Falsafah

Pluralitas Beragama Ibnu Arabi

3 Mins read

Pluralitas Beragama – Secara istilah mengacu pada kamus al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia, kata kafir berasal dari radix (akar kata) ka-fa-ra yang berarti menutupi atau menyelubung. (Al-Munawwir, 1997).

Kalimat “kufr” (كفر) atau dalam bahasa Inggrisnya cover (menutupi), dalam berbagai bentuk derivasinya, seperti mufrad, jamak, serta fiil dan fail dalam Al-Qur’anul Karim diulang sebanyak 525 kali, yang merujuk para ahli tafsir. Masing-masing mempunyai urgensi konteks yang tidak serupa.

Ada saja saatnya kalimat-kalimat tersebut mengacu kepada konteks hinaan atau sumpah serapah. Hinaan di sini dimaksudkan kepada orang yang menutup atau kufur nikmat.

Ia tidak mau bersyukur dan tidak mau bersinergi dalam hal-hal yang berbau kebaikan. Di antara surat yang berbicara perihal hal tersebut, yaitu al-Zukhruf [43]: 15, Saba’ [34]: 13, Ibrāhīm [14]: 7 (Hana, 2020).

Urgensi arti pemaknaan kufur dalam pandangan Ibnu‘Arabi jika digali secara teliti, maka mempunyai arti pemaknaan yang cukup menarik, seperti halnya saat Ibnu‘Arabi menafsirkan  QS. At-Taubah [9]:123, sebagai berikut: 

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” QS. At-Taubah [9]:123

Jika dimaknai secara harfiyah arti term kufr, maka lapangan toleransi akan semakin padat tak beruang. Dikarenakan bisa saja setiap insan yang berpapasan dengan kita, yang tentunya berbeda haluan secara agama, haruslah diperangi.

Fakta demikian memang terjadi, dan ayat tersebut fakta adanya, yang mana dijadikan sebagai tameng senjata yang kemudian membuka pintu timbulnya perselisihan, dan justru peperangan antar pemeluk ummat beragama dengan dalih pembenaran al-Qur’anul Karim.

Maka getahnya Islam terkesan sebagai agama “bandel”, tidak ramah dan intoleran (Rosadi, 2021, p. 213).

Baca Juga  Eksistensi Tuhan: Argumentasi Ontologis dan Kosmologis

Penafsiran Muhyiddin Ibnu Arabi Tentang Pluralitas Beragama

Untuk menjawab problematika yang gencar diperbicangkan dikalangan grassroot (akar rumput) hari-hari ini, penulis menggali akan hal itu dari sosok Ibn ‘Arabi.

Tokoh Ibnu Arabi berupaya menguliti bungkus-bungkus makna tersebut, sehingga mampu menelurkan anasir-anasir makna “yang sebenarnya”.

Menurut Ibnu ‘Arabi, penjelasan ayat “Orang-orang kafir yang dekat dengan kamu “الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ”dimaknai secara Energik yaitu  اقرب الكفر اليك (orang kafir yang paling dekat dengan dirimu).

Maksud Ibnu Arabi yaitu “orang kafir yang paling dekat dengan dirimu, yaitu al-qarīn (kawan) dalam dirimu sendiri, yaitu berupa “hawa nafsu dirimu’’ (hawāka).” (Rosadi, 2021, p. 213)

Hawa nafsu merupakan )عَدُوٌّmusuh) kamu yang paling besar. Karena itu, perangilah hawa nafsu kamu sendiri, ulama Sufi ini menyatakan juga bahwasanya hawa nafsu dirimu merupakan اقرب الاعدي اليك الذين يلونك فانه بين جنبيك (musuh terdekat dirimu karena ia bersarang dalam dirimu)”

Tidak ada yang paling kafir di samping kamu daripada dirimu sendiri karena pada setiap orang terdapat diri yang kafir atas nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya.

Oleh karenanya, Ibnu ‘Arabi berwasiat, “Dilazimkan bagi dirimu melaksanakan Jihad terbesar (al-jihād al-akbar), berupa jihad dirimu melawan hawa nafsumu, karena hawa nafsu merupakan musuh terbesar dirirmu sendiri (akbar a‘dā’i-ka).” (Rosadi, 2021, pp. 213-214).

Wujud pelaksanaan pluralitas (keberagaman) beragama yang sejuk, ayalnya tak terelakan ummat muslim Indonesia, karena hal tersebut dipertontonkan di tanah air kita Indonesia.

Bahkan hal ini dibuktikan bukan dari perspektif orang pribumi sendiri, namun dari sesosok ahli sejarah berkebangsaan Inggris yang pernah singgah serta melawat ke negeri tercinta ini, yaitu Arnold Toynbee, yang datang ke Indonesia pada tahun 1965.

Baca Juga  Upaya Al-Attas Mengislamisasi Ilmu Pengetahuan

Beliau mengungkapkan kekagumanya perihal toleransi diinul Islam (agama Islam) di Indonesia. Salah satu kekagumanya yaitu ketika melihat gereja-gereja indah nan megah yang berdiri kokoh di Ibu Kota NKRI, Yaitu DKI Jakarta (Hamka, 2017, p. 93).

***

Untuk memperoleh hal yang lebih akademis, penulis mencoba mengutip kajian ilmiah perihal Islam dalam hal pluralitas (keberagaman) beragama dari kitab Allah SWT, yaitu melalui tafsir berkepribadian Indonesia, karangan Mahmud Yunus, perihal Surah Al-An’am ayat 108 yang berbunyi:

Janganlah kamu cerca (berhala) yang mereka sembah, selain daripada Allah, nanti mereka mencerca Allah juga dengan aniaya, tanpa ilmu pengetahuan. Demikianlah kami hiaskan bagi tiap ummat amat perbuatanya, kemudian tempat kembali mereka kepada Tuhanya, lalu Allah mengabarkan kepada mereka apa-apa yang telah mereka perbuat (Yunus, 2003, p. 195).

Mahmud Yunus menjelaskan dalam tafsirnya, Tafsir al-Qur’anul al-karim, bahwasanya dalam ayat ini Allah SWT melarang mencela berhala yang mereka sembah. Karena hal itu akan membawa dan menarik mereka untuk mencela Allah SWT, sebagai balasan bagi mereka karena telah mencela berhalanya.

Inilah petunjuk Al-Qur’an yang wajib kita taati pungkas Mahmud Yunus. Kita tidak boleh mencela orang, meskipun dia bersalah, karena hal itu akan dibalasnya dengan mencela kita pula, kemudian lanjut Mahmud Yunus, mencela berhala mereka saja dilarang, apalagi mencela orang yang menyembahnya (Yunus, 2003, p. 195).

Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi antar ummat beragama, wujud bukti akan hal tersebut, penulis buktikan melalui sosok Rasulullah SAW sendiri selaku utusan Tuhan, yang mana beliau terbukti pernah bermuamalah dengan seorang Yauhudi, yaitu berupa baju perang miliknya yang digadaikan kepada Yahudi tersebut (Az-Zuhaili, 2012, p. 412).

Baca Juga  Soedjatmoko: Agama dan Sains adalah Pilar Modernitas

Kesimpulan

Pada dasarnya, setiap agama memiliki sebutan tersendiri bagi orang di luar agamanya dan hal tersebut merupakan sebuah hal yang lumrah, sebagaimana Islam menyebut Non-Islam dengan sebutan kafir.

Maka, agama Nashrani, Hindu, Budha, dan Yahudi pun memiliki sebutan tersendiri dalam agamanya, seperti Yahudi menyebut Non-Yahudi Ghoyim, Nashrani menyebut Non-Nashrani Domba Sesat, Hindu menyebut Non-Hindu Maitrah, Budha menyebut Non-Budha Abrahmacariyavasa. Wallahua’lam.

Editor: Yahya FR

Taufik Hidayatullah
8 posts

About author
Instagram: mas_taufik.reborn Pontang-Serang-Banten Profesi: Pegiat Literasi Digital
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *