Hampir seabad, perjalanan Nasyiatul Aisyiyah (NA) menerjemahkan tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan Islam yang sebenar-benarnya dalam perjuangan dan gerakan. Melalui Muktamar NA ke XIV yang akan diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 2-4 Desember 2022 mendatang, NA mengusung tema “Menguatkan Perempuan, Mengokohkan Peradaban.”
Implikasi dari tema tersebut tentu mendorong NA untuk melakukan inovasi, kolaborasi, advokasi, dan strategi dalam menjawab perubahan zaman untuk mewujudkan Islam yang menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan kemoderenan. Dengan demikian, untuk menuntaskan perempuan berkemajuan dan mengukir peradaban, maka perlu dibekali skill yang kuat menyelesaikan persoalan.
Pelbagai isu dan persoalan tentang anak dan perempuan di Indonesia, masih menjadi topik yang hangat. Kasus polio misalnya, membawa status Indonesia dalam Kejadian Luar Biasa (KLB) polio setelah mendapatkan sertifikat Eradikasi. Belum lagi, kasus kekerasan seksual yang terus meningkat terhadap anak dan perempuan yang juga mewarnai khazanah permasalahan di Indonesia akhir-akhir ini.
Kampanye pun digalakkan oleh Komnas Perempuan untuk menyuarakan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP). Beriringan dengan itu, Muktamar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2 juga mengusung tentang penghapusan kekerasan. KUPI mendorong pemerintah untuk segera membuat implementasi kebijakan untuk kelompok rentan kekerasan dan peraturan pelaksana UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Muktamar ke XIV Nasyiatul Aisyiyah, menjadi moment penting menyampaikan pesan moral kemanusiaan untuk turut serta mengambil posisi dan menegaskan peran dalam mempengaruhi kebijakan di Indonesia.
Gerakan Jihad Menumpas Status KLB Polio di Indonesia
Kemajuan dalam bidang kesehatan anak perlu mendapatkan perhatian Nasyiah (selain fokus ke kasus stunting). Kasus terbaru yang menerpa Indonesia yang telah mendapatkan sertifikat eradikasi, kini berubah status menjadi Indonesia Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio. Hal tersebut terjadi karena, Pemerintah Kabupaten Pidie, Aceh menemukan satu kasus polio pada tanggal 10 November 2022 silam.
Bukti gerakan berkemajuan dalam bidang kesehatan, NA mengambil posisi untuk berkolaborasi dengan negara untuk memerangi dan menangulangi status KLB polio agar tidak meluas. NA juga memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat akan pentingnya imunisasi polio bagi anak (hak anak). Perlu diketahui bahwa adanya masyarakat yang masuk dalam kelompok anti vaksin (dikenal dengan antivak), bisa menjadi sebab munculnya kasus polio.
Secara internal dan gagasan, NA bisa mewarnai khazanah dalam putusan manhaj tarjih. Dengan mengusulkan perlunya memasukkan jihad memberantas polio masuk dalam fikih kesehatan. Tentu hal tersebut menjadi wujud pengokohan peradaban.
Selain itu, bebas dari serangan penyakit polio adalah hak kesehatan anak. Dalam kajian maqasid syariah yang lima, menjaga jiwa agar terbebas dari segala penyakit atau hal yang mengancam dan membahayakan kesehatan sejak dini merupakan keniscayaan (mendesak). Oleh karena itu, sehat dari penyakit polio bagian dari menjaga jiwa atau yang dikenal dengan hifdzu nafs (melindungi jiwa). Sebab, mencegah penyakit polio dengan ikhtiar melalui imuniasi polio bagian dari melindungi dan menjaga jiwa yang diajarkan oleh syariat. Sebagaimana yang dikemukankan oleh Syatibi, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat.”
Penegasan Gender Perspektif NA dalam Buku Pedoman Nasyiah
Isu gender bukanlah isu baru di blantika Indonesia. Namun, pemahaman kader NA yang belum seutuhnya tuntas dari hulu ke hilir, perlu mendapatkan perhatian khusus. Gender perspektif NA (masih sangat relevan) dibutuhkan dalam menjebatani kader memandang persoalan ketidakadilan gender yang ada dimasyakarat.
Alasannya, NA bukan hanya sekedar sebagai subjek atau aktor organisasi semata, tetapi ia juga sebagai objek organisasi (sasaran organisasi yang diteliti) bagi masyarakat. Gerakan, pemikiran atau pandangan tentang suatu isu –terutama- gender menarik untuk diteliti oleh calon sarjana Indonesia. Buktinya beberapa waktu lalu, ada yang menanyakan tentang gender perspektif NA itu apa dan bagaimana? Ketidakmampuan menjawab konsep secara kelembagaan NA, tentu disebabkan belum adanya pandangan gender dalam perspektif NA yang dibakukan dan dibukukan dalam buku pedoman NA. Sehingga, apabila ada calon sarjana yang ingin meneliti tentang NA, pandangan hanya secara personal. Padahal secara personal tidak bisa mewakili NA secara kelembagaan.
Gerakan untuk menyuarakan kesetaraan bahkan keadilan gender yang -dianggap- sudah final dan utuh (baik secara epistemologi, ontologi, dan aksiologi), harusnya memudahkan untuk melahirkan gender perspektif NA. Namun, apabila gerakan yang belum utuh pemahaman tentang gender akan berimplikasi pada gerakan bias gender. Atau jangan-jangan malah yang selama ini dipahami telah setara nyatanya hanya sebuah delusi kesetaraan gender.
Suluh Perdamaian untuk Minoritas Lokal
Nasyiatul Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah, memiliki peran untuk mewujudkan perdamaian di ranah lokal hingga global. NA sudah memerankan peran di ranah global, dibuktikan dengan keikutsertaan NA dalam kegiatan perempuan perdamaian ke Amerika Serikat. Namun, ada isu yang hingga kini menjadi isu panas di masyarakat Indonesia. Isu tersebut adalah isu minoritas Jemaat Ahmadiyah yang membutuhkan uluran tangan kemanusiaan.
Apabila kajian teologi tentang Ahmadiyah sudah final, maka bagaimana Islam berperan dalam relasi kemanusiaan antar umat beragama? Sementara, Islam yang diidealkan Al-Qur’an adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Sebagai agama, dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) 3 Muhammadiyah menerangkan, bahwa rahmah dapat dipahami sebagai kasih sayang dan memberikan kebaikan.
Islam menjadi agama yang mengasihi dan memberikan kebaikan secara nyata kepada seluruh alam. Rahmah sebagai ajaran akar, dasar, dan menyeluruh, sehingga mampu menggerakkan kejujuran, mewujudkan ketenangan, ketentraman, keadilan, kesetaraan, dan saling tolong menolong yang berlandaskan takwa. Dengan demikian, maka kaum minoritas menunggu pengamalan Islam kasih sayang dari NA.
NA memiliki bargaining posision untuk mengadvokasi dan mengaudiensi kebijakan ke dalam Muhammadiyah (melalui kajian manhaj tarjih) dan pemerintah untuk membuat payung hukum yang kuat dan tegas tentang perlindungan negara terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Sekali lagi, Muktamar adalah momentum yang tepat bagi NA untuk mengusulkan kebijakan. Saudara seperjuangan, Pimpinan Pusat Fatayat sudah pernah melakukan advokasi kebijakan Nahdlatul Ulama (NU) dan berhasil mewarnai Bahtsul Masail (forum pencarian dasar hukum) pada Munas Ulama NU di Surabaya pada 2006 tahun silam dengan membawa isu perdagangan manusia. Keberhasilan Fatayat, tercermin dengan masuknya salah satu anggota jaringan kerja advokasi untuk undang-undang (UU) Anti Perdagangan Orang yang disahkan pada Juni 2007.
Melihat perjalanan Fatayat, maka sudah sewajarnya kini giliran NA turut serta dan mengambil porsi dan posisi memberikan warna pada manhaj tarjih Muhammadiyah dan kebijakan pemerintah. Bila manusia bukan saudara seagama, maka mereka adalah saudara dalam kemanusiaan.
Akhir kata, selamat Muktamar ke XIV Nasyiatul Aisyiyah! Selamat menerjemahkan Islam berkemajuan yang memberikan kasih sayang dan kebaikan kemanusiaan kepada seluruh alam (manusia, hewan, tumbuhan, dan semesta) untuk peradaban hijau di masa depan.
Editor: Yahya