Falsafah

Tiga Corak Keberagamaan: Manakah yang Mencerahkan?

4 Mins read

“Beragama yang mencerahkan” menjadi tema yang diangkat oleh Muhammadiyah dalam sidang Tanwir yang diadakan di Bengkulu, 15-17 Februari 2019. Selain forum Muktamar, Tanwir merupakan sebuah istilah khas permusyawaratan Muhammadiyah di tingkat nasional. Tanwir berasal dari bahasa Arab: nawwara – yunawwiru –tanwiran yang bermakna penyinaran, penerangan atau pencerahan. Istilah-istilah pencerahan memang menjadi istilah yang khas dan menunjukkan identitas bagi gerakan sosial keagamaan yang memiliki Mars “Sang Surya” dan logo “matahari” ini sangat kuat dengan karakter “pencerahan”.

Jelang mamasuki abad kedua, Muhammadiyah telah mengukuhkan dirinya sebagai “gerakan pencerahan” (al-harakah at-tanwiriyah). Komitmen bergerak di bidang pendidikan yang mencerahkan, menjadi sarana penting untuk mengemban misi pencerahan bangsa. Di tengah berbagai kontestasi ideologi keislaman yang lahir Pasca Reformasi, Muktamar Seabad (2010), Muhammadiyah menawarkan wacana alternatif yaitu “Islam Berkemajuan”. Pertanyaannya di sini adalah bagaimana beragama yang mencerahkan itu?

Ambivalensi Beragama

Kecenderungan terahir, tentang fenomena beragama dinyatakan oleh Abdul Mu’ti dalam pengajian bulanan PP MUhammadiyah Jumat, 9 Februari 2019 ada tiga model orang beragama hari ini. Pertama,fenomena spiritualisasi agama, orientasi beragama masih berdasarkan spirit pahala, sehingga bersifat serba ritual.Kedua, gejala komodifikasi agama, yaitu menjadikan komoditas bisnis.   Ketiga, gejala politisasi agama, untuk tujuan politik elektoral jangka pendek.

Padahal, dalam pandangan resmi Muhammadiyah, pengertian agama dinyatakan bahwa:

“Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya,  berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat” [HPT, 276].

Dalam definisi di atas, dijelaskan bahwa tujuan orang beragama adalah “supaya mendapatkan kebaikan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat”. Tetapi nyatanya mengapa orang beragama tetapi tidak t atau kurang begitu bahagia?

Kalau membaca ulang pesan dan pelajaran KH. Ahmad Dahlan, maka kita akan menemukan kata-kata yang sangat relevan dengan tema “beragama yang mencerahkan”, yaitu:

Baca Juga  Max Muller: Penggagas Konsep Science of Religion

 “wa nahju sabili wadih liman ihtada wa lakin al-ahwa’ ‘amat fa a‘mat” (dan agamaku terang benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu [menuruti kesenangan] merajalela di mana-mana, kemudian menyebabkan akal manusia menjadi buta)” (KRH Hadjid, 25).

Kiai Dahlan juga menyatakan bahwa yang tidak mencerahkan bukan agamanya, melainkan manusianya:

“Mula-mula agama Islam itu cemerlang, kemudian kelihatan makin suram. Tetapi sesungguhnya yang suram itu adalah manusianya, bukan agamanya” (KRH Hadjid, 25).

Mengapa paradoks dan ambivalensi orang beragama yang seharusnya bahagia dan hati pikirannya tercerahkan, malah justru sebaliknya?

Di sinilah kita nampaknya perlu kembali mengulik ajaran dasar Islam, dikenal  3 kata kunci penting dalam fundasi  keberagamaan Islam yaitu, Iman, Islam dan Ihsan. Ihsan didefinisikan “an ta’buda al-allah ka annaka tarahu, wa in lam takun tarahu fa innahu yaraka” (Hendaklah kamu menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya, dan seandainya kamu tidak melihatNya, sesungguhnya Dia  melihat kamu).

Di sini nampak secara individu, manusia muslim yang beriman selalu dilihat dan diawasi oleh Tuhan. Seolah-olah secara individu, memang dekat sekali dengan Tuhan. Pertanyaannya, bagaimana dalam kehidupan sosial? Apakah kehidupan sosial masih ada kaitannya dengan Tuhan?

Rupanya peran Tuhan yang secara teori melekat dengan individu, tetapi dalam kehidupan “kelompok” seolah-olah pengawasan Tuhan hilang. Nilai-nilai keadaban yang  di sinari ajaran Islam yang seharusnya dijunjung tinggi, malah tak jarang berubah menjadi sifat-sifat yang kasar dan keras. Seakan Tuhan dijadikan dalih oleh kelompok tertentu untuk meraih dan melanggengkan kepentingan kelompok dengan mengatasnamakan  agamaDi sini letak ambivalensi yang tajam. Ternyata kesalehan individu belum berkorelasi positif dengan kesalehan sosial.

Mengapa keyakinan adanya pengawasan Tuhan secara individu begitu mudah dilupakan  tatkala memasuki kepentingan organisasi, atau partai politik? Di sinilah barangkali Tuhan hanya imani secara subjektif oleh individu/kelompok, tetapi Tuhan kurang berdampak dalam kehidupan sosial yang objektif. 

Baca Juga  Sejak Kapan Allah Ada?

Nyatanya ketika umat Islam berkelompok, malah terjebak pada ikatan primordialisme dan sektarianisme madzhab. Perbedaan kepentingan malah mudah menyulut sikap emosional dan kekerasan akibat saling benci satu-sama lain.

Tiga Corak Beragama

Dalam studi Islam, setidaknya tiga model akal yang digunakan dalam memahami agama, sehingga melahirkan model keberagamaan yang berbeda. Pertama, keberagamaan Imani adalah model beragama yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri, tidak peduli terhadap orang atau kelompok lain.  Beragama model ini umumnya bercorak fiqhiyyah dan kurang tenggang rasa dengan kelompok lain yang berbeda paham, bahkan agama. Terlalu kuat untuk lingkungan intern sendiri, tetapi lemah dalam memahami keberadaan orang atau kelompok lain. Corak beragama ini lahir dari akal atau corak berpikir keagamaan yang berlandaskan asumsi politik-ketuhanan (al-‘aql al-lahuty al-siyasy).

Kedua,keberagamaan Ilmiah, yang mempunyai mentalitas dan cara berpikir yang bercorak keilmuan (scientific mentality) melalui proses pencarian kebenaran berdaasrkan metode keilmuan. Keberagamaan ini dibangun atas dasar penggunaan akal yang bercorak obyektif-ilmiah (al-aql al-tarikhy al-ilmy). Corak beragama ini melahirkan pemahaman yang luas (saling mengenal dan memahami), bahwa tidak ada agama yang sama. Semua agama adalah unik dan berbeda, sehingga beragama tidak mudah terjebak dan terbelenggu dalam egoisme sektarian dan primordialisme kelompok keagamaan yang akut.

Ketiga, keberagamaan welas asih. Perpaduan keberagamaan yang bercorak subjektif (imaniyyah) dan objektif (ilmiyyah) melahirkan corak keberagamaan ketiga, yaitu keberagamaan welas asih.  Inilah spiritualitas yang rahmatan lil alamin, yang melahirkan etika universal dan multikultural. Tanpa mengurangi arkanul Iman maupun arkanul Islam sedikit pun, keberagamaan  welas asih masih mempertahankan keimanan, eksistensi dan keberadaan masing-masing, tanpa mengganggu-gugat keberadaan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang lain.

Baca Juga  Mulla Shadra (1): Pendiri Madzhab “Hikmah Mutaaliyah” Filsafat Islam

Yang dipentingkan dalam keberagamaan welas asih adalah spiritualitas tata nilai yang dapat mendukung kehidupan bersama yang amat plural dalam era globalisasi kosmopolitan. Nilai-nilai utama yang terkandung dalam model beragama welas asih ini, antara: kasih sayang, kebaikan, ketulusan, pengabdian, tolong-menolong, kedamaian, kepedulian, orientasi hidup yang nirpamrih (altruistik), menghindari sikap serba-ingin menang sendiri, serta menaklukkan kelompok lain yang berbeda. Inilah seperangkat tata nilai yang diperlukan oleh akal pikiran baru yang dilandasi etika cinta kasih (al-aql al-jadid al-istitla’i) atau akal yang tercerahkan (al-aql at-tanwiry).

Beragama welas asih inilah model keberagamaan KH. Ahmad Dahlan. Beragama yang dilandasi “hati suci” (dan pikiran sehat). Akal dan hati suci sebagai inti kesalehan syariah. Hati suci dan akal sehat bagi Kiai Dahlan bukan hanya pangkal memahami Islam, melainkan juga akar ibadah atau dasar hidup sosial dan agama. (KRH Hajid, 25). Model keberagamaan yang dilandasi etika welas asih sebagai dasar akal sehat (kritis-terbuka) untuk memahami ajaran Islam, sehingga melahirkan pemahaman agama yang fungsional mencerahkan dan menjernihkan hati, nalar maupun kehidupan masyarakat.

Kiai Dahlan bersama Muhammadiyah mampu menyerap puncak-puncak peradaban tanpa memandang agama, sehingga melahirkan keberagamaan rahmatan lil alamin di bidang amal sosial kemanusiaan mulai dari pendidikan, kesehatan, filantropi, pemberdayaan masyarakat, kebencanaan dll.

Berdasarkan ini, kita dapat mengambil ibrah mengapa orang beragama tidak mencerahkan. Barangkali selama ini Agama terlalu dipahami sebagai institusi atau sebatas sebagai identitas. Keberagamaan belum menyen­tuh pada intuisi atau hati nurani. Maka dari itu hati suci atau hati nurani perlu kita hidupkan kembali supaya menjadi suluh keberagamaan, sehingga melahirkan keberagamaan Islam yang mencerahkan, yang rahmatan lil alamin, yang tidak egosentrik, tetapi beragama yang altruistik dan penuh welas asih.

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *