Perspektif

Natal, Perspektif Antar Iman

2 Mins read

Di setiap Desember selalu ada yang sibuk membahas boleh tidaknya mengucap selamat natal. Ucapan selamat Natal yang mana tidak pernah diharap oleh yang merayakannya. Musa dan Yahweh, Isa dan Bapa di Surga, Muhammad SAW dan Allah, Sidharta dan Sang Budha, Ra , Zeus, Zoroasthura, dan Tuhan lokal lainnya. Tuhan yang satu dengan umat yang beraneka atau sebaliknya.

Agama-agama atau hampir semua ajaran agama telah mengalami banyak perubahan. Desakralisasi dan demitologi. Bahkan ada yang mengalami westernisasi atau arabisasi, siapa bisa cegah. Baik yang folk tradition ataupun yang great tradition semua terimbas. Tanpa kecual, tulis Muhammad Asad, dalam artikelnya yang sangat menarik.

Para agamawan berpendapat bahwa Iman soal hati. Bukan kumpulan fakta atau deret peristiwa yang diyakini bersama. Setidaknya, itulah yang dituturkan ulama sekelas Ibnu Araby, dan Jalaluddin as-sayuthy. Karena itu, tak perlu menyoal kapan Kristus lahir. Kenapa rambutnya pirang, kulitnya seputih bule Eropa, dan matanya biru. Dilengkapi jingle bill’s, pohon cemara dan salju. Meski Kristus sejatinya asli pribumi Arab yang lahir di tanah Palestina atau sekitaran Yerusalam tanah perjanjian.

Yahudi menyebutnya anak haram hasil perzinahan. Karena itu, Yahudi terus memburu ingin membunuhnya sebab kedatangan Yesus berpotensi merubuhkan iman orang orang Yahudi. Para Hawariyun menyebutnya seorang utusan atau Rasul sebelum di-Tuhan-kan dalam konsili Nicea. Umat Islam menyebut Yesus adalah utusan Allah, Ruhullah. Kalimat Allah dilahirkan tanpa ayah semata sebagai tanda-tanda kebesaran.

***

Yesus atau Isa memang kontroversi sejak lahir. Masing-masing punya kisahnya sendiri dan mengklaim benar. Setiap ‘utusan Tuhan’, selalu lekat dengan kisah yang dipertaruhkan. Karen Amstrong memberi catatan menarik tentang sejarah Tuhan yang penuh pertentangan, kekerasan bahkan perang iman yang tak pernah berakhir.

Baca Juga  Pendidikan dan Permasalahan Pelajar di Masa Pandemi

Perang iman tak pernah susut dan terus mendapat energi terbarukan. Hampir separo iman, kata Amstrong, berisi tentang pertentangan yang bermula dari irisan iman yang semisal. Para peneliti besar macam Philip K Hitti dan HAR Gibb yakin bahwa iman punya akar yang sama. Kita punya satu Tuhan dan umat yang beraneka.

Ini soal paling rumit, sebab batasan iman masing-masing agama, kerap saling bertabrakan dan hampir semua perselisihan diakhiri dengan pertengkaran fisik. Iman memang sesuatu yang abstrak, meski dipertaruhkan dalam realitas obyektif.

Iman menagih simbol. Visualisasi atas yang abstrak, butuh pohon cemara, lilin, salju, Sinterklass, jingle bills, atau lagu malam kudus yang khidmad. Semua yang di atas, tak ada kaitan sama sekali dengan Yesus yang lahir 2000 tahun yang lalu. Tapi dibutuhkan untuk kelengkapan iman.

Jadi setiap manusia punya ingin untuk beriman pada Tuhan yang satu tapi dengan cara yang mungkin kita anggap salah.

Related posts
Perspektif

Femisida: Kekerasan Berbasis Gender Bikin Resah Gen Z

3 Mins read
Bayangkan jika dunia berbalik arah, di mana hanya pria yang hidup dengan ancaman setiap hari, di mana kekerasan terhadap mereka diterima begitu…
Perspektif

"Berani Mati" sebagai Resolusi Tahun Baru 2025!

3 Mins read
“Mas, gimana caranya biar resolusi awal tahun baru dapat terwujud?” tanya seorang peserta seminar motivasi. “Kamu harus menyadari sesadar-sadarnya, kalau setiap hari…
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds