Perspektif

Negara Tidak Boleh Bermazhab: Menolak Rezimitasi Agama

3 Mins read

Organisasi Islam modernis terbesar di dunia, Muhammadiyah, akan segera melakukan perhelatan akbar (baca: Muktamar) di Surakarta pada tanggal 18 sampai dengan 20 November mendatang. Seperti tradisi-tradisi sebelumnya, Muktamar bukan hanya menjadi momentum pergantian pimpinan, melainkan juga menjadi agenda mmbahas beberapa isu strategis perihal kebangsaan dan keummatan. Salah satu isu keummatan menarik yang diangkat oleh Muhammadiyah adalah rezimitasi agama atau standarisasi pemahaman keagamaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Tentu ada beberapa alasan mengapa Muhammadiyah mengangkat isu ini. Salah satu alasan yang mungkin penulis tangkap ialah bahwa Indonesia hari ini punya kecenderungan ke arah sana. Negara punya semacam keinginan untuk memformulakan dan menentukan paham keagamaan seperti apa yang resmi dan “baik” menurut negara. Ini tentu berbahaya. Apabila jika paham keagamaan yang dimaksud hanya mengakomodir kepentingan golongan tertentu. Gejala semacam ini mengingatkan kita pada kisah-kisah persekongkolan antara agama dan negara di masa Islam silam yang pada akhirnya melahirkan beberapa masalah.

Ketika Negara Bermazhab

Fenomena negara bermazhab bukanlah hal yang baru jika menengok lembaran-lembaran sejarah Islam di masa lalu. Pada zaman Dinasti Abbasiyah misalnya. Kita bisa melihat bagaimana ketika negara menjadikan Muktazilah sebagai mazhab resmi negara. Muktazilah menjadi standarisasi pemahaman keagamaan pemerintah saat itu, khususnya Harun Al-Rasyid dan al-Makmun. Keduanya adalah pemimpin Islam yang penuh kagum pada Muktazilah. Ada banyak alasan yang mendorong ketertarikan itu. Di antaranya ialah Muktazilah dianggap menganut paham keislaman yang rasional dan maju. Kemudian pada zaman Muktazilah berkuasa juga terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat. Proyek penerjemahan terhadap kitab-kitab filsafat Yunani Kuno yang ditulis Socrates, Plato dan Aristoteles dilakukan secara besar-besaran di zaman ini.

Baca Juga  Biografi Imam Syafi’i: Mufti Besar Sunni, Pendiri Madzhab Syafi'i

Akan tetapi di luar segala kebesaran dan prestasi tersebut, Muktazilah mempunyai sisi kelam. Yakni ketika ia menjadi standarisasi paham keagamaan yang benar menurut negara. Saat itu terjadi perdebatan yang alot antara ulama Muktazilah dan non-Muktazilah mengenai status Al-Quran. Ulama Muktazilah berpendapat bahwa Al-Quran adalah mahluk, sedangkan ulama Ahlus Sunnah berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa kalam Allah dalam Al-Quran bersifat qadim. Salah satu di antara ulama Ahlus Sunnah yang menolak pandangan Muktazilah terkait kemahlukan Al-Quran ialah Imam Ahmad bin Hanbal.

Perdebatan di antara keduanya berakhir tragis dan melahirkan tragedi besar yang terus lekang dalam ingatan umat Islam, yakni tragedi mihnah. Tragedi itu memakan korban yang salah satunya ialah Ahmad bin Hanbal. Ia disiksa dan dipersekusi negara karena ketidaksetujuannya terhadap argumen Muktazilah. Bahkan yang lebih parahnya tragedi ini tidak hanya menimpa Ahmad bin Hanbal, tetapi juga ulama-ulama lain yang tidak setuju dengan pandangan keagamaan yang diusung negara saat itu. Peristiwa ini adalah “warning” bagi negara untuk tidak sekali-kali bermazhab. Karena, meminjam bahasa Ahmed T. Kuru, persekongkolan antara negara dan agama hanya akan melahirkan otoritarianimse atau sikap yang sewenang-wenang. Negara hanya akan meneror mereka yang berbeda pendapat dengan pandangan negara.

***

Kekerasan yang dilakukan oleh Dinasti Abbasiyah terus berlanjut. Pihak yang menjadi korban saat itu berganti menjadi  ulama-ulama Muktazilah, yakni ketika kekuasaan berbalik 180 derajat. Pemimpin-pemimpin Sunni mengambil alih negara. Pemerintah melalui khalifahnya Al-Mutawakkil mengumumkan akidah sunni sebagai akidah resmi negara. Sebagai konsekuensinya, paham-paham keagamaan di luar sunni seperti Muktazilah, Syiah, filsuf diberangus. Mereka disebut perusak agama, murtad dan akan menghadapi ancaman hukum mati.

Baca Juga  Melihat Fikih Lewat Kaca Mata Lingkungan Hidup

Peristiwa-peristiwa itu merupakan contoh betapa berbahaya dan mengerikannya persekutuan agama dan negara. Suasana menjadi otoriter dan jauh dari karakter demokratis. Kebebasan berpendapat dan berpikir dibungkam. Pemikiran-pemikiran baru dihadang dan dijegal. Akhirnya umat Islam jatuh dalam tertinggalan dan keterbelakangan di saat peradaban-peradaban lain maju.  

Rezimitasi Agama Kontemporer   

Satu hal yang harus didasari, Indonesia adalah negara dengan sistem demokrasi. Karena setiap kelompok keagamaan, budaya, gender dan etnis diperlakukan secara setara. Tidak boleh ada pengistimewaan terhadap satu kelompok tertentu, lebih-lebih kelompok agama. Karena itu bertentangan dengan asas demokrasi.

Indonesia bukanlah Saudi Arabia ataupun Iran. Saudi Arabia resmi bermazhabkan Wahabi dan Iran bermazhabkan Syiah. Khusus dari Saudi Arabia kita bisa belajar betapa berhayanya menjadikan negara bermazhab. Wahabi yang menjadi standar kebenaran negara menjadikan pemahaman keagamaan di luar itu dilarang berkembang di Saudi Arabia. Bahkan dalam kadar tertentu, beberapa kali terhadap persekusi terhadap ulama yang berbeda pandangan seperti yang pernah dialami ulama Hijaz Syaikh Abdullah Zamawi, guru dari ulama mazhab Syafii.

Selain melakukan kekerasan dan persekusi, Wahabi juga kerap bersikap anti kemajuan. Penemuan-penemuan sains ditentang dengan alasan merusak dan mendangkalkan akidah umat Islam. Beberapa penemuan-penemuan di zaman modern dilarang dengan alasan bahwa itu tidak ada di zaman Nabi. Sehingga pada masa ini Saudi terkesan amat kaku dan jatuh pada ketertinggalan sebagaimana yang dialami peradaban-peradaban Islam sebelumnya. Beruntung pada saat ini, ketika Saudi Arabia dipimpin putera Mahkota Muhammad bin Salman, pemerintah berani meninggalkan Wahabi dan mulai menuju negara yang demokratis dan menghargai kemajuan. Karena itu cukup mengherankan jika Saudi Arabia bergerak maju ke depan, kita malah bergerak mundur ke belakang dengan menginginkan adanya rezimitasi agama.

Baca Juga  Mencari Pendapat Mu’tamad: dari Mazhab Menuju Ijtihad Jama'i
***

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, dalam suatu kesempatan telah mengingatkan negara tentang ini. Ia menghimbau kepada pemerintah agar tidak menjadikan negara bermazhab. Karena itu amat mengganggu dan bertentangan dengan alam demokrasi yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita. Imbauan ini disampaikan Haedar Nashir bertepatan dengan kegeramannya dengan adanya kecenderungan negara ke arah itu. Pasalnya itu saat itu ada tokoh agama yang mengatakan bahwa mesjid-mesjid negara seperti mesjid BUMN dan kementerian harus dipegang oleh satu kelompok agama tertentu. Karena di luar itu dianggap salah dan bisa menyesatkan.

Ini amat berbahaya. Indonesia tidak boleh memiliki standar pemahaman keagamaan yang resmi menurut negara. Sebab ia hanya akan menekan kreatifitas dan perbedaan pandangan yang sejatinya direstui oleh Islam.

Avatar
18 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds