Ia masih keturunan darah biru. Nama lengkapnya Nani Wartabone. Dilahirkan di Boludawa, Suwawa, Gorontalo pada 30 April 1907. Ayahnya seorang wedana, keturunan Raja Suwawa. Ibunya Saeerah Moduuto masih keturunan Suwawa juga.
Tumbuh besar di Sungai Bone yang jernih airnya, sehingga batu-batu kerikil pun nampak. Di kanan-kiri Sungai Bone tumbuh pepohonan yang rimbun yang menambah keindahan Sungai ini.
Halaman rumah Nani Wartabone amat luas. Di halaman rumahnya itu, kita bisa menemukan “Pohon Manila” yang kelak menjadi pohon bersejarah.
Ruang Belajar dan Pengabdian Wartabone
Ia mula-mula menapaki pendidikan di SD Suwawa, kemudian masuk HIS (Holland Inlandsch School) 1916. Belum sampai ia selesai dari HIS, ia pindah ke ELS (Europesche lagere School) di tahun 1923. Ia menyelesaikan ELS di tahun 1924. Ia kemudian pindah ke Tondano MULO. Di Tondano Mulo tidak tamat lalu ke MULO Surabaya sampai tahun 1926. Begitu selesai ia kembali ke Gorontalo (Drs. Mansur, 2004).
Lepas dari bangku belajar, ia kembali ke ladang pengabdian. Ia mengabdi bersama masyarakat tani. Wartabone adalah pembaca yang baik, dan suka menyimak siaran dari radio.
Selama studi di Surabaya, ia menyaksikan sendiri diskriminasi dari guru-gurunya yang membedakan antara murid Belanda dengan murid dari pribumi. Saat studi, ia justru lebih banyak belajar di luar sekolah. Ia sering menyimak ceramah Agus Salim, Cokroaminoto, dan Soekarno.
Dalam buku yang diterbitkan Kementrian Sosial berjudul Biografi Pahlawan Nasional Hi Nani Wartabone (2004), tercatat Nani Wartabone pernah menginap di rumah Soekarno. Kesempatan itu ia gunakan untuk membaca buku dan belajar dari Soekarno. Pelajaran anti kooperasi terhadap pemerintah kolonial membekas di hati Nani.
Saat akhir 1928, Nani Wartabone mendirikan Perkumpulan Pemuda Tani dengan nama “Hulungan” yang bersifat gotong royong. Yang menarik anggotanya usia 15-17 tahun anggotanya 300 orang. Tujuan organisasi ini diantaranya adalah menanamkan jiwa kebangsaan menuju Indonesia merdeka, membina dan menggembleng jiwa pemuda-pemuda tani dengan ide perjuangan dari Soekarno serta memancangkan kain merah putih saat membajak, dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia raya saat bekerja.
Nani Wartabone Terjun ke Politik
Di tahun 1931, Nani Wartabone mendirikan Cabang Partindo di Gorontalo. Selang beberapa lama, di tahun 1933, pemerintah kolonial melarang aktivitas Partindo di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1933, ia masih melanjutkan aktivitas politiknya tetapi di Muhammadiyah. Ia mendirikan Groep Moehammadijah dengan menyisipkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan.
Nani Wartabone memasuki Mohammadijah sebagai medan untuk membangkitkan dan memberi gemblengan politik melalui tabligh agama. Ia pun turut berperan dalam Konferensi ke-3 Muhammadiyah Cabang Gorontalo yang dihadiri PP Muhammadiyah dari Yogyakarta.
Semenjak Wartabone terjun ke politik, ia selalu diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Ia justru mendapatkan ancaman dari kakaknya Wartabone yang juga seorang Wedana agar menghentikan aktivitas dakwahnya di persyarikatan.
Hari Patriotik
Peristiwa 23 Januari 1942 adalah puncak perjuangan Nani Wartabone. Langkah ini dimulai dengan melatih 300 orang latihan nembak, menyerang musuh, dan sikap terarah dalam satu tindakan.
Di tahun 1940, Nani melakukan satu gerakan bersejarah yang dikenal sebagai “Rapat Sawo Manila” karena dilakukan di bawah Pohon Manila. Pada rapat itu dihadiri wakil pergerakan politik di Gorontalo. Beberapa yang hadir diantaranya, PSII, Jong Islamieten Bond, Partai Arab Indonesia, Partai Tionghoa Indonesia dan Muhammadiyah. Rapat Sawo Manila membahas rencana mengusir penjajah Belanda, bahkan disiapkan 575 pasukan.
Pada tanggal 28 Desember 1941, terjadi aksi pembumi hangusan yang pertama oleh pihak Belanda.
Ketika Belanda tidak mau untuk diajak kompromi, maka terjadilah peristiwa hari patriotik, 23 Januari 1942 di bawah pimpinan langsung Nani Wartabone untuk mengawasi dan melucuti senjata Belanda. Pada hari itu, di alun-alun, Indonesia sudah merdeka bebas dari penjajahan bangsa mana pun.
Sebanyak 17 kali mengalami percobaan pembunuhan, Nani Wartabone selamat. Lepas peristiwa Hari Patriotik, Nani membentuk Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat. Tepat di tanggal 27 Januari 1942 Nani Wartabone bersama rakyat Gorontalo mengadakan upara dan mengibarkan Sang Merah Putih.
Ancaman Jepang
Sebagai pejuang dan pemimpin rakyat, Nani Wartabone selalu waspada terhadap ancaman yang datang pada rakyat Gorontalo. Pada 26 Februari 1942 ditawari kerjasama dengan pemerintah Jepang, namun ditolaknya. Nani bergerak ke Suwawa untuk sementara waktu karena terdesak oleh Jepang. Pada 30 Desember 1943, Nani pun ditangkap. Ia dibebaskan beserta para tawanan lainnya pada 6 Juni 1944.
Setelah kekalahan Jepang, ternyata masih ada ancaman dari sekutu. Saat itu tanggal 3 Oktober 1945 tibalah mayor Wilson ke Gorontalo. Membujuk Nani, ia berunding di kapal, 30 Nopember 1945 Nani ditangkap dan ditahan. Nani baru dibebaskan dari penjara Cipinang akhir Desember 1949 setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda.
Nani Wartabone Melawan Permesta
Setelah kemerdekaan, Nani Wartabone duduk sebagai pejabat pemerintahan Gorontalo. Setelah ancaman Jepang dan Sekutu sirna, masih ada ancaman yakni dari PRRI Permesta. 2 maret 1957 Permesta diproklamirkan. Berkat perlawanan Nani Wartabone, Permesta berhasil digagalkan. Bersama Pasukan Rimba yang ia pimpin, Juni 1958 Permesta berhasil dilumpuhkan dan Gorontalo kembali ke NKRI.
Selama Nani Wartabone memimpin Gorontalo, Nani juga anti terhadap PKI. Ia telah mengabdi dan berjuang untuk bangsa dan negerinya. Jiwa Muhammadiyah dalam dadanya ia gerakkan untuk mengabdi dan berjuang demi bangsanya. Ia menutup mata di tanggal 3 Januari 1986.
Editor: Saleh