Minat Pendidikan di Kerinci
Bagaimanakah minat pendidikan masyarakat Kerinci? Pada era 1950-an beberapa pemuda Pulau Sangkar menamatkan sekolah umum. Sebagian dari mereka kemudian bekerja, sebagian lanjut kuliah, dan sebagian bekerja sambil kuliah. Azhari Madin menjadi pegawai di Bukittinggi-Padang. Ramli Nawawi setamat SMEA di Jogja pulang ke Kerinci. Idris Jakfar menjadi mahasiswa di Padang sambil mengajar di sekolah Muhamadiyah.
Sementara itu Munir Yunus dan beberapa alumni Thawalib lanjut ke tingkat diploma pada Kuliatul Ulum El-Islamiyah Padang Panjang. Hasyim Rauf melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia di Jakarta. Dia tidak menyelesaikan kuliah karena bekerja di Bank Indonesia dan menikah dengan pemudi Kerinci dari Semurup. Pada waktu bersamaan ada banyak anak muda Kerinci lainnya yang melanjutkan kuliah di Jakarta. Mereka antara lain Rukiyah Karim, Rafiah Karim, dan Hadijah. Termasuk rombongan ini adalah Rifai dan Saud Taher. Rifai yang berasal dari Lempur dan masih keturunan Pulau Sangkar menjadi orang Kerinci pertama yang memperoleh gelar Insinyur.
Pendidikan di Kerinci: Sarjana Pertama
Orang pertama dusunku yang memperoleh gelar sarjana adalah Idris Jakfar. Dia menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Unand Padang. Setamat kuliah di Padang Idris Jakfar pergi ke Jogja melamar kerja. Dia diterima dan ditempatkan sebagai dosen sampai menjadi Profesor di Universitas Jambi. Ketika kuliah Idris mengajar di SMA Muhammadiyah Padang dan menikah dengan Nurani, teman SMP-nya di Sungai Penuh.
Sebelumnya setamat SMP Nurani sekolah di SGA Padang Panjang dan Idris sekolah di SMA Pemuda Bukittinggi. Pada masa ini di Kerinci belum ada SMA. Ketika Idris kuliah di Padang Nurani istrinya pulang ke Kerinci. Nurani membesarkan anak-anak dengan menjadi guru, membuka usaha percetakan, dan bertani. Menurut Nurani gaji pegawai saat itu sedikit sekali. Teman Nurani mengajar yaitu Tabrani bahkan pindah jadi guru SD di Pulau Sangkar agar bisa menjadi guru sambil bertani. Lanjut Nurani pada penulis, ”Makanya aku memelihara itik untuk menunjang keluarga. Aku juga pergi ke sawah, ke ladang. Kadang murid-murid dibawa pergi ke ladang.”
Memasuki dekade 1960-an perempuan Pulau Sangkar mulai memasuki dunia pendidikan tinggi. Sebenarnya beberapa orang berhasil menamatkan sekolah menengah atas. Tetapi tidak lanjut ke pendidikan tinggi. Ini adalah masa PRRI, masa penuh gejolak. Kerinci adalah salah satu kawasan perlawanan PRRI. Ketika tentara Sriwijaya masuk Kerinci memadamkan PRRI pada 1958 semua pelajar Pulau Sangkar di Sungai Penuh pulang kampung. Tetapi ternyata tentara juga bermarkas di Pulau Sangkar. Maka pergaulan remaja putri sangat dibatasi.
Meski demikian sebagian mereka Ratna, Rabiah, Zakiah, Yunider, Hanider, Induk Yan menikah dengan para tentara. Sedangkan Halijah Majid yang berhasil tamat SMA menikah dengan komandan tentara yang bermarkas di dusun kami. Rosdiana menjadi wanita pertama dusunku yang lanjut ke pendidikan tinggi. Pada 1958 dia pergi kuliah ke Jakarta dimana sudah ada Hasyim Rauf yang sudah bekerja disana. Rosdiana tinggal bersama pamannya itu dan kuliah pada Ekstension jurusan ekonomi Universitas Indonesia.
Semangat Pendidikan Perempuan Pulau Sangkar
Tingginya semangat bersekolah anak perempuan Pulau Sangkar pada masa pergolakan ini juga terlihat pada cerita Ha Azhari. Tetapi nasib sekolah Ha tidak sebaik Rosdiana. Ketika akan ujian akhir kelas empat SMP tentara Sriwijaya masuk Kerinci. Maka sekolah Ha pun berhenti. Bersama seluruh pelajar Pulau Sangkar yang sekolah di Sungai Penuh beliau harus pulang kampung ke hilir.
Di dusun, Ha merengek-rengek meminta diizinkan melanjutkan sekolah kembali ke Sungai Penuh kepada Haji Azhari, ayahnya. Ayahnya tidak memberi izin karena Ha seorang perempuan dan kondisi Kerinci sedang bergejolak. Kepada penulis Ha kemudian bercerita dengan penuh penghayatan mengulang kalimat orang tuanya saat itu, “Karena sudah tidak sekolah lagi maka kau menikah saja. Wii, gagal rencana aku. Karena itulah Mahli, aku suruh anak-anakku sekolah. Ke mana saja kalian sekolah, hendaknya ilmu kalian di atas ilmu aku.”
Semangat sekolah anak-anak muda dusunku ada kalanya juga mengalami penurunan. Ini terjadi pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Berbeda dengan periode sebelumnya, Pasca Gestapu ini anak-anak muda Pulau Sangkar kurang bergairah bersekolah. Kenyataan ini seiring dengan kembalinya kemakmuran pasca masa sulit era PRRI-Gestapu (1959-1966). Pada akhir 1960-an Asmar Yahya menjadi perempuan satu-satunya yang masih sekolah di Sungai Penuh. Teman seangkatannya semua pulang kampung. Mereka tergoda untuk membuka ladang.
Syahbuddin Azhari, Zukri Yahya, dan Rafli Thalib pulang ke hilir dan membuka ladang. Zukri hanya sampai kelas dua naik kelas tiga PGA. Padahal Yahya Latif orang tuanya sangat kuat menyuruh dia sekolah. Haji Azhari menyuruh Syahbuddin anaknya yang cerdas ini lanjut sekolah. Kemana saja, ke Padang atau Jakarta pasti dibiayai. Tetapi Syahbuddin muda tidak hendak sekolah. Cerita Asmar lebih lanjut, “Hendak balik ke hilir saja dia. Cita-citanya adalah sekian panen kacang putih, sekian cabe, alangkah banyaknya dapat uang…”
Penurunan Minat Pendidikan di Kerinci
Bagi anak-anak muda dusunku pada akhir 1960-an melanjutkan sekolah di tempat yang jauh rupanya tidak menarik lagi. Mereka lebih suka tinggal di kampung halaman yang sudah makmur. Di kampung halaman untuk ukuran masa itu mereka hidup mewah. Mereka merasa tidak terlalu perlu berjuang sebagai anak sekolah di rantau orang.
Anak-anak bujang Pulau Sangkar saat itu sangat gaul. Mereka memiliki banyak peralatan idaman anak muda pada masanya. Beberapa dari mereka hilir mudik mengendarai Honda CB. Umumnya mereka juga memiliki radio. Pada malam hari mereka menjinjing radio meramaikan Jembatan Berayun yang menghubungkan Dusun dan Seberang. Situasi sebaliknya dialami anak-anak sekolah. Tentang nestapa anak sekolah pada era ini Fauzi Sulaiman bercerita, ”awak anak sekolah ini apalah. Baju dua tiga helai itu sudah banyak. Celana juga begitu. Mereka bertandang (berkunjung ke rumah gadis), awak ini mana berani.”
Rendahnya minat melanjutkan sekolah masih melanda anak-anak muda dusunku pada era 1970-an. Sebagian besar mereka berhenti di tengah jalan dan hanya sebagian kecil yang masih meneruskan sekolah. Sehingga setelah Idris Jakfar pada era 1950-an dan Zamri Ahmad pada era 1960-an, baru pada era 1980-an muncul Mushlih Zainuddin sebagai sarjana ketiga dan Jafni Nawawi sebagai sarjana keempat dari dusunku.
Menurut Jafni pada era 1970-an sebenarnya ada banyak anak-anak muda tamat SD yang lanjut ke sekolah menengah di Sungai Penuh. Tetapi mereka tidak banyak yang studi lanjut ke pendidikan tinggi. Tingginya harga komoditas andalan yaitu kulit manis dan kopi yang banyak dimiliki oleh orang dusunku menjadi salah satu penyebab penurunan minat sekolah. Sedangkan menjadi pegawai tidak lagi menarik minat mereka. Penghasilan pegawai tidak sebanding dengan penghasilan petani. Keadaan ini mengulang kembali sepenggal cerita lama pada dua dekade sebelumnya. Cerita ini lama popular di dusun kami, terutama pada era 1970-an itu, seperti berikut ini.
Penyebab Menurunnya Minat Pendidikan Tinggi
Pada akhir 1950-an Ramli Nawawi kakak sepupuku tamat dari SMEA Negeri Jogja. Tetapi keinginan Wo Ramli untuk lanjut ke pendidikan tinggi terhambat. Maktuo Haji Nawawi ayah Wo Ramli memiliki cara pandang berbeda. Maktuo menginginkan anak pertamanya ini tinggal di Kerinci saja.
Pada era ini ada banyak orang Pulau Sangkar yang kaya raya. Mereka memiliki dua rumah. Satu di dusunku dan lainnya di Sungai Penuh kota kabupaten kami. Mereka antara lain Haji Amran, Haji Azhari, Haji Ramli, Haji Damhuri, dan Haji Nawawi. Haji Nawawi bahkan memiliki beberapa rumah dan tanah luas di seputar Lapangan Merdeka, pusat kota kabupaten kami. Bagi Maktuo sebagai orang kaya Kerinci memasuki bangku kuliah bukan sesuatu yang menarik.
Dalam hal minat pendidikan ini, konon Maktuo menggaris Wo Ramli sang anak dengan kalimat, “Setinggi-tinggi pangkat orang Kerinci yang kuliah adalah menjadi bupati. Sedangkan tiga orang bupati pun mampu aku gaji”. Maktuo meminta Wo Ramli untuk pulang ke Kerinci saja. Lupakan sekolah tinggi-tinggi. (Bersambung)
Editor: Nabhan