Tarikh

Kota Kufah dan Tragedi Fitnah Kubra

5 Mins read

Dari Najaf sekitar 10 kilometer ke arah timur laut, atau dari Baghdad sekitar 156 kilometer ke arah barat, tampak sebuah pemukiman di tepi kanan sungai Eufrat (Furat). Luas pemukiman mencapai 510 kilometer persegi. Kawasan ini setinggi 22 meter di atas permukaan laut. Di sebelah utara, kawasan ini berbatasan dengan al-Kifl daerah (propinsi Babel). Di sebelah timur berbatasan dengan As-Siniya (Sinai) dan propinsi Salahiyah, di bagian barat berbatasan dengan Kariyi Sa’ad, dan di bagian selatan berbatasan dengan propinsi al-Hira. Permukiman inilah yang kemudian dikenal dengan nama kota Kufah.

Kufah

Penduduk kota Kufah terdiri dari bangsa Arab dan non Arab. Di kota ini bermukim kurang lebih terdapat 50 ribu rumah untuk orang-orang Arab dan 24 ribu rumah untuk orang-orang non Arab. Kota ini dikenal subur karena merupakan daerah aliran sungai. Di kota ini terdapat beberapa sungai, seperti sungai Kuthi, Aba, al-Burdan, al-Buwaib, Suraa, at-Tajiya, al-Ghadir, Shili, as-Sanin, Nar, dan lain-lain.

Jauh sebelum ditaklukkan oleh umat Islam, kota ini merupakan salah satu kota penting dalam peradaban Mesopotamia. Memasuki kekuasaan Dinasti Sassanid, kota ini merupakan bagian dari wilayah propinsi Suristan, salah satu pusat peradaban bangsa Persia. Sebelum Sa’ad bin Abi Waqqas menaklukkan kawasan ini pada tahun 638 M (17 H), kota ini bernama Suristan dan Khuz al-Azra’a. Atas perintah khalifah Umar bin al-Khattab, umat Islam membangun Suristan dan Khuz al-Azra’a sebagai kota pusat kesehatan tentara kaum muslimin.

Para sejarawan muslim memang masih dalam perdebatan terkait pemberian nama Kufah untuk kota ini. Sebuah pendapat mengatakan, nama ”Kufah” berasal dari kata Arab, at-takawwuf, yang berarti “pengumpulan.” Arti kata ”Kufah” merujuk pada pengumpulan atau penggabungan antara bangsa Arab dan non Arab di kawasan ini.

Pendapat lain mengatakan, kota ini juga disebut “Kufaani.” Arti kata ”Kufaani” merujuk pada kawasan yang dilingkari oleh padang pasir. Lahan di kawasan ini terdiri dari batu kerikil, tanah liat, dan pasir sehingga disebut ”Kufah.” Pendapat lain mengatakan, nama lain dari kota ini adalah ”Kufatul Jund”, yang secara bahasa berarti pengumpulan pasukan umat Islam. Meskipun banyak perbedaan pendapat dalam latarbelakang pemberian nama kota ini, namun perubahan nama dari Suristan dan Khuz al-Azra’a menjadi Kufah sejak masa penaklukan tentara kaum Muslimin pada abad ke-7 M.

Baca Juga  Siapakah Sekretaris Pertama HB Muhammadiyah?

Kota Kufah memegang peran yang cukup penting dalam catatan sejarah pemerintahan Khulafaur-Rasyidin. Terhitung sejak masa pemerintahan Umar bin al-Khattab, yaitu ketika Sa’ad bin Abi Waqqas berhasil memimpin penaklukkan Suristan dan Khuz al-Azra’a, umat Islam menjadikan kota ini sebagai pusat pemeriksaan kesehatan tentara kaum Muslimin.
Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, kota Kufah menjadi pusat pemerintahan umat Islam. Ali memindahkan pusat pemerintahan umat Islam dari Madinah ke Kufah seiring dengan perseteruan politik di antara klan Umayyah dan Abbasiyah.

Perseteruan Setelah Usman

Aliansi antara penguasa Kufah, Bashrah, dan Mesir berhasil mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, menggantikan Usman bin Affan yang terbunuh dalam insiden pembunuhan. Ali menjatuhkan pilihan pada kota Kufah sebagai pusat pemerintahan baru. Dengan membangun ibukota pemerintahan di antara para pendukungnya, keponakan Rasulullah saw ini berusaha mendamaikan dua kubu yang saling berseteru dalam umat Islam.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syiria, menuntut pertanggung jawaban atas pembunuhan khalifah Usman bin Affan. Mu’awiyah dan Usman bin Affan adalah dari klan Umayyah. Ikatan kekeluargaan antara dua tokoh inilah yang menjadi landasan politik untuk menuntut pertanggungjawaban tragedi pembunuhan kepada Ali bin Abi Thalib selaku penguasa pada waktu itu.

Selama mengendalikan kekuasaan di kota Kufah, kebijakan-kebijakan politik Ali bin Abi Thalib cenderung melengserkan dan membersihkan keturunan klan Umayyah dalam sistem pemerintahan. Menurut Ali, klan Umayyah dinilai sebagai sumber kerusuhan. Meski sempat ditegur oleh Mughirah ibn Syu’bah, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdullah ibn Umayah, tetapi Ali tetap bersikeras menjalankan kebijakan-kebijakannya yang cenderung merugikan klan Umayyah.

Menyikapi kebijakan Ali bin Abi Thalib yang tidak segera menghukum pelaku pembunuhan terhadap Usman bin Affan, ’Aisyah menyatakan perlawanan terhadap rezim. Janda Rasulullah saw ini bersama pengikut-pengikutnya menuju ke Makkah. Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah menyusul rombongan ’Aisyah ke Makkah. Mereka sudah tidak punya harapan lagi kepada khalifah. Kegagalan atas pengusutan pembunuhan Usman ibn Affan sudah jelas. Kelompok ini kemudian mempengaruhi beberapa kabilah Arab untuk melawan khalifah keempat.

Baca Juga  Ketika Ka’bah Berganti Kiswah di Bulan Muharram 1444 H

Fitnah Kubra

Perseteruan pihak Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah melahirkan perang yang dalam sejarah Islam dikenal dengan Perang Jamal. Meskipun jumlah tentara lebih banyak di pihak ‘Aisyah, namun strategi perang lebih dikuasai oleh pihak Ali. Pasca Perang Jamal, ’Aisyah menarik diri dari kuasa politik umat dan kembali ke Madinah al-Munawwarah.

Sebuah permasalahan telah teratasi bagi Ali bin Abi Thalib, namun masalah yang lebih besar lagi masih menghadang di depan mata. Konspiras politik dari pihak Mu’awiyah beserta antek-anteknya bukanlah masalah yang enteng. Terlebih lagi ketika sahabat Amru ibn Ash, seorang cendikiawan, politikus, dan orator ulung, bergabung bersama Mu’awiyah menentang kekuasaan Ali.

Puncak dari perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah meletus Perang Siffin. Peristiwa ini terjadi pada bulan Zulhijjah tahun 36 H atau 657 M. Masing-masing bertempur dengan 95.000 tentara di pihak Ali, sementara 85.000 tentara di pihak Mu’awiyah. Dari pertempuran ini menelan korban sebanyak 35.000 tentara di pihak Ali dan 45.000 tentara di pihak Mu’awiyah.

Menjelang bulan Shafar, khalifah Ali ibn Abi Thalib mengutus panglima Basyir bin Amr untuk menawarkan perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Akan tetapi, Mu’awiyah bersikeras menolak perundingan tersebut, bahkan menuntut bai’at umat Islam atas dirinya.
Pada saat perang berkecamuk, dari pihak Mu’awiyah, melalui perantara Amr ibn Ash, mengajak berdamai sambil menyerukan kata-kata, ”Marilah bertahkim kepada kitab Allah,” seraya menggantungkan al-mushaf pada ujung tombak.

Sebenarnya, perbuatan ini hanyalah sebuah manuver politik dari Amru ibn Ash untuk mengelabuhi umat Islam yang tengah bersengketa pada saat itu.

Kekalahan Ali

Manuver politik Amru bin Ash sangat jitu. Pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib mulai bimbang dan beberapa orang sempat berhenti berperang. Namun, Ali bisa membaca siasat licik dan busuk ini dengan tetap memerintahkan pasukannya untuk maju berperang. Tetapi, pengikut Ali yang kebanyakan Muslim taat tidak bisa menolak atas ajakan bertahkim tersebut. Terlebih lagi ketika melihat mushaf al-Qur’an yang diacung-acungkan di atas ujung tombak oleh Amr ibn Ash. Timbullah sebuah perpecahan dalam tubuh pengikut Ali, yakni antara yang melanjutkan perang dengan yang menyudahinya.

Karena mayoritas pengikut Ali bin Abi Thalib adalah Muslim taat, maka ia pun dengan sangat terpaksa menghentikan peperangan. Terjadilah tahkim (arbitrase) antara dua kubu. Dari pihak Mu’awiyah diwakili olah oleh Amr ibn Ash dan pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari.
Sewaktu pasukan Ali bin Abi Thalib pulang dari Siffin, terdapat kelompok yang yang tidak puas atas putusan tahkim. Mereka tidak menghendaki tahkim terjadi, karena menurut mereka, telah jelas mana yang salah dan mana yang benar.

Baca Juga  Dinasti Ottoman (6): Mehmed I, Antara Keluarga dan Kekuasaan

Secara politis, tahkim telah memojokkan posisi Ali beserta pengikut-pengikutnya. Ketika tawaran damai disetujui, secara tidak langsung Ali telah membiarkan orang-orang yang bersalah bergerak leluasa. Sama artinya bahwa Ali telah berkhianat. Kelompok ini kemudian membelot dan memisahkan diri dari jama’ah. Untuk selanjutnya, kelompok ini berbalik arah memusuhi Ali.

Mengenai perjanjian yang dibuat oleh dua kelompok ini, terdapat ketidakseimbangan yang sangat jelas. Perundingan tersebut bagi Mu’awiyah menjadi keuntungan besar, tetapi bagi Ali bin Abi Thalib justru menjadi bumerang yang menurunkan legitimasi kekuasaannya. Tahkim yang dibuat telah memojokan posisi Ali, sementara Mu’awiyah bersama kroni-kroninya dalam pihak yang sangat diuntungkan. Hasil dari tahkim itu dimenangkan oleh Mu’awiyah secara politis.

Perpecahan Pengikut Ali

Terjadi perecahan di antara pengukit setia Ali bin Abi Thalb. Untuk orang-orang yang fanatik atau pendukung setia Ali melahirkan bibit dari kelompok yang kemudian sering disebut dengan kelompok Syi’ah. Bagi yang tidak mengambil sikap atas permasalahan ini cenderung bersikap moderat. Mereka berpandangan bahwa persoalan saat itu cenderung menyalahkan satu pihak. Mereka menawarkan pandangan tentang ”irja”, yakni menangguhkan persoalan menunggu pengadilan Tuhan di akhirat nanti.

Bagi kelompok ini, mereka lebih menggantungkan persoalan kepada Allah swt yang diyakini akan mengadili nanti di akhirat. Kelompok ini kemudian menjadi bibit gerakan Murji’ah. Sementara orang-orang yang kecewa terhadap keputusan Ali lebih cenderung mengambil sikap memisahkan diri. Mereka kemudian menjadi bibit dari gerakan Khawarij.

Walaupun Kufah menjadi pilihan bagi Ali bin Abi Thalib sebagai pusat pemerintahan baru, tetapi kota ini tidak mampu menjamin keselamatan khalifah keempat ini. Ali meninggal dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, seseorang yang termasuk kecewa dengan kebijakan Ali pada saat itu. Ali wafat pada tanggal 12 Ramadhan tahun 40 H (661 M) dan dimakamkan di kota Kufah. (bersambung)

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *