Perspektif

Muhammadiyah itu Ber-Ittiba’, Bukan Ber-Taqlid!

3 Mins read

Judul tulisan ini (di atas), yaitu kalimat “kenangan yang tak terlupakan”, terlontar dari (dan saat penulis ngobrol santai dengan) almarhum KH Slamet Effendi Yusuf pada awal tahun 1990-an. Tepatnya ketika almarhum masih aktif sebagai Wartawan Harian Umum PELITA.

Ketemu dan ngobrol di kantor redaksi jalan S. Parman kala itu. Sahabat, kenapa Anda memilih IMM, bukan pilih masuk PMII saja?, tanyanya mengawali dan membuat obrolan panjang. Sempat memanas ketika almahum mengatakan NU lebih demokratis ketimbang Muhammadiyah, dan NU lebih ittiba’iy daripada Muhammadiyah. Bahkan, Muhammadiyah lebih muqallid, lebih ber-taqlid daripada Nahdhatul Ulaman (NU).

Alasan Kenapa Muhammadiyah Dianggap Lebih Ber-Taqlid

Alasan pokok kenapa almarhum mengatakan demikian (Muhammadiyah lebih ber-taqlid) didasari oleh pemahamannya terhadap sejarah kelahiran Muhammadiyah. Seperti juga semua pihak ketahui, bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan.

Almarhum KH Slamet Effendi Yusuf rahimahullah, yang mantan Ketua Umum PB PMII dua periode itu meyakini itu, betul sekali. Oleh karena itu, lanjut almarhum, bahwa perkembangan Muhammadiyah itu berangkat dari pemikiran seorang diri; KH Ahmad Dahlan.

Ini artinya, sama dengan semua anggota (warga) Muhammadiyah ber-taqlid kepada KH Ahmad Dahlan, titik, almarhum tidak mengungkap kenapa dan untuk apa KHA Dahlan mendirikan Muhammadiyah.

Berbeda dengan Nahdhatul Ulama, masih menurut almarhum, bahwa dalam sejarah, NU didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, tetapi sesungguhnya, tidak demikian. Sesuai dengan namanya yaitu Nahdhatul Ulama, berarti NU didirikan dan dibangkitkan oleh Ulama.

Nahdhatun, bahasa Arab, artinya bangkit atau kebangkitan, dan Ulama artinya para orang alim, yaitu para Kyai yang dalam kesehariannya bergelut dan berjibaku dalam proses pembelajaran di pondok pesantren miliknya.

Baca Juga  Kasus Pemaksaan Jilbab: Berkaca Pada Kristen Muhammadiyah

Menurut almarhum, bahwa karena NU itu didirikan oleh Ulama, berarti NU itu merupakan wujud dari ijmak ulama. Tidak salah jika kemudian mereka memahami bahwa menjadi orang NU berarti memenuhi kewajiban dalam ber-Islam, yang menurut mereka, bahwa ijmak adalah sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis. Artinya, apa pun yang dihasilkan oleh NU adalah juga merupakan hasil ijmak sekaligus menjadi sumber (dan acuan pelaksanaan) hukum yang dimaksud di kalangan Nahdhiyyin.

NU Sebenarnya Lahir Lebih Dahulu Ketimbang Muhammadiyah?

Yang menarik berikutnya dari obrolan penulis dengan almarhum, yaitu – masih terkait dengan membandingkan sejarah kelahirannya – bahwa sesungguhnya secara embriologis dan ideologis, kelahiran NU jauh lebih dahulu daripada Muhammadiyah.

Dikatakannya, memang, kajian secara administratif, NU lahir tahun 1926 (14 tahun lebih muda dari Muhammadiyah), tetapi sesungguhnya, katanya,  jauh melampaui tahun Muhammadiyah berdiri (1912) sudah ada banyak pesantren atau Kyainya yang sudah dapat dikategorikan sebagai Ulama.

Gegara inilah yang kemudian masyarakat di tingkat bawah banyak yang menganggap bahwa NU lebih dulu berdiri (ada) daripada Muhammadiyah, dan gegara ini pula term Ulama dikesankan hanya ada dalam NU.

Terlepas dari benar-tidaknya kutipan ingatan penulis di atas, bahwa sesungguhnya Muhammadiyah menempatkan persoalan taqlid dan muqallid tersebut yaitu sebagai objek dakwah yang perlu dipahami untuk kemudian dihindari, karena memang, salah satu tujuan dakwah Muhammadiyah yaitu menghindari bahkan melarang taqlid sekaligus muqallid.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah – sedari lahirnya – membuka dan menyelenggarakan pendidikan supaya masyarakat sebagai objek dakwahnya (peserta didik) memunyai pengetahuan dan argumen yang kuat atau tidak ikut-ikutan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Orang awam sekalipun, bagi dan dalam Muhammadiyah tidak boleh menjadi muqallid atau bersikap taqlid dalam beribadah melaksanakan ajaran agamanya.

Baca Juga  Jejak Digital 'Islam Berkemajuan': Refleksi Jelang Setahun IBTimes

Muhammadiyah itu Ber-Ittiba’ Bukan Ber-Taklid

Ber-Muhammadiyah, kendati dapat dipahami mengikuti pemikiran KH Ahmad Dahlan, tetapi tidak bisa dikategorikan sebagai sikap taqlid atau muqallid seperti yang diduga oleh almarhum yang penulis sebut di atas. Sekali lagi, tidak bisa.

Karena, mengikuti di sini, dibarengi potensi pikir dan bersifat argumentatif, yang dalam konteks fikih disebut (masuk kategori) ittiba’, bukan dan berbeda dengan taqlid.

Ittiba’ mengikuti atau melaksanakan suatu bentuk ibadah, yang (ibadah tersebut jelas diperintahkan) lengkap dengan sumber atau dalilnya, baik dalil ‘aqli maupun ‘naqli-nya.

Sedangkan taqlid tanpa mengetahui landasan (dalil) ‘aqli atau naqli-nya, merasa cukup dari apa yang dikatakan tetangganya, apalagi kalau tetangganya itu seorang Kyai.

Sikap ber-taqlid (muqallid) demikian, biasanya dilakukan oleh masyarakat awam yang malas. Tidak merasa penting untuk belajar. Kalau kata Kyainya begini, ya, begini, harus begini, tidak boleh begitu. Inilah doktrin para pemboleh taqlid yang tentu bertentangan dengan Muhammadiyah.

Kejahatan yang Muncul dari Sifat Taqlid

Ada beberapa kejahatan yang diakibatkan dari taqlid sehingga Muhammadiyah mencegahnya.

Pertama, dari segi bahasa, taqlid itu sendiri mempunyai makna kalung yang dikenakan dari dan untuk orang lain tanpa disadari dari mana kalung tersebut. Dibuat dari bahan baku apapun kalung itu, pasti terlihat melingkar di leher. Karena tidak disadari, apakah kalung yang lingkari leher itu longgar atau sempit, mungkin emas, mungkin perak, mungkin perunggu atau bahkan mungkin (rantai) besi berkarat. Maka jelas sekali lingkaran itu bisa rawan atau mengancam keamanan leher yang bersangkutan.

­­­­Kedua, dari segi istilahi (disiplin ilmu fikih), bahwa taqlid yaitu mengikuti-laksanakan pendapat orang lain tanpa perlu mengetahui benar-tidaknya pendapat tersebut. Ini jelas bahaya dan membahayakan para pihak. Bisa mendatangkan dan mengabadikan fitnah, dan dari segi keilmuan juga bahaya dan sudah masuk kategori kejahatan akademik.

Baca Juga  Siti Walidah, Pejuang Emansipasi dari Muhammadiyah

Ketiga, ini kejahatan taqlid yang paling mengkhawatirkan, yaitu kejahatan ideologis yang akan menodai dakwah Muhammadiyah.

Seperti diketahui, bahwa dakwah Muhammadiyah, dapat dipahami sebagai upaya untuk memberantas (menghilangkan) sikap taqlid (baik taqlid buta ataupun taqlid bermata).

Genjotan Muhammadiyah untuk memberikan pendidikan kepada semua, pada dasarnya yaitu untuk supaya semua melek huruf, mencari dan terus mencari kebenaran kepada ahlinya, supaya dalam beraktivitas senantiasa berangkat dari kedisiplinan ilmunya.

Jadi, jika ada upaya untuk melestarikan taqlid, membenarkan atau bahkan menganjurkan untuk ber-taqlid, maka itu jelas merupakan kejahatan terhadap Muhammadiyah.

Avatar
13 posts

About author
Noor Chozin Agham, dosen UHAMKA dan UMT Indonesia, Penulis Buku : ISLAM BERKEMAJUAN gaya MUHAMMADIYAH - Telaah terhadap Akidah, Akhlak, Ibadah, dan Mu'amalah Duniawiyah - UHAMKA Press, 2015
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *