Perspektif

Nalar Kritis Keberagamaan

4 Mins read

Sampai detik ini, problematika keberagamaan terkhusus Islam menjadi wacana krisis di berbagai wilayah, bahkan negara. Fenomena ini merupakan respons atas berbagai tragedi mengenai teror dan kasus besar kemanusiaan yang diduga (dipahami) dilakukan oleh orang (dilabeli) Islam. Perihal ini, memberi trauma besar pada siapa saja yang sensitif atas kejadian tersebut, sehingga membentuk persepsi seakan-akan Islam begitu tidak manusiawi dan penuh dengan kekerasan.

Tumbuhnya paham seperti ini (yang merugikan banyak pihak) tidak lain dikarenakan minimnya penalaran kritis dalam beragama. Pun tidak menafikan, marak dan masifnya doktrinisasi dalam beragama oleh oknum. Umumnya, permasalahan ini dibalut halus dengan simbol anjuran jihad membela agama Tuhan dengan disertai dalil-dalil lahiriah dan perihal eskatologis (janji-janji Tuhan dalam Al-Qur’an terhadap orang-orang yang disebutkan) untuk menarik simpati para kader dan calon kader.

Tidak dapat dipungkiri, tumbuh dan berkembangnya paham ini, dikarenakan minimnya nalar tauhid dalam ranah sosial kemanusiaan dan didukung oleh dogma-dogma yang diajarkan perihal jihad dan eskatologis oleh oknum yang (mengaku) beragama Islam. Sehingga, permasalahan ini berimbas pada paradigma besar, yakni persepsi bahwa Islam merupakan agama yang tidak memanusikan manusia dan penuh kekejian.

Fenomena ini tidak hanya menjadi wacana pengamat dan pemerhati keberagamaan dalam ruang lokal dan nasional semata, melainkan juga kancah internasional. Adalah fakta, bahwa tragedi yang pelakunya beridentitas layaknya orang Islam (cover: pakaian dan simbol) kemudian dilabeli oleh kalangan luar sebagai Islam. Mirisnya, hal ini berdampak pada persepsi, bahwa Islam seperti demikian (penuh kekejian dan ketidakmanusiawian).

Meluasnya Kesalahpahaman Memandang Islam

Islam dan pemeluknya dipandang oleh kalangan luar memiliki ajaran seperti yang dilakukan oleh oknum, meskipun faktanya pemeluk Islam sendiri mengecam kejadian tersebut. Konstruksi ini mengakibatkan ruang klarifikasi sebagai jalan edukasi mengenai Islam dalam ranah lokal, nasional, dan internasional terhambat oleh hal tersebut. Sehingga, berdampak pada menyebarluasnya pemahaman bahwa Islam merupakan ajaran yang keji dan tidak manusiawi.

Baca Juga  Ahmad Bin Hanbal Melawan Fatwa, Saya Mana Berani?

Problem ini, lazimnya dikarenakan kebiasaan mudah menilai (melabeli) dan mudah percaya akan dogma meski tidak mengetahui sumber kebenaran dan minimnya filterisasi atas kevalidan suatu permasalahan. Sehingga secara tidak langsung, peristiwa ini menggambarkan kondisi keberagamaan di ruang lokal, nasional dan internasional, dalam kaitannya dengan penggunaan nalar kritis keberagamaan dan filterisasi problem (apa benar Islam demikian?).

Untuk itu, sebagai makhluk yang dikaruniai Tuhan dengan akal untuk berpikir, memfilter segala perkara yang terjadi sudah sepatutnya manusia memberdayakannya. Ditambah dengan hadirnya agama dalam kehidupan yang diyakini sebagai pedoman keselamatan dengan aturan-aturan di dalamnya. Dari hal demikian, problem ini dapat diminimalisasi, terkhusus kader Islam yang baru belajar, sebagai dasar beragama dalam ruang perbedaan dan kemanusiaan. Sehingga, terbentuk kader yang sesuai dengan karakter Islam yang damai.

Bagaimana Islam Sesungguhnya?

Secara umum, Islam identik dengan kasih sayang dan kemanusiaan. Hal ini terlihat dalam ajaran tauhidnya, bahwa semua manusia itu sama, yang membedakan mereka antar satu dan lainnya adalah takwa. Jalan bertakwa ialah melalui pemaknaan mendalam terhadap dua kalimat syahadat. Dalam ruang dua kalimat syahadat, manusia dibimbing untuk mengetahui posisinya dan posisi Tuhan juga rasul-Nya. Sehingga, output dari bimbingan dua kalimat syahadat ialah manusia yang beradab terhadap dirinya dan Tuhannya.

Muslim merupakan orang yang beragama Islam, artinya mereka yang tunduk pada Tuhan dan menghamba kepada-Nya. Jalan penghambaan manusia (makhluk berakal) ialah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memaknai subtansi di dalamnya. Secara tidak langsung, Islam menekankan sisi ketauhidan melalui nalar kritis untuk menggali makna terselubung dalam dua kalimat syahadat yang eksistensinya menjadi esensi Islam yang damai, memanusiakan manusia, dan penuh rahmat.

Baca Juga  Islam dan Status Quo (3): Mendesak Pembaharuan Pemikiran di Pesantren

Berkaitan dengan hal tersebut, nalar tauhid dalam kehumanisan bergaul dengan sesama manusia sangatlah penting. Artinya, berbagai problem atau kesalahan yang ditujukan atas Islam karena ulah beberapa oknum yang gagal atau keliru memaknai Islam dan keliru dalam mengamalkannya, merupakan bukti dari masifnya gerakan doktrin yang terus mencari kader untuk melakukan misinya. Sangat terlihat jelas akan minimnya penalaran beragama dalam mencapai humanisme menuju Tuhan.

Sebagaimana dapat kita sepakati bersama, bahwa konsepsi atau isi makna dua kalimat syahadat melalui penalaran kritis dan humanis, dapat meminimalisasi berkembang dan masifnya seruan jihad yang merugikan banyak pihak, terkhusus muslim. Islam merupakan agama yang membawa rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam. Oleh sebab itu, sebagai manusia yang memiliki akal dan mengaku beragama, sudah menjadi keharusan menjaga kerukunan dan kedamaian pada seksama.

Pentingnya Nalar Kritis

Pentingnya nalar tauhid, dalam fungsinya menerapkan humanisme melalui logika berpikir dengan berlandaskan pada sumber samawi, merupakan jalan utama untuk meminimalisasi terjadinya kegagalpahaman beragama, terkhusus bagi generasi baru Islam. Pun tidak dipungkiri, jika nalar keberagamaan diberdayakan secara kritis menuju perdamaian, hal tersebut dapat mengubah paradigma manusia beragama akan problematika yang terjadi. Sehingga, tidak mudah melabeli, menghukumi, dan memukul rata antara satu dengan lainnya tanpa pengkajian lebih lanjut yang kemungkinan besar merugikan.

Oleh sebab itu, menjadi manusia beragama dengan disertai modal wahyu dan akal merupakan salah satu kesadaran yang harus ditingkatkan. Di samping itu, kesadaran ini harus dimulai dengan mengenal terlebih dahulu apa itu Islam? Siapa pembawa risalah Islam? Bagaimana karakter pembawa risah Islam? Apa esensi Islam? Dan lain-lain.

Potensi pertanyaan-pertanyaan yang hadir merupakan kunci terbentuknya nalar kritis disertai dengan pemahaman yang tajam. Bukan itu saja, fungsi nalar kritis ialah menemukan ilmu yang menurut manusia berguna bagi dirinya. Sehingga, sudah barang tentu, jika nalar kritis digunakan secara sehat disertai ayat-ayat suci dan pemahaman pengantar Islam, problematika Islam yang masif akan terminimalisasi.

Baca Juga  Pentingnya Menyemai Filsafat dalam Diri Anak-anak

Selain itu, potensi-potensi terminimalisasinya problem ini ditandai dengan kesadaran manusia beragama dalam mengambil sikap bijak, bahwa Islam merupakan agama yang membawa rahmat. Jika terselubung individu yang terindikasi anti-rahmat, maka sudah sepatutnya dipertanyakan keberagamaannya dan kehumanisannya.

Salah satu hikmah yang dapat kita ambil ialah bahwa humanis dalam pergaulan diajarkan di semua agama dengan dasar-dasar atau pedoman yang jelas, begitupun Islam. Untuk itu, mempelajari suatu perkara terkait agama perlu mendayakan nalar kritis untuk menemukan pemahaman yang terbimbing dan terarah. Sehingga, terdapat kesesuaian antara yang dipahami dengan yang diyakini.

Bukan itu saja, membiasakan berpikir kritis juga menjadi salah satu kunci menghindari dogma yang membentuk ketaklidan yang mendaging dan kolot, berbeda dengan karakter Islam yang penuh kedamaian.

Editor: Lely N

Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds