Konon, Nabi SAW bersabda, barang siapa yang memegang teguh agamanya di akhir zaman, ia bagaikan menggenggam bara api. Jika boleh diterjemahkan secara lebih progresif dan kontekstual, maknanya kira-kira akan menjadi begini. Orang yang memegang teguh idealisme sama dengan menggenggam bara api.
Dalam sejarah, kita saksikan banyak aktivis dan pejuang dengan idealisme tinggi. Mereka selalu berhadapan dengan tembok-tembok besar yang mencoba membunuh idealismenya. Semakin teguh idealisme dipegang, semakin kokoh tembok itu berdiri. Ibarat pohon. Semakin tinggi pohon, semakin besar terpaan angin.
Salah satu aktivis yang terus memegang bara api hingga akhir hayat tersebut adalah Nawal El Saadawi. Perempuan Mesir yang mencoba meruntuhkan tembok raksasa bernama patriarki. Dalam perjalanannya, ia mendapatkan perlawanan dari berbagai kelompok, baik pemerintah hingga kelompok agama.
Di Indonesia, nama El Saadawi identik dengan novel Perempuan di Titik Nol. Perempuan di Titik Nol adalah salah satu novel karya El Saadawi yang paling laris di Indonesia. Novel tersebut berkisah tentang kisah nyata seorang perempuan bernama Firdaus. Firdaus adalah perempuan, yang oleh keadaan, dipaksa menjadi pelacur. Melalui kisah Firdaus, El Saadawi meneriakkan kemarahan terhadap kebusukan sistem patriarki yang dilanggengkan oleh banyak laki-laki.
Biografi Nawal El Saadawi
Nawal El Saadawi adalah aktivis feminisme dan sastrawan dari Mesir. Karena kiprah dan karyanya, ia disebut-sebut sebagai Simone de Beauvoir dari dunia Arab. Ia lahir pada 27 Oktober 1931 di Kafir Tahla, Mesir. Awalnya, ia berprofesi sebagai dokter dan psikiater. Ayahnya bekerja sebagai pejabat pemerintah dengan gaji kecil.
Ketika berusia 10 tahun, El Saadawi hampir dinikahkan. Namun, ia menolak. Ia juga mendapatkan dukungan dari ibunya untuk tidak menikah. Orang tuanya mendukung El Saadawi untuk terus belajar di sekolah.
Sejak saat itu, ia mulai menyadari bahwa perempuan tidak memiliki banyak pilihan dibandingkan dengan laki-laki. Ia mulai menyadari bahwa perempuan kurang dihargai. Saat kecil ia juga mengalami mutilasi alat kelamin perempuan atau sunat perempuan. El Saadawi merasakan sakitnya sunat ketika berusia enam tahun.
Sunat perempuan, menurut definisi WHO, adalah segala prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin wanita bagian luar. Sunat perempuan umumnya dilakukan karena alasan sosial dan budaya. Kelak, sunat perempuan menjadi salah satu sasaran kritik utama El Saadawi. Pemerintah Mesir kemudian baru melarang praktik tersebut pada tahun 2008.
Pada tahun 1955, El Saadawi lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Kairo. Setelah itu, ia bekerja sebagai dokter dan psikiater. Ia bahkan sempat menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Mesir. Sayangnya, ia diturunkan dari jabatan tersebut setelah menerbitkan buku Woman and Sex. Buku tersebut membahas tentang hak perempuan, penindasan seksual, dan sunat perempuan.
Ia juga mendirikan mendirikan Majalah Health. Sayang, majalah tersebut dibredel oleh pemetintah Anwar Sadat. Pada tahun 1982, El Saadawi mendirikan Asosiasi Solidaritas Perempuan Arab. Ia menjadi presiden dari organisasi tersebut. Sembilan tahun kemudian, Pemerintah Mesir membubarkan organisasi tersebut. Ketika diasingkan ke Amerika, ia bekerja sebagai profesor tamu di Duke University.
Karena berbagai tulisannya, El Saadawi dianggap melawan pemerintah. Hingga pada tahun 1891, ia dipenjara tiga bulan dengan tuduhan pembangkangan terhadap pemerintah. Pada tahun 2001, ia kembali dituduh menyebarkan ajaran sesat dan tidak menghormati agama oleh pengadilan Mesir.
Tak hanya dimusuhi oleh pemerintah, banyak masyarakat yang masih berpikiran patriarki marah terhadap El Saadawi. Ia juga dimusuhi oleh kelompok agama yang konservatif. Ia dianggap menghancurkan tatanan sosial dan budaya Mesir dan Arab secara umum.
Bahkan, ia pernah menerima ancaman pembunuhan dari kelompok agama. Buku-bukunya dilarang terbit di beberapa negara Arab. Puncaknya, ia diasingkan ke Amerika oleh Pemerintah Mesir.
Namun, bukan El Saadawi kalau menyerah begitu saja. Ia pegang bara api perjuangan dengan penuh keteguhan. Ia terus menulis dan melakukan advokasi. Bahkan, ketika berada di penjara, El Saadawi menulis di atas kertas toilet menggunakan pensil alis.
Perjuangan Nawal El Saadawi baru berakhir ketika ia tutup usia pada 21 Maret 2021 silam. Ia meninggal di usia 89 tahun.
Penghargaan
Nawal El Saadawi sangat vokal dalam melawan doktrin-doktrin agama yang konservatif dan patriarkis. Ia menolak ajaran agama apapun yang tidak adil terhadap perempuan dan mendukung kolonialisme.
Berkat kemajuan pemikiran dan keberaniannya, El Saadawi mendapatkan berbagai gelar kehormatan. Ia menjadi salah satu dari 100 Women of the Year versi Majalah Time tahun 2020. Selain itu, ia juga meraih penghargaan sastra oleh Asosiasi Persahabatan Prancis-Arab di Paris tahun 1982, Penulis Internasional Tahun Ini dari Cambridge tahun 2003, Pan African Writers Association di Ghana pada 2009, dan beberapa gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai kampus dunia.
Karya
Karya-karya novelnya antara lain Memoirs of a Woman Doctor, The Absent One, Two Women in One, Woman at Point Zero, dan Ganat and the Devil.
Adapun buku-buku non fiksi yang ia tulis antara lain Women and Sex, Woman is the Origin, Men and Sex, The Naked Face of Arab Women, A New Battle in Arab Women Liberation, Collection of Essays dan Breaking Down Barriers.
Baik novel maupun buku non fiksinya secara umum berbicara tentang perempuan dan budaya patriarki. Adapun buku-buku yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain Perempuan di Titik Nol, Perempuan dalam Budaya Patriarki, dan Matinya Seorang Mantan Menteri.