Perspektif

Negara Murung, Ekonomi Buntung? Jangan Lupa Tetap Bahagia!

3 Mins read

Bahagia

Apakah anda mengetahui lirik dari lagu ini?

“Bersama kamu.. Ku jadi tahu, artinya waktu lebih berharga dari harta di dunia”

“Karena cinta dari kamu, Jadikan aku… Wanita terbahagia di dunia”

Ya, benar. Terinspirasi dari album yang dibawakan oleh Bunga Citra Lestari, penyanyi wanita asli dari Indonesia. Seakan-akan ketika anda sedang mendengarkan lagu ini, anda adalah putri dari segala putri di dunia ini. Wah, liriknya syahdu, bukan? Apakah lagu ini akan dinyanyikan oleh sang pujaan hati setiap hari? Atau dinyanyikan oleh pujaan hati saat hari pernikahan? So pasti sweet sekali.

Berbicara tentang kebahagiaan, siapa sih yang tidak ingin menjadi wanita terbahagia apalagi kelas dunia loh. Eist.. tapi tunggu, yang menjadi pertanyaan adalah, menjadi bahagia versi wanita yang bagaimana? Apakah wanita yang diberi baju berlebel jutaan rupiah? Apakah wanita yang diberi koleksi berbagai jenis make up dengan lengkap?

Apakah wanita yang selalu dipenuhi hasrat biologisnya? Atau wanita yang selalu dipuji kecantikannya setiap hari? Apalagi menemukan kebahagiakan di tengah-tengan pandemik seperti ini? Ayo temukan versi anda masing-masing.

Sebelum merambah ke pembahasan lebih dalam, wajib diketahui bahwa akan bias dikatakan “bahagia” jika tidak adanya parameter dalam mengukur kebahagiaan. Apa yang perlu diketahui adalah hal mendasar mengapa orang menjadi dan harus bahagia.

Aturan Kebahagiaan/The Role of Happiness

Saya jadi teringat dengan film barat berjudul “The Persuit of Happiness” film diangkat dari kisah nyata seorang pengusaha sukses menceritakan perjuangan hidupnya di tengah-tengah kota New York. Film ini tergolong dalam inspirational story yang dikemas baik oleh produser menjadi sesuatu hal yang menarik bagi penggemar film barat.

Baca Juga  Perda Syariah: Problematis dan Diskriminatif

Dalam banyak jurnal, penulis menggambarkan kebahagiaan dengan cara mengukur kemajuan. Kemajuan membuat hidup mudah di waktu luang, kebebasan, dan lebih sedikit konflik. Materialistis dan pengalaman adalah dasar untuk mengejar kebahagiaan (ECKERSLEY, 2000). Dan pengejaran materialistis dari kebahagiaan mereka, menunjukkan hambatan untuk menjadi kehidupan yang baik (Boven, 2005).

Tetapi di sisi lain, materialistis ditutup dengan gangguan psikologis. Para peneliti memberi tahu bagaimana membedakan antara pengalaman yang terkait dengan materialisme. Menemukan sifat kebahagiaan yang berkaitan dengan kesehatan, kekayaan, dan hubungan sosial (Leyden, Goldberg, & Miche, 2011).

Bahagia Versi Wanita

Namun, apakah hal itu berlaku untuk wanita? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Dipetik dari kisah-kisah wanita yang sangat sholehah. Beliau-beliau memiliki kebahagiaan tersendri. Parameter kebahagiaan mereka hanya ingin dapat pengakuan dihadapan Rabb-Nya.  Seperti bunda Mariam yang bahagia dengan memiliki putra Isa AS; Asyiah istri dari Fir’aun bahagia dengan didatangkannya bayi Musa AS; Nusaibah binti Ka’ab bahagia dengan pedangnya membela Rasululloh S.A.W dalam perang uhud; Rabi’ah Al- ‘Adawiyyah berbahagia dengan cara membebaskan diri dari budak di negeri Iraq; hingga Aisyah R.A yang dikenal sebagai wanita yang paling bahagia karena salah satu wanita kecintaan Rasululloh S.A.W.

Wanita-wanita yang telah saya sebutkan itu, merupakan penggambaran atas kebahagian versi mereka, tidak ada yang menggantungkan kebahagiaan dari sisi harta benda. Di dalam kisah nabi, penggambaran sosok suami yang sempurna adalah Rasulullah Muhammad S.A.W. Perilaku Rasulullah kepada istri-istrinya begitu romantis. Hal yang dilakukan Rasululloh salah satunya adalah tidak pernah memarahi istri dan selalu menghapus air mata istri bila bersedih. Hal itu sangat terlihat sepele, namun sesungguhnya sikap seperti itu yang dibutuhkan oleh kaum hawa.

Baca Juga  Konsep Keseimbangan Manusia dan Alam

Cara-Cara Melampiaskan Kebahagiaan

Terlihat dengan situasi saat ini, semua elemen menampakkan wajah pucatnya. Mulai dari kesehatan, pemerintahan, ekonomi, sosial, bahkan hukum menjadi tidak beraturan. Wajar jika kesehatan dan mental orang-orang mulai turun alias break down. Wajar jika kebijakan-kebijakan pemerintah mengalami ketimpangan sebelah. Wajar jika kurs melemah.

Wajar jika ada pembatas komunikasi antar sesama umat, suku, bangsa serta negara. Hal ini tidak biasa dialami oleh bangsa Indonesia. Berbeda dengan bangsa barat, menurut Corvo pada jurnalnya yang dirilis tahun 2010, problem terbesar yang ada di dunia barat adalah kesulitan dalam hubungan dan krisis dari subjek komunikasi.

Artinya, masyarakat di sana terbiasa dengan pembatas atau jarak secara sosial (social distancing) hubungan dari orang per orang sangat mereka batasi apalagi dalam hal komunikasi. Mereka melakukan komunikasi dengan orang lain hanya dalam pembahasan yang penting dan tidak memakan banyak diksi (basa-basi).

Namun, berbeda dengan physical distancing ya! Bersinggungan dengan kondisi saat ini. Tertulis dalam berita kompas.com, baru-baru ini WHO sengaja merubah istilah social distancing menjadi physical distancing. Hal ini hanya berlaku dalam penanganan kasus COVID-19 saja dan tidak diterapkan dalam perilaku sosial sehari-hari. Tujuan dari perubahan nama social menjadi physical adalah agar orang-orang dapat tetap terhubung dengan orang-orang yang dicintai dan keluarganya. Sehingga tidak berarti bahwa secara social, orang-orang tidak memutus hubungan komunikasi mereka.

Dengan diterapkannya physical distancing, akankah kita masih menemukan kebahagiaan? Apalagi berkaitan dengan wanita yang dikenal sebagai “moodiest people in the world”. Jawabannya kembali kepada pribadi masing-masing. Tentu tidak, penulis menyarankan seyogyanya kebahagiaan itu dibentuk. Dengan tidak memutus komunikasi secara social, anda masih dapat terhubung dengan orang-orang terdekat Anda dan orang-orang yang anda cintai.

Baca Juga  Mengapa Konflik Sesama Kelompok Muslim Masih Terjadi?
***

Buatlah suasana yang menyenangkan, seperti: membuat mini diskusi di dalam rumah, melakukan roasting bersama teman-teman di media sosial atau berbincang kecil melalui aplikasi-aplikasi video call. Seperti yang diungkapkan oleh Eckersyley bahwa ketika anda melakukan kegiatan atas dasar kebebasan dan memiliki banyak waktu luang, sebenarnya anda sedang berada di situasi yang membahagiakan, namun belum tentu anda ikut bahagia.

Maka dari itu, material seperti baju mahal, make up tebal, paras cantik, bukan satu-satunya tolak ukur kebahagiaan apalagi di situasi yang seperti ini. Namun, pengalaman dari komunikasi yang baik, kebebasan berekspresi, sikap menerima (saling mengerti dan memaafkan), serta sedikitnya konflik yang dibuat dalam lingkaran society Anda, adalah jalan menuju kebahagian. Jika menurut teori barat, kebahagiaan adalah kebebasan. Maka dalam teori Islam, kebahagiaan adalah bersyukur.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds