat cukup untuk membangun kualitas manusia (SDM). Industri membutuhkan kecerdasan manusia (bukan buatan) untuk merancang alat, membutuhkan kemauan untuk mengikuti perkembangan, dan perasaan untuk menjaga keseimbangan ekologi dan kemanusian supaya alam dan manusia (orang kecil-subkoordinat) tidak menjadi korban.

Baca Juga  Mush'ab bin Umair: Duta Islam untuk Kota Madinah

Saat menulis artikel ini, saya jadi ingat pelajaran yang pernah saya dapat tentang niat. Orang akan mendapatkan sesuatu berdasarkan niat awal, termasuk di dalamnya ilmu dan proses belajar-mengajar. Ini memang klise, namun prakteknya masih saja nol besar.

Maka, saya menganggap niat belajar atau orientasi awal pendidikan ini penting, karena niat awal menentukan akhirnya. Juga orientasi pendidikan, menentukan ke mana arah pembangunan manusia dijalankan. Wallahualam.

Editor: Nabhan

Dhima Wahyu Sejati
10 posts

About author
Editor & kontributor di IBtimes.ID
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *