Perspektif

Jumatan Online Lebih Khusyuk Ketimbang Jumatan Offline

3 Mins read

Jumatan Online

“Saya merasa kalau jumatan online itu lebih privat, lebih tenang, dan lebih khusyu’,” ujar seorang jamaah jumatan online beberapa waktu silam.

Fenomena jumatan online yang digelar oleh sebagian masyarakat di awal pandemi 2020 silam memang kontroversial. Namun, terlepas dari kontroversi yang ada, pengakuan sebagian jamaah jumatan online sebagaimana tersebut di atas begitu menarik.

Ada beberapa jamaah yang mengaku bahwa salat jumat secara online itu lebih tenang, lebih privat, dan lebih khusyu’. Mereka melakukan salat jumat di kamar masing-masing dengan bantuan teknologi Zoom.

Konon, dengan cara demikian, konsep ihsan yang sering diartikan dengan kehadiran Tuhan dalam ibadah itu lebih terasa. Apapun yang dilakukan oleh jamaah di kamar yang privat itu sepenuhnya adalah otoritas dirinya. Tidak ada faktor pekewuh dengan jamaah lain di sekitarnya seperti ketika jamaah di masjid, misalnya. Tidak ada faktor jaim (jaga image) dengan jamaah yang lain. Ibadahnya begitu otentik dan privat.

Mungkin sebagian dari Anda akan mentertawakan pengalaman subjektif seperti ini. Namun, di dunia yang begitu humanis, pengalaman subjektif seharusnya dihargai sebagai kebenaran subjektif.

Ia adalah sebuah fakta kebenaran otonom yang orang lain tidak dapat dan tidak berhak menganulirnya. Tentu, di sisi lain, jumatan online dan kenyamanannya relevan ketika pandemi begitu mengerikan. Apakah hari ini masih relevan itu lain soal.

Bagi saya, jamaah yang menikmati ruang otonom dan privat dalam jumatan online tersebut mengekspresikan sebuah keberislaman dengan apa yang disebut oleh Bung Hatta sebagai Islam Garam.

Islam Garam dan Islam Gincu

Terma Islam Garam dan Islam Gincu tentu telah menjadi pembicaraan yang cukup tua. Intinya, Islam Garam adalah Islam substantif. Islam yang tidak terlihat, namun terasa. Tidak menonjolkan simbol, namun menonjolkan dampak. Garam membuahkan rasa asin. Islam membuahkan rasa aman, damai, dan maslahat yang universal.

Baca Juga  Kebijakan Covid-19 Telah Diatur dalam Islam

Sebaliknya, Islam Gincu adalah Islam yang bisa dilihat, namun tidak ada rasanya. Gincu indah dipandang. Seperti simbol-simbol Islam yang hari ini tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Namun Islam Gincu ini tidak ada rasanya. Tidak ada dampaknya. Adanya sama dengan tiadanya.

Islam Garam inilah, yang menurut Bung Hatta, harus menjadi Islamnya orang Indonesia. Sebaliknya, Islam Gincu harus dibuang jauh-jauh dari alam pikiran kita.

Sayangnya, idealitas tidak selalu sesuai dengan realitas. Padahal, Islam Gincu ini memiliki banyak sekali konsekuensi negatif. Misalnya, yang agak dekat dengan kita, adalah politik identitas.

Menjelang tahun politik 2024, banyak pihak khawatir politik identitas kembali menguat. Padahal, rasanya baru kemaren sore kita mengalami segregasi yang begitu kejam di tahun 2019.

Politik identitas, secara sederhana merupakan penggunaan identitas tertentu untuk kepentingan politik praktis. Identitas yang dimaksud bisa identitas agama, suku, dan budaya. Dalam konteks politik praktis, masyarakat tidak lagi memilih pemimpin karena kompetensi dan integritas, namun karena identitas tertentu.

Sampai di sini sebenarnya tidak terlalu masalah. Toh soal memilih adalah hak setiap warga negara. Namun yang menjadi masalah adalah ketika identitas itu digunakan untuk membelah masyarakat dengan jurang yang begitu lebar.

Eksklusifisme Islam Gincu

Dampak lain dari Islam Gincu adalah penolakan terhadap orang lain (liyan, the others). Orang lain yang ada di luar lingkaran kelompoknya sendiri dianggap berdosa dan layak dienyahkan. Pemahaman ini meniscayakan kelompoknya sendiri yang besar dan berjaya. Maka, sulit bagi kelompok Islam Gincu untuk menerima keberadaan orang lain. Orang lain dianggap najis dan penuh dosa.

Dalam hal ini, kita seolah lupa dengan ayat yang begitu masyhur, yang menyebut bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sementara taqwa adalah sebuah predikat yang hanya boleh disematkan oleh Tuhan terhadap hamba-Nya. Apakah manusia layak menyematkan sekaligus mencabut predikat taqwa dari manusia lain? Hemat saya tidak.

Baca Juga  Menuju Indonesia Unggul: Optimalisasi Pendidikan Nonformal

Jika hanya Tuhan yang berhak untuk memberi atau tidak memberi predikat taqwa, maka manusia harus memandang manusia lain dalam posisi yang sama dan setara. Penghargaan terhadap liyan adalah manifestasi dari ajaran Islam yang penuh welas asih. Sayang, Islam Gincu hanya mengenal simbol, tidak mengenal substansi ajaran.

Penerimaan terhadap liyan bukan perkara mudah. Gerakan pemurnian ajaran agama seringkali terjebak pada penolakan terhadap kelompok lain yang dianggap tidak murni. Pemurnian kemudian jatuh kepada sikap eksklusif.

Di sisi lain, penolakan terhadap kelompok lain dan sikap eksklusif itu tidak hanya ada pada agama. Ia juga bisa terjadi dalam konteks sosial politik. Misalnya, Partai Republik Amerika yang melarang sebagian warga negara muslim masuk ke Amerika, termasuk pengungsi dan pencari suaka dari negara konflik. Mereka ditolak masuk karena dianggap liyan, warga dunia kelas dua.

Maka, perjuangan untuk menerima kelompok lain yang sering mendapatkan stigma negatif tidak pernah mudah. Pembatasan “kita” dan “mereka” selalu ada dalam realitas sosial kita.

Pembedaan “kita” yang diandaikan baik dan “mereka” yang diandaikan jahat itu begitu langgeng. Mendarah daging dalam alam pikiran kita. Kita, kata Pram, telah tidak adil sejak dalam pikiran.

Menurut hemat saya, ini adalah persoalan kita melihat Islam dari sisi yang mana. Sebagian dari kita melihat Islam dari sisi simbolis. Seperti gincu yang terlihat jelas. Gamblang. Clear.

Sebagian lagi, melihat Islam dari sisi substansi. Rasa. Dampak. Esensi. Nilai inti. Dengan cara kedua inilah seharusnya kita berislam. Sehingga dapat melahirkan sikap penghormatan terhadap kemanusiaan universal dan keluar dari kotak-kotak identitas.

Termasuk penghormatan terhadap pengalaman subjektif orang lain dalam beragama, apapun agamanya.

Baca Juga  Posisi Akal dan Wahyu: antara Imam Al-Ghazali & Harun Nasution
Avatar
108 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *