Review

Kekerasan di Balik Agama: Menilik Novel Perempuan di Titik Nol

2 Mins read

Novel Perempuan di Titik Nol yang terbit pada tahun 2004 merupakan novel ke delapan dari Nawal el- Saadawi yang seorang dokter. Novel yang ia tulis merupakan hasil dari wawancaranya dengan seorang perempuan dari balik penjara. Novel ini menceritakan gambaran kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat Mesir pada masanya yang mengembangkan patriarki.

Perspektif gender dan ketidakadilan gender menjadi masalah menarik yang diungkapkan pengarang melalui tokoh Firdaus. Novel Perempuan di Titik Nol adalah novel terjemahan dari novel berbahasa Inggris dengan judul  Women at Point Zero  yang diterjemahkan oleh Amir Sutarga. Adapun novel aslinya berbahasa Arab dengan judul al-mar’ah ‘inda Nuqthah as-Shifr.

Tradisi yang Menghegemoni di Novel Titik Nol

Dengan apik, Nawal berusaha menggambarkan bagaimana tradisi patriarki masih mendominasi masyarakat. Dominasi laki-laki terhadap perempuan tidak hanya sebatas tradisi, pendidikan, dan hukum. Tetapi tradisi patriarki sudah dilegetimasi oleh agama. Berikut adalah cuplikan bagaimana agama menjadi legetimasi dominasi terhadap perempuan. Bahkan, cuplikan ini juga menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga dilegetimasi oleh agama.

…  “Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya muka dan badan serta menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman. Tetapi paman mengatakan kepada saya, bahwa semua suami memukul isterinya. Isterinya menambahkan bahwa paman adalah  seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan dia karena itu tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab bahwa justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. (h. 64)

Patriarki dalam Kehidupan Sehari-hari

Adapun dalam cuplikan cerita lainnya menunjukkan tradisi patriarki yang sampai saat ini bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi suami atau kepala keluarga lebih dahulu menikmati makan daripada sang istri dan anggota keluarga lainnya.

Baca Juga  Filsafat Aristoteles: Rekomendasi Buku Filsafat untuk Pemula

Ayah tak akan pergi tidur tanpa makan malam lebih dulu, apa pun yang terjadi. Kadang-kadang apabila tak ada makanan di rumah, kami semua akan pergi tidur dengan perut kosong. Tetapi dia selalu memperoleh makanan. Ibu akan menyembunyikan makanannya dari kami di dasar sebuah lubang tungku. Ia makan sendirian sedangkan kami mengamatinya saja. (h.26).

Begitu juga dengan ranah pendidikan yang seharusnya bisa diakses oleh semua kalangan baik laki-laki maupun perempuan, dikatakan bahwa universitas yang dihuni laki-laki saja.

… El Azhar adalah suatu dunia yang mengagumkan dan hanya dihuni oleh orang laki-laki saja, dan paman merupakan salah seorang dari mereka, dan dia adalah seorang laki-laki. (h.30)

Adapun dalam bidang pekerjaan, novel Perempuan di Titik Nol menunjukkan bahwa pekerjaan perempuan sebenarnya lebih berat daripada laki-laki yang kesemua itu adalah bagian dari hegemoni laki-laki terhadap perempuan.

***

Di atas kepala, saya menjunjung sebuah kendi tembikar yang berat penuh berisi air. Karena beratnya, kadang-kadang leher saya tersentak ke belakang, kekiri atau ke kanan. Saya harus mengerahkan tenaga saya untuk tetap menjaga keseimbangan di atas kepala saya, dan menjaga agar jangan jatuh.

Saya gerakkan kaki dengan cara yang diajarkan Ibu kepada saya, sedemikian rupa sehingga leher saya tetap tegak. Saya masih muda ketika itu… (h. 18)…ketika saya bertambah besar sedikit, Ayah meletakkan mangkuk itu di tangan saya dan mengajari bagaimana cara membasuh kakinya dengan air. Sekarang saya telah menggantikan ibu dan melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan ibu. (h. 25)

Novel ini bisa menjadi salah satu data kondisi masyarakat Mesir pada masanya bahwa ada banyak ketidakadilan yang dialami perempuan. Bahkan, agama selalu menjadi tameng kekerasan terhadap perempuan baik istri maupun anak perempuan. Sehingga bisa dikatakan bahwa dengan membaca novel ini, nurani kita seakan bergolak bahwa agama Islam pada hakikinya adalah agama yang santun. Agama yang membela hak-hak perempuan dan agama yang memandang manusia sama dari jenis perempuan dan laki-laki. Wallahua’lam.

Editor: Wulan

Avatar
3 posts

About author
Penulis adalah dosen UIN Sunan Ampel
Articles
Related posts
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…
Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read
Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *