Riset

NFT, Metaverse, dan Haramnya Cryptocurrency: Jangan Sampai Agama Jadi Penghambat Kemajuan Teknologi!

3 Mins read

NFT, Metaverse, dan Kekacauan dalam Beragama

Fenomena NFT atau Non-Fungible Token menjadi lebih akrab di telinga sebagian masyarakat Indonesia setelah hebohnya kejadian pemuda asal Semarang, Gozali dengan foto selfie-nya. Seperti yang diketahui, foto Gozali terjual di salah satu market NFT terkemuka dengan nilai yang tidak sedikit.

Mulai banyak akhirnya masyarakat Indonesia palajari. Dari bagaimana mekanisme NFT berjalan, hingga diskursus mengenai pengetahuan teknologi digital yang erat kaitannya dengan NFT. Seperti halnya blockchain, sampai pada revolusi teknologi yang cukup revolusioner yakni metaverse.

Tentu kejadian ini akan menimbulkan banyak reaksi bahkan dari seluruh kalangan. Hingga pada akhirnya, edukasi tentang NFT mulai banyak beredar melalui sosial media. Hal tersebut dapat dikatakan baik. Karena pengetahuan tentang adanya kemajuan teknologi di bidang digital akhirnya tersampaikan dengan baik di sebagian masyarakat Indonesia yang terkenal minim inisiatif dalam menanggapi kemajuan dalam industri teknologi.

Akan tetapi, hal tersebut juga dapat dikatakan tidak baik terutama pada respon setelahnya. Kemudahan dalam mendulang keuntungan pada bisnis NFT ini dianggap mampu mengakomodir rasa malas yang sudah menjadi tradisi. Sehingga, marketplace NFT sempat diramaikan dengan foto selfie, foto makanan, hingga foto identitas diri berupa KTP.

Fatalnya, kejadian tersebut direspon oleh Dirjen Dukcapil Kementrian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrullah. Beliau mengatakan bahwasanya kegiatan uploading atau menjual identitas diri dalam bentuk digital termasuk dalam pelanggaran pidana. Tepatnya melanggar Pasal 96 dan Pasal 96A UU No 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.

Respon dari Aspek Religi

Selain daripada respon dari kultur sosial masyarakat Indonesia, respon dari dunia religiusitas –terutama Islam— yang sedikit keliru di sini memiliki daya pengaruh yang cukup kuat kepada masyarakat yang cenderung religius dan menggunakan pendekatan agama dalam merespon kemajuan teknologi.

Baca Juga  Muhammadiyah Modern, NU Tradisional: Itu Kan Stempel Usang!

Sialnya, porsi agama yang terlalu besar mendistorsi banyak pemahaman mendasar tentang kemajuan dunia digital. Kemudaratan teknologi masa depan lebih banyak hadir dalam pandangan-pandangan agamis yang akhirnya menghilangkan sebagian besar potensi maslahat yang juga akan hadir. Rasa takut yang berlebihan tersebut menggambarkan instabilitas beragama yang terlalu tinggi di masa depan.

Respon paling berpengaruh salah satunya dari MUI yang jelas-jelas mengharamkan cryptocurrency untuk perdagangan termasuk didalamnya kepemilikan aset digital. Wisnu Uriawan (peneliti Blockchain Universite de Lyon) memberikan persepektif yang berbeda terkait pada kestabilan mata uang dan kemanan kepemilikan aset digital.

Wisnu mengatakan bahwa kesenjangan mata uang di seluruh dunia dapat diselesaikan oleh sifat tunggal dari cryptocurrency. Terkait kemanan, blockhain-pun hadir dengan sistem multiserver yang mampu memberikan jaminan rasa aman terhadap kepemilikan aset digital. Walau hal ini memang masih dalam perbedaan, Wisnu menyarankan untuk adanya kajian “lebih” mendalam sebelum memberikan sebuah keputusan besar.

Tak hanya pada NFT dan blockchain, luasnya konsep mega dari metaverse rupanya menjadi korban dari sempitnya cara berfikir orang-orang yang didominasi oleh besarnya rasa takut umat beragama dalam mengarungi kemajuan teknologi. Lebih tepatnya mungkin bisa dikatakan sebagai “kegagalan dalam mengikuti peradaban”.

Islam dan Peradaban Zaman 5.0

Sejatinya Islam sangat menghargai bagaimana pengetahuan berjalan dan berkembang. Bahkan cenderung mewajibkan pemeluknya untuk selalu mengikuti dan berkontribusi pada perkembangan zaman. Namun nyatanya, kontribusi Islam secara general terhadap kemajuan peradaban terhenti pada abad ke 18-19 bersamaan dengan meningkatnya dogmatisme dalam dunia Islam.

Pada hari ini, kemunduran cara berfikir tersebut ditandai salah satunya dengan munculnya banyak pertanyaan tidak masuk akal menanggapi konsep dari metaverse. Banyak umat Islam sekarang yang sibuk berfikir bagaimana cara Shalat di dunia digital, bagaimana metaverse nanti memunculkan banyak kemaksiatan, bagaimana umat nanti akan tersesat dan melupakan Allah di dunia “yang baru”.

Baca Juga  Membaca dan Menulis itu Wajib: Catatan Pengalaman Selama Kuliah di Indonesia dan Australia

Nyatanya konsep ini tidak benar-benar baru karena prototype dasarnya sedang kita rasakan dan metaverse akan memberikan pengalaman lebih pada pemakainya. Hal tersebut menandakan enggannya umat kita untuk menggali pengetahuan yang mendalam terhadap sebuah wawasan baru.

Seperti yang dikatakan oleh Pippa Noris dalam bukunya “Sacred and Secular: Religion and Politic Worldwide” yakni, banyak orang beragama dan religius justru menjadikan agama sebagai pelindung dari ketakutan mereka dalam merespon kehidupan. Bahkan lebih tepatnya bisa dikatakan sebagai gagalnya orang beragama dalam memahami kehidupan.

Pernyataan Pippa Norris tersebut memang tidak sepenuhnya benar. Karena jika berkaca pada masyarakat Jepang, mereka memiliki tradisi religiusitas yang cukup tinggi dengan mengimplementasikan Bushindo sejak ratusan tahun lalu. Semangat Bushindo yang berlandaskan pada falsafah Zen tersebut mampu mengantarkan Jepang pada puncak kemajuan.

Pola yang sama harus terjadi juga dengan Islam. Nafas Islam adalah nafas kemajuan bukan kemunduran. Mungkin bisa kita merefleksikan diri pada semangat keilmuan Dinasti Utsmaniyyah yang mampu menciptakan teknologi terbaru dan tercanggih di dunia hingga mampu menaklukkan Konstatinopel di tahun 1450.

Hadirnya metaverse serta NFT seharusnya bisa memantik semangat pembaharuan dalam umat Islam. Diskursus yang hadir dalam dunia Islam bukan lagi dipenuhi dengan pertanyaan yang bersifat pesimis pada masa depan.

***

Jika berbicara konsep besar dari metaverse dengan brain-netnya, disinilah mestinya intelektual Islam ikut ambil bagian untuk menghilangkan potensi kehancuran umat manusia dengan teknologi yang dibangun oleh manusia itu sendiri.

Seperti yang dikutip perusahaan antivirus ternama, Kaspersky-Lab menjelaskan potensi cyber-crime nanti akan menyerang bagian paling vital pada manusia, yakni otak. Selain itu, kemudahan dalam akses untuk peningkatan pengetahuan individu, akan mengguncang stabilitas sosial dan ekonomi yang cukup tinggi di masa depan.

Baca Juga  Keistimewaan Jahe, Minuman Para Penghuni Surga

Diskursus seperti inilah yang seharusnya memenuhi forum akademi Islam. Semua kalangan dapat berkontribusi dalam revolusi ini. Jangan menjadi umat Islam yang hanya mampu mengkonsumsi perubahan zaman. Jangan pula menjadi umat Islam yang hanya mampu skeptis dan menutupinya dengan dalih potensi pelanggaran syariat.

Sekali lagi dikatakan, inilah saatnya para intelektual Islam untuk masuk dan berkontribusi terhadap perubahan zaman. Serta, inilah yang sebenar-benarnya Islam harapkan dari seluruh umatnya.  

Editor: Yahya FR

Damurrosysyi Mujahidain
2 posts

About author
Ketua Umum PC IMM Buleleng 2019/2020
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds