Inspiring

Imam Asy-Syafi’i: Tokoh Pendiri Mazhab Syafi’i

3 Mins read

Imam Syafi’i terlahir dengan nama lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’. Dari nama kakeknya ini, ia kemudian dikenal dengan nama asy-Syafi’i. Imam Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 H, tepat pada saat meninggalnya Imam Abu Hanifah. Ayahnya keturunan Quraisy Bani Muthalib.

Biografi Imam Syafi’i

Imam Syafi’i hidup dalam keadaan yatim dan miskin. Ia diajak ibunya ke Mekkah sebanyak dua kali, yakni ketika berumur dua tahun dan saat berumur sepuluh tahun. Imam Syafi’i berjumpa nasab dengan Nabi Muhammad Saw pada Abd al-Manaf. Pada masa kecilnya, Imam Syafi’i bersemangat dalam menghafal al-Qur’an dan hadis Nabi.

Selama kurang lebih empat tahun, ia hidup di pedesaan bersama kabilah Hudhail. Untuk belajar Bahasa Arab fasih, syair, dan budaya mereka. Tidak heran, jika Imam Syafi’i pada kemudian hari sangat fasih lisannya dan memiliki perbendaharaan syair Arab yang luar biasa banyaknya.

Di Mekkah, Imam asy-Syafi’i belajar kepada para pakar fikih/hukum Islam dan pakar hadis terkemuka. Di antaranya adalah Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid az-Zanji. Setelah dari Mekkah, Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik di Madinah pada usia 20 tahun.

Sebenarnya saat itu, gurunya, Muslim bin Khalid sudah memberikan lisensi kepadanya untuk berfatwa. Namun Imam Syafi’i bertekad untuk memperluas wawasan keilmuannya. Muslim bin Khalid berkata kepadanya, “Segenap pengetahuanku telah engkau pahami dengan baik, dan kini engkau telah dapat berfatwa di sini.”

Sebelum menghadap Imam Malik, Imam Syafi’i sudah hafal al-Muwatha’ di luar kepala. Ia belajar di Madinah selama sembilan tahun sampai Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Dengan diantar Walikota Madinah atas rekomendasi Walikota Mekkah, Imam Syafi’i menemui Imam Malik dan kemudian diterima secara hormat.

Baca Juga  Asal Usul Ahlussunnah Wal Jama'ah

Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sambil membantunya mengajar, karena penguasaannya terhadap al-Muwatha’ sudah cukup baik. Setelah Imam Malik meninggal dunia, Imam Syafi’i pulang ke Yaman, kampung halaman ibunya, dengan maksud bekerja. Ia kemudian menerima tawaran menjadi hakim di Najran.

Imam Syafi’i dan Keteguhannya

Imam asy-Syafi’i melakukan tugasnya, yakni menegakkan keadilan. Namun, banyak orang tidak suka dengan sikap ini. Hingga bujuk rayu sering diterima Imam Syafi’i agar mengurangi komitmennya pada keadilan demi kepentingan mereka. Namun, Imam Syafi’i tetap teguh pendirian dan tidak bergeming.

Saat itu, Gubernur Najran ialah orang yang dianggap zalim. Imam asy-Syafi’i menegakkan hukum kepadanya sesuai ketentuan yang ada. Hingga akhirnya, penguasa tersebut membuat rekayasa untuk mencelakakan Imam Syafi’i, agar dicopot dari jabatannya.

Kemudian penguasa tersebut menulis kepada Khalifah Harun al-Rasyid. Bahwa saat itu sedang ada gerakan bawah tanah dari sembilan tokoh ‘Alawiyyin untuk menentang pemerintah pusat. Salah satu tokoh itu saat ini berada di Najran (maksudnya Imam Syafi’i).

Hingga akhirnya, Imam Syafi’i ditimpa fitnah lantaran dituduh melakukan persekongkolan untuk melawan pemerintahan. Apalagi Imam Syafi’i tidak bisa menutupi kecintaannya kepada Ali bin Abi Thalib. Namun, tidak sampai fanatik buta (tasyayyu’).

Imam Syafi’i pun dituduh sebagai rafidhi (orang yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar), namun ia menyanggah tuduhan ini. Atas dasar itu, Imam Syafi’i diborgol dan dibawa ke Baghdad pada tahun 184 H ketika berumur 34 tahun.

Perjalanan Mengkaji Islam, dari Baghdad Hingga Mekkah

Ia hadapkan pada Khalifah Harun al-Rasyid yang saat itu ditemani Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. Al-Syaibani adalah hakim di Baghdad, Imam asy-Syafi’i dan al-Syaibani pernah hidup bersama sebagai murid Imam Malik di Madinah.

Baca Juga  Muhammad Hashim Kamali, Pakar Hukum Islam Pembaru Ushul Fikih

Kesaksian al-Syaibani terhadap Imam Syafi’i akhirnya bisa meyakinkan Khalifah Harun al-Rasyid untuk membebaskan Imam Syafi’i dari segala tuduhan. Hingga kemudian Imam Syafi’i benar-benar dibebaskan.

Saat tinggal di rumah al-Syaibani, Imam Syafi’i mengkaji semua kitab al-Syaiban yang membahas fikih Irak. Imam Syafi’i juga meriwayatkan dari al-Syaibani dan menulis apa yang dinukilnya, sehingga ia berkata,

“Saya membawa tulisan yang berasal dari Imam Muhammad bin al-Hasan sebanyak beban onta yang semuanya merupakan hasil belajar saya darinya.”

Imam Syafi’i mengambil dari al-Syaibani tidak hanya fikih rasionalis. Tetapi ia juga mengambil riwayat-riwayat yang masyhur di kalangan ulama Irak, namun tidak masyhur di kalangan ulama Hijaz.

Selama tinggal di Baghdad, di rumah al-Syaibani, Imam Syafi’i sering bertukar pikiran dan berdebat dengan para pakar fikih Irak. Mereka menganggap Imam Syafi’i sebagai representasi dari murid Imam Malik.

Dengan cara ini, dalam diri Imam Syafi’i kemudian terintegrasi dua aliran pemikiran hukum Islam, yakni fikih Hijaz dan fikih Irak. Ia mampu mengadakan perbandingan yang objektif, sebab ia merupakan bagian dari keduanya, bukan condong salah satunya darinya. Ia murid Imam Malik dan juga murid Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani.

Imam Syafi’i sangat menghormati keduanya, hingga ia menawarkan paduan dua aliran tersebut kepada para ulama pada zamannya. Menurut para sejarawan, Imam Syafi’i tinggal di Baghdad selama kurang lebih dua tahun.

Setelah merasa cukup dengan fikih Irak, Imam Syafi’i pulang ke rumahnya di Mekkah, tempat ibunya tinggal. Ia tinggal di Mekkah selama kurang lebih sembilan tahun. Di Bait al-Haram, Imam Syafi’i memberikan kajian Islam dan melakukan perenungan atas hasil pengembaraan ilmiahnya.

Di kota suci ini pula, Imam Syafi’i bertemu dengan ulama dari seluruh penjuru dunia dan bertukar pikiran secara mendalam.

Baca Juga  Asal Usul Hukum Islam Awal Menurut Yasin Dutton

Rahasia Sukses Belajar ala Imam Syafi’i

Menurut Imam asy-Syafi’i, rahasia sukses belajar di antaranya adalah dengan meninggalkan kemaksiatan. Ilmu yang dipelajari akan menjadi petunjuk pada kebenaran, bukan mengarahkan pada kesesatan. Ketika meninggalkan kemaksiatan telah diabaikan, maka lembaga pendidikan akan melahirkan para pendurhaka yang jenius.

Ilmunya tidak lagi menjadi cahaya yang menerangi jalan, melainkan menjadi kegelapan bagi segalanya. Dengan kegelapan, maka kebenaran akan sulit untuk ditemukan.

Editor: Zahra

Avatar
5 posts

About author
Mahasiswa S2 Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *