Problem Islam Modern
Nalar Kritik Arkoun – Pembacaan terhadap Islam modern tidak berhenti pada teks dan tradisi Islam hari ini. Namun, harus juga terhadap sejarah perjalanan Islam. Sehingga pemahaman kita tidak kabur dalam melihat Islam yang seyogyanya humanistik dan inklusif.
Dalam perjalanannya, Islam diwarnai dengan corak pemikir yang beragam. Hal tersebut senantiasa tidak terepas oleh pengaruh kondisi yang terjadi baik secara budaya maupun sosial. Oleh sebab itu, Islam Modern seperti yang ditulis di judul adalah bagian dari transisi serta dinamika Islam hari ini.
Bagaimana nilai-nilai Islam tetap terjaga dan mampu menjadikan nilai tersebut sebagai tradisi keharmonisan Islam itu sendiri. Adapun Islam Modern-Indonesia hari ini, tengah menghadapi tantangan yang berupa gempuran peradaban Barat serta Islam transnasional.
Peradaban Barat akan membentuk pada sisi pola pergaulan masyarakat muslim Indonesia. Sementara Islam transnasional, bergerak pada ranah ideologi yang diekspresikan dalam beberapa model salah satunya ialah Hizbut Tahrir ataupun konservatif sosial. Yang kemudian, melakukan transformasi nilai-nilai tersebut ke dalam masyarakat.
Biasanya, kelompok tersebut secara pemikiran ataupun ideologinya tidak sejalan dengan prinsip ke-Indonesiaan. Fenomena yang berkembang tersebut adalah bukti kecil dari kurangnya partisipasi aktif dari kelompok-kelompok moderat di Indonesia dalam melakukan kampanye moderasi beragama. Baik di media sosial, maupaun praktik di lapangan sebagai langkah taktis menangkal paham-paham ekstremisme berbasis kekerasan.
Dan tentu atas kejadian itu, harus ada upaya-upaya ideologis dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat guna membentengi diri dan Islam dari sentuhan-sentuhan radikalisme maupun ideologi yang mengkaburkan prinsip-prinsip ke-Indonesiaan.
Dapat dilihat bahwa nalar yang digunakan oleh kelompok ekstremisme berbasis kekerasan ialah nalar teks tanpa melakukan interpretasi. Sehingga, berdampak terhadap distorsi konteks.
Oleh sebab itu, biasanya kelompok tersebut cenderung memisahkan pemahaman-pemahaman filosfis tentang agama. Sementara, agama sendiri membutuhkan sebuah nalar kontekstual dan filosofis agar senantiasa tetap memiliki relevansi terhadap realitas masa kini.
Terjadinya perkembangan fenomena itulah yang menjadi salah satu kritik Arkoun di Era modern ini. Islam dianggap berjalan di tempat dan kaku untuk menjawab tantangan Islam Global.
Potret Biografi Singkat Arkoun
Muhammed Arkoun merupakan nama panjang beliau dan lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Kabilia. Kemudian, pendidikan yang ditempuh ialah sekolah dasar yang diselesaikan di tempat asalnya dan melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran.
Pada tahun 1950-1154, ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir sambil mengajar. Dan banyak lagi potret mengenai pendidikan Arkoun yang menjadi penunjang terhadap terbentuknya pola pikir yang dibawanya.
Terbukti, ia berhasil meraih gelar doktor di bidang sastra pada tahun 1969 di sebuah Universitas di Paris dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiram etis Miskawaih yang merupakan seorang pemikir dari Persia (Mauleman, 1996:16).
Selain potret dari pendidikan Arkoun, nampaknya ia juga merupakan penulis produktif yang karyanya memiliki kontribusi besar terhadap pemikir Islam Kontemporer terutama dalam membidik Islam hari ini dengan nalar kritis beliau.
Nalar Kritik Arkoun dalam Membaca Islam Modern
Arkoun memiliki cita-cita dalam melakukan pembebasan terhadap nalar Islam yang eksklusif, jumud, dan memiliki keterbatasan dalam menghadapi era modern. Di mana dalam hal ini, Arkoun berpendapat bahwa Islam akan keluar sebagai agama yang tidak hanya berkutat pada keromantisan sejarah dengan cara membuka diri terhadap perkembangan mutkahir di era modern ini. Yakni dengan mengkoneksikan nalar Islam dan nalar modern (Arkoun 1994: 119).
Sementara itu, agama akan dipahami sebagai dogma teologi yang humanistik sehingga hal tersebut dapat meminimalisir terjadinya perpecahan mazhab, perselisihan para jamaah, dan semacamnya (Mohammed Arkoun 11986:8-18).
Perlu diketahui bahwa dalam melancarkan strategi yang dibangun Arkoun, nampaknya ia menggunakan teori yang pernah dikembangkan Derrida, yakni mengenai “dekonstruksi/pembongkaran” terhadap konteks Islam. Baik Islam tradisional sebagai pijakan, maupun Islam hari ini.
Dan selanjutnya, bagaimana membangun nalar kritik Arkoun untuk kemudian ditransformasikan ke dalam Islam Indonesia? Apakah model pemikiran Arkoun mampu menjadikan Islam Indonesia lebih humanistik? Pertanyaan seperti ini akan menjadi PR Bersama. Sebab, kecolongan yang disampaikan di awal tidak terjadi lagi dan berlarut.
Namun seyogyanya, cendekiawan Muslim Indonesia sudah selalu mengambil jalan tengah (Islam moderat), namun masih terdapat langkah-langkah yang kurang taktis dalam upaya melakukan counter .
Dan pada akhirnya, jika kelompok-kelompok moderat selalu bergerak secara lambat dan literal dalam membaca fenomena yang terjadi, maka Islam transnasional akan berkembang sebagai penguasa.
Editor: Yahya FR