Perspektif

Negeri 5 Menara: Novel Terbaik tentang Pesantren

4 Mins read

Siapa yang tidak kenal dengan Negeri 5 Menara? Novel tentang pesantren yang isinya ‘daging’ semua. Bagi yang belum baca, ayo baca sekarang! Selagi banyak waktu kosongnya, elok kirnya jika diisi membaca novel ini. Sebenarnya buku ini sudah lama terbit, yaitu di tahun 2009 dan sudah pernah diangkat ke layar lebar pada tahun 2012.

Karena kerinduan saya terhadap pesantren lama saya, maka saya membaca kembali novel itu yang ke-5 kalinya. Entah mengapa novel itu menjadi salah satu obat kerinduan saya apabila saya merindukan pesantren. Mungkin dapat dibilang bahwa novel Negeri 5 Menara adalah novel tentang pesantren terbaik yang pernah saya baca.

Novel Negeri 5 Menara

Pertama kali saya membaca novel ini yaitu saat kelas 10. Saat itu saya sedang hobi-hobinya membaca. Juga saat itu saya sedang melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren. Saya pun penasaran, apakah ada novel yang mengusung cerita tentang pesantren?

Lalu, kalaupun ada, bagaimana sebenarnya novel tentang pesantren itu? Apakah ceritanya mirip atau hanya temanya saja yang mengusung tentang pesantren? Akhirnya, teman saya merekomendasikan novel Negeri 5 Menara ini. Dan semua pertanyaan tadi terjawab sudah setelah saya membaca bukunya. Ternyata buku ini menjawab semua dugaan-dugaan saya, bahkan melebihi apa yang saya bayangkan.

Ahmad Fuadi, sang penulis buku cakap sekali dalam memilih bahasa dan merangkainya. Tak dipungkiri, bahwa ada beberapa kata yang sulit saya pahami dalam buku ini. Tapi saking bagusnya buku ini, akhirnya menutupi kekurangan-kekurangan itu semua.

Ternyata, setelah saya menonton live di Instagram penulisnya beberapa waktu lalu. Ia mengungkapkan bahwa ia banyak sekali membaca buku tentang teknis menulis novel. Salah satunya adalah buku Writing a Novel karangan Nigel Watts.

Di instagramnya, Ahmad Fuadi juga mengatakan bahwa selain membaca buku tentang teknis menulis novel, ia juga membaca buku novel yang di dalamnya memiliki spirit yang sama dengan novel yang ia tulis. Di antara buku yang ia baca adalah Laskar Pelangi, Bumi Manusia, dan sebagainya.

Baca Juga  Pendidikan Kolonial: Dulu dan Sekarang

Hanya ‘Negeri 5 Menara’

Sebenarnya, ada beberapa novel atau buku yang mengulas kisah di pesantren yang pernah saya baca. Namun, di antara semua buku itu, saya lebih suka pada novel Negeri 5 Menara. Alasannya karena sang penulis detail sekali dalam menceritakan kehidupan di pesantren.

Di saat banyak para penulis buku tentang pesantren memberi judul dengan ada unsur nama pesantrennya, sehingga menarik pembaca dari kalangan santri. Tapi tidak dengan Ahmad Fuadi, ia tidak memberi judul dengan unsur pesantren sedikitpun. Ahmad Fuadi hanya memberinya judul ‘Negeri 5 Menara’.

Dengan judul seperti ini, saya dulu menduga bahwa ini novel tentang seseorang yang menceritakan perjalanan hidupnya hingga dapat mengunjungi 5 menara yang ada di sampul buku tersebut. Saya awalnya tak menduga bahwa isinya ternyata tentang pesantren.

Awalnya saya menduga bahwa menara-menara di berada dalam sampul buku tersebut, selain Monas pasti di luar negeri semua. Ternyata saya salah, jika melihat detail sampul bukunya, salah satu menaranya adalah menara sebuah pondok pesantren modern di daerah Ponorogo, Jawa Timur.

Jadi mungkin saja, dengan judul seperti itu dan gambar menara-menara di sampul bukunya akan membuat orang-orang penasaran, di mana saja sih menara-menara itu berada. Dan faktanya, memang umumnya ini membuat orang-orang termasuk saya menjadi penasaran.

Penuh Motivasi dan Kisah Inspiratif

Di awal saya telah menyebut bahwa isi novelnya ‘daging’ semua. Isi novel ini sarat akan motivasi dan kisah inspiratif. Lagi-lagi, yang masih saya kagumi adalah penceritaannya tentang pesantren yang sangat detail sekali, hampir tak ada yang terlewatkan.

Ahmad Fuadi piawai sekali dalam mengolah kata dan merangkainya. Kemudian ia deskripsikan detail pesantrennya. Sehingga saya bisa langsung membayangkan bagaimana seluk beluk bentuk pesantrennya.

Baca Juga  Benarkah Kesetaraan Gender Bukan Solusi?

Novel tersebut menceritakan Alif, seorang pemuda Minang yang melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Saya belum pernah mengunjungi pesantren tersebut, tapi dengan pengolahan kata yang apik sekali, saya jadi dapat membayangkan bagaimana bentuk pesantrennya dari sudut demi sudutnya.

Saat kelas 11, saya bersama teman-teman seangkatan diberi kesempatan study tour dengan mengunjungi pesantren Gontor. Di pesantren kami, hampir setiap tahun saat kelas 11 semester 2 pasti melaksanakan study tour ke pesantren tersebut.

Saya tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya datangi tempat-tempat yang pernah disinggung dalam novel tersebut. Terutama masjid, menara dan aulanya. Sedihnya, saat saya study tour kesana, menara yang menjadi ikon pesantren Gontor sedang dilakukan renovasi. Sehingga saya tidak sempat berfoto di menara tersebut.

Dikarenakan Ahmad Fuadi mendeskripsikan pesantren saat pada masanya, sekitar tahun 90-an. Jadi ada beberapa gedung yang sudah direnovasi, sehingga cukup berbeda dengan apa yang ditulis dalam buku. Itu merupakan hal lumrah, mengingat sudah lebih dari 10 tahun ia lulus dari pesantren tersebut.

Tak Jauh Beda dengan Pesantren Asli

Yang paling saya soroti dalam novel ini adalah kegiatan yang ia jelaskan di sana. Ia menuliskan bahwa saat tinggal di sana, semua santri diwajibkan menggunakan Bahasa Arab atau Inggris. Saya pun mencoba mengobrol dengan santri menggunakan Bahasa Indonesia guna mengetes apakah boleh berbicara bahasa Indonesia atau tidak.

Memang sebagian besar santri menjawab, tapi dengan menengok kanan-kiri apakah ada yang melihat ia menggunakan Bahasa Indonesia atau tidak. Karena jika ketahuan pegurus atau jasus menggunakan bahasa selain Arab dan Inggris, mereka akan dikenakan ‘iqob.

Saat itu, hanya pengurus semacam OSIS lah yang bebas leluasa menggunakan Bahasa Indonesia. Karena tugas mereka saat itu ialah menemani kami selama di sana dan berdiskusi dengan kami perihal kegiatan di pesantren.

Baca Juga  Santri Masuk Juni Hiraukan Pandemi, Bisakah?

Intinya, apa yang Ahmad Fuadi tulis di novelnya memiliki tingkat akurasi kebenarannya sekitar 90%, alias benar-benar detail sekali. Diceritakan pula di novel itu bahwa hal yang paling sulit itu meminta izin keluar ke bagian pengasuhan. Dan memang, itu tidak jauh berbeda dengan pesantren kami. Bedanya, pesantren kami masih sedikit melonggarkan perizinan itu apabila benar-benar penting atau ditemani wali.

Sebenarnya, pesantren saya dahulu merupakan pesantren tahfiz. Tapi kegiatan di dalamnya hampir tidak jauh berbeda dengan pesantren Gontor. Sehingga apabila saya membaca novel negeri 5 menara, hal itu sedikit mengobati kerinduan saya terhadap pesantren saya. Dari novel ini juga, saya termotivasi untuk mempelajari Bahasa Arab dan Inggris sampai benar-benar bisa.

***

Perlu diketahui, bahwa novel Negeri 5 Menara merupakan buku pertama dari trilogi yang ia tulis. Buku keduanya ialah Ranah 3 Warna, dan buku ketiganya ialah Rantau 1 Muara. Menariknya lagi, novel ini sudah ada cetakan internasionalnya. Jadi, jika kalian memesan buku ini lewat amazon, maka yang datang adalah edisi buku ini yang dicetak di Amerika sana.

Bagi kalian yang belum membaca bukunya, terutama kalian yang baru lulus pesantren harus sekali membacanya. Setidaknya, buku ini akan mengobati kerinduan kalian pada pesantren. Selamat membaca!

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

5 posts

About author
Mahasiswa Ushuludin di UIN Jakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds