Perspektif

Nasr Hamid Abu Zayd: Poligami Dilarang dalam Al-Qur’an

4 Mins read

Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010) merupakan cendekiawan Muslim asal Mesir yang mengkaji Al-Qur’an dengan konsen terhadap isu humanitas dan budaya Arab melalui karya magnum opus­nya Mafhum al-Nashsh: Dirasah fi al-‘Ulum al-Qur’an (Konsep Teks: Studi tentang Ilmu-Ilmu Al-Qur’an).

Ia akrab dengan hermeneutika Barat, menulis sebuah artikel “al-Hirminiyuthiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh” (Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks), yang merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis dalam bahasa Arab (Busriyanti: 2013, 100).

Paradigma Teks Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd

Mengenai hakikat teks, Nasr Hamid terinspirasi dari Muktazilah. Di samping itu, Nashr Hamid mengadopsi hermeneutika Hirsch untuk menggali makna dan signifikansi teks, namun tidak sepenuhnya mengikuti Hirsch terkait rehabilitasi makna authorial.

Bagi Nasr Hamid, makna adalah sesuatu yang bersifat mapan (original) sesuai konteks wahyu, dan signifikansi (maghza) merupakan apa yang muncul melalui hubungan antara makna dan pembaca, dengan kata lain bersifat dialogis.

Menurut Nasr Hamid, Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt dalam bentuk teks yang sarat makna. Pembahasan tentang teks Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya Arab pra-Islam dan era Islam (Nashr Hamid Abu Zaid: 2013, 1-3).

Nasr Hamid menganggap fenomena wahyu Ilahi (wahy tanzil) sebagai bagian dari budaya di mana ia muncul. Kenyataan tersebut akan dapat dicermati misalnya pada perbedaan gaya dan muatan wahyu yang diturunkan di Makkah dan di Madinah, karena perbedaan kultur serta latar belakang sosial setempat  (M. Nur Ichwan: 2001, 82).

Dengan demikian, pemahaman teks Al-Qur’an difokuskan kepada aspek-aspek yang terkait dengan kebudayaan dan tradisi; lebih tepatnya pada masalah historisitas teks, otoritas teks, dan pembacaan kontekstualnya (manhaj al-qira’ah al-siyaqiyyah) (M. Fauzinuddin Faiz: 2015, 45).

Baca Juga  Penganugerahan Doktor Honoris Causa, Habib Chirzin Tekankan Pentingnya Perdamaian Global

Berangkat dari gagasan tersebut, Al-Qur’an dapat ditinjau dari sisi normatif dan praksis. Menurut Nasr Hamid, hal ini penting dipahami, supaya dapat membedakan mana makna orisinal teks dengan makna yang dilatarbelakangi struktur budaya dan ideologi penafsir yang sudah terkonstruk dalam diri dan lingkungannya.

Sisi normatif bersifat transendental, sakral dan formal, sedang sisi praksisnya bersifat dinamis, berkaitan dengan relevansi masa kini di mana ajaran Al-Qur’an diterapkan.

Interpretasi Terhadap Ayat Poligami

Salah satu model pembacaan “teks” ala Nasr Hamid Abu Zaid adalah tentang permasalahan poligami. Bagi Nasr Hamid, poligami dalam wacana Al-Qur’an memiliki tiga level makna, yakni pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan mengungkap dimensi yang tak terkatakan (makna bathin-nya) dan mampu menguak signifikansi (maghza) masa kininya (Fikri Hamdani: 2016, 40).

Sebagai landasan, ayat poligami adalah sebagai berikut:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa: 3).

Nasr Hamid Abu Zayd menginterpretasi ayat di atas dengan tiga langkah. Pertama, melihat konteks ayat tersebut ketika turun, dan mengaitkan dengan tradisi Arab pra-Islam. Hal ini dilakukan untuk melihat makna orisinal daripada teks.

Nasr Hamid berargumen bahwa sebelum datangnya Islam (pra-Islam), poligami tidaklah dibatasi sampai empat, melainkan lebih dari itu. Kemudian ketika Islam datang dengan Al-Qur’an-nya, izin seorang laki-laki untuk menikah dibatasi sampai empat kali (M. Nur Ichwan: 2003, 139).

Baca Juga  Gerhana Matahari Cincin 21 Juni 2020, Pertanda Kiamat?

***

Langkah kedua, meletakkan teks dalam konteks Al-Qur’an secara keseluruhan (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an). Pada langkah ini, Nasr Hamid mencoba untuk menemukan makna yang “tak terkatakan” dalam ayat Al-Qur’an. Pada konteks poligami ini, Nasr Hamid membandingkan dua ayat yang cenderung saling menjelaskan, ia membandingkan surat an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129.

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. (QS. an-Nisa: 3).

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS. an-Nisa: 129).

Nashr Hamid menganalisis kedua ayat di atas dengan analisis linguistik. Di dalam ilmu linguistik Arab, dikenal dengan adanya istilah ‘adad syarth, fi’il syarth, dan jawab syarth.

Pada kata “jika” di atas adalah merupakan suatu partikel kondisional (kalimat pengandaian) atau dalam istilah linguistik disebut sebagai ‘adad syarth. Kata “adil” pada ayat yang pertama adalah fi’il syarth, dan kata “seorang” adalah sebagai jawab syarth.

Kemudian ditegaskan oleh ayat sesudahnya (an-Nisa` ayat 129) bahwa “adil” dalam konteks poligami adalah sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia, hal itu berdasar pada penggunaan kata lan (لَنْ) yang berarti “tidak akan pernah”.

Dari sini Nasr Hamid ingin mengungkapkan bahwa salah satu syarat seseorang boleh berpoligami adalah masalah keadilan, tapi untuk bisa berbuat adil kepada lebih dari satu istri, seorang suami tidak akan pernah mampu melakukannya. Karena itu, Nasr Hamid berkeyakinan bahwa poligami tidak diperbolehkan.

Baca Juga  Tak Benar Islam di Indonesia Datang dari Gujarat!

***

Langkah yang ketiga adalah mengusulkan pembaharuan dalam hukum Islam. Hal ini berangkat dari gagasan bahwa pendapat para mufassir dan fuqaha klasik bisa saja direvisi serta sama sekali tidak transendental dan mutlak. Sebagaimana disebutkan di awal tadi, di sinilah mesti diletakkan sisi dialogis dan signifikansinya Al-Qur’an.

Dalam hukum Islam klasik, poligami diklasifikasikan masuk dalam bab “hal-hal yang diperbolehkan”, istilah pembolehan menurut Nasr Hamid tidaklah sesuai, karena pembolehan poligami dalam Al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari praktik poligami yang tak terbatas, pembatasan tidak berarti pembolehan (M. Nur Ichwan: 2003, 140).

Kesimpulan

Setiap pilihan kata yang ditata dalam Al-Qur’an oleh Sang Penuturnya tiada yang tanpa maksud. Karena itu, relevan bila Nasr Hamid Abu Zaid merasa perlu melacak perkembangan makna teks dalam hal ini ayat mengenai poligami menggunakan teori-teori mutakhir bidang linguistik, sastra, semiotik dan hermeneutika dalam kajian tafsir Al-Qur’an.

Pada akhirnya bisa dikatakan, Nasr Hamid Abu Zayd berkesimpulan bahwa “poligami dilarang” dengan melacak makna orisinal teks melalui historisitas teks Al-Qur’an ketika masa pra-Islam dan masa Al-Qur’an diturunkan, menganalisis teks menggunakan pendekatan linguistik untuk menyingkap pesan di balik teks, lalu kemudian mengungkap signifikansi konteks kekiniannya.

Wa Allah a’lam.

Editor: Soleh

Muhammad Abdul Ghaniy Morie
9 posts

About author
Penulis di Sarangge Kahawa Institut, minat kajian Al-Qur’an dan Humaniora
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds