Mencuatnya wabah Covid-19 di Cina sejak Januari yang lalu telah meruntuhkan tatanan sosial, budaya lebih-lebih ekonomi. Pandemi yang tidak nampak wujudnya ini memberikan dampak yang luar biasa dalam relasi sosial dan budaya kita. Interaksi sosial sebelum wabah menyerang dunia, utamanya Indoenesia berjabat tangan sesuatu yang mutlak dilakukan. Silaturahmi dan tegur sapa selalu diiringi dengan berjabat tangan. Kini, new normal sedang menjadi bahasan yang ramai diperbincangkan.
New Normal
Pandemi Covid-19 seketika merubah pola interaksi sosial masyarakat sebagai fakta baru dalam kehidupan kita. Apakah kita tunduk terhadap keadaan, tentu sebagai makluk yang berakal tidak akan menyerah dan berikhtiar untuk mencari jalan ke luar agar keberlangsungan hidup tetap berjalan.
Sebagai mahluk yang beragama, meyakini dogma agama menjadi niscaya. Sebagaimana Firman Tuhan Robbana ma khalaqta hadza baatila (Ali Imran: 191) ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia.
Bagi manusia yang mengedepankan akalnya dan melakukan rasionalisasi dalam merespon keadaan, tentu menempatkan pandemik covid-19 bukan hal yang baru. Sebagaimana tulisannya Irfan Teguh di media daring tirto.id “Kondisi Normal Baru dan Pentingnya Memilih Bacaan Setelah Pandemi” Irfan menyampaikan bahwa Peristiwa kelam 14 abad yang lalu menimpa Eropa yang dikenal dengan kematian hitam (black death) dan berimplikasi pada runtuhnya sistem Feodalisme lama.
Hal itu terjadi karena hampir 75-200 juta jiwa mati di Eurasia dan Afrika, peristiwa itu melahirkan ikhtiar baru bagi tuan tanah dan kaum aristokrat dalam menemukan teknologi baru (tirto.29/4/2020) tidak ada yang buntu dan menyerah bagi makluk sempurna seperti manusia yang selalu berpikir menggunakan akalnya
Begitu juga dengan pandemi Covid-19. Wabah ini tidak tahu kapan akan berujung. Sejak diberlakukannya PSBB, jumlah korban bukan semakin surut, justru mengalami lonjakan.Diterapkannya Work From Home (WFH) ekspansi wabah covid-19 tak kunjung reda, bahkan semakin merata.
Oleh karena itu, era baru dunia termasuk Indonesia akan dihadapi dengan diberlakukan new normal sebagai jalan tengah dalam menyiasati keberlangsungan hidup di tengah wabah ini.
Pemberdayaan Masyarakat dan KOTAKU
Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmita, new normal adalah perubahan perilaku untuk menjalankan aktivitas normal. Namun, perbedaannya adalah dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19. Jika hal ini yang dimaksud dengan new normal, maka hal itu sudah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun di lapangan ada juga yang seringkali abai dengan protap covid-19
Hidup harus tetap berjalan, aktivitas sosial dan bekerja dengan pola dan model baru harus dilakukan. Tentu butuh waktu dan penyesuaian, berpikir cerdas dan bertindak cepat dan tepat adalah ciri manusia cerdas sebagaimana titah Charles Darwin tentang survival the of fittest. Bahwa manusia cerdas itu manusia yang mampu beradaptasi.
Bagi saya, yang bekerja dalam dunia pendampingan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) tidak mungkin dilakukan fasilitasi masyarakat secara virtual. Meskipun selama tiga bulan berjalan pelatihan dan koordinasi dikalangan konsultan banyak dilakukan secara virtual atau Webinar, tetapi jika interaksi, fasilitasi dengan masyarakat, maka interaksi dan fasilitasi secara langsung tetap dilakukan.
Tentu sesuai dengan protap Covid-19 sebagaimana ditetapkan dalam PP Pengganti UU RI No 1 Tahun 2020 Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19, PP 21 Tahun 2020 Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Bahkan dipertegas dengan dikeluarkannya SE Menteri PUPR Nomor 04/SE/M/2020 Penanganan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Pekerjaan fasilitasi, mediasi, dan advokasi dalam dunia pemberdayaan masyarakat seperti program padat karya melalui Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) tentu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagaimana disampaikan oleh menteri PUPR Basuki Hadimuljono bahwa dengan program padat karya akan menyerap tenaga kerja 605.000 (okezone.com.11/5/20).
Dengan diberlakukannya new normal oleh pemerintah program padat karya tentu semakin memiliki pijakan di lapangan. New normal menjadi gairah dan spirit baru bagi pelaku program dan masyarakat tak terkecuali penyedia bahan-bahan material yang akan digunakan dalam program pembangunan nanti. Dan pada gilirannya roda ekonomi akan berangsur pulih kembali.
Keterlibatan Masyarakat
Tentu program padat karya yang dicanangkan pemerintah menjadi salah satu cara untuk membantu masyarakat yang terkena dampak Covid-19. Ikhtiar pemberdayaan masyarakat ini dilakukan semata-mata agar beban masyarakat semakin ringan. Anggaran pemerintah berbasis masyarakat melalui Kementerian PUPR senilai 10.23 triliun, Kementerian Perhubungan senilai 1,87 triliun, Kementerian Kelautan dan Perikanan senilai 95.58 miliar dan melalui Kementerian Pertanian senilai 1,6 miliar. (okezone.com.11/5/20)
Program padat karya yang menitikberatkan keterlibatan masyarakat setempat tidak semata-mata untuk pemenuhan berbagai akses dan fasilitas umum yang dimanfaatkan masyarakat. Tepat guna dan tepat sasaran serta kualitas pembangunan yang berkelanjutan menjadi proyeksi utama pemerintah.
Anggapan masyarakat mengenai bantuan pemerintah oleh pemerintah dan untuk pemerintah sudah lengser dari anggapan masyarakat semenjak dilibatkannya masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Sukses dan tidaknya pembangunan yang berbasis masyarakat terletak pada masyarakat itu sendiri. Karena pemerintah sudah bergeser posisinya dari provider (penyedia) tetapi pemerintah saat ini berperan sebagai fasilitator (enabler) kekuatan pembangunan itu terletak pada kemampuan masyarakat itu sendiri.
Semoga pandemi Covid-19 ini tak menjadi penghalang untuk berkarya dan berbuat yang terbaik dalam membangun bangsa. Terkhusus dalam program-program pemberdayaan masyarakat.
Editor: Nabhan