Begitu pandemi Covid-19 mulai mengubah lanskap kehidupan kita, muncullah kebiasaan baru. Salah satunya adalah tradisi Ngaji Online atau “Ngaji Pasaran Online” yang viral sepanjang bulan Ramadan kemarin.
Tradisi tersebut disebut-sebut dilaksanakan massif dan rutin oleh ratusan kyai, bahkan termasuk beberapa nama kyai besar, seperti KH. Mustafa Bisri dan KH. Anwar Manshur. Mereka berdua turut meramaikan ikut mengisi fenomena ngaji pasaran online ini.
Dengan bantuan teknologi, para santripun sekarang tidak perlu susah lagi datang ke pesantren. Sebab tradisi ngaji pasaran tersebut bisa mereka ikuti tanpa harus berada di pesantren atau rumah pribadi kyai, karena sudah ditayangkan secara langsung lewat media sosial. Memang, tradisi khas bulan puasa di pesantren tersebut sedang ramai disiarkan dan dibagikan lewat aplikasi Facebook atau Youtube.
Ngaji Online
Dalam kolom “Ngaji Pasaran” Online, Menembus Batas-batas Tradisional, Amin Mudzakkir, peneliti LIPI, menyebutkan fenomena ngaji pasaran online yang justru marak di era pandemi saat ini menunjukkan adaptasi kalangan pesantren yang luar biasa terhadap perubahan zaman.
Selain itu, dia berharap lewat tradisi baru ini bisa mengubah lanskap keberagamaan di Indonesia, lewat nilai-nilai keagamaan moderat atau wasatiyah yang selama ini dikembangkan oleh pesantren-pesantren dan komunitas Muslim tradisional bisa tersiar lebih jauh lagi.
Meski demikian, di tengah glorifikasi ngaji daring tersebut, agaknya masyarakat, terutama kelompok santri, kurang menyadari dampak dari perubahan tradisi tersebut, yang minimal akan mempengaruhi lanskap tradisi ngaji yang ada selama ini.
Akibatnya, begitu ngaji pasaran yang tersebar luas di internet, kebanyakan masyarakat percaya pada janji menglobalnya pengajian kitab kuning. Agaknya, masih jarang yang menyadari apa yang akan terjadi jika tradisi mengaji kitab kuning benar-benar mengudara rutin secara daring.
***
Nicholas Carr, penulis asal Amerika dan pemenang Pulitzer Award 2011, dalam buku The Shallows: Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?, pernah berujar bahwa “Teknologi hanyalah alat yang tidak berdaya sampai kita menggunakannya dan tidak berdaya lagi saat kita menyingkirkannya”.
Tentu, notifikasi Carr di atas cukup provokatif bagi mereka yang selama ini beranggapan bahwa manusialah yang menguasai teknologi. Namun Carr melanjutkan wejangannya dengan mengutip Marshall Mcluhan, ilmuwan komunikasi asal Kanada, yang menuliskan bahwa “Respon konvensional kita terhadap semua media, yakni bahwa yang penting adalah penggunaannya, merupakan pendirian orang yang gagap teknologi”.
Mereka berdua percaya bahwa media populer, seperti media sosial, mampu membentuk apa yang kita lihat dan bagaimana kita melihatnya, dan pada akhirnya semakin sering kita menggunakannya, ia akan mengubah siapa kita, entah itu sebagai individu atau masyarakat.
Sebab, selama ini masyarakat terlalu terpana dan terpesona pada konten, maka rentan tidak memperhatikan apa yang terjadi di kepala. Sehingga masyarakat masih sering berpikir konten seperti daftar menu makanan, yang bebas dipilih atau diabaikan sesuai selera.
***
Analogi tersebut tidak salah. Namun poin penting dalam dinamika internet dan media sosial malah terabaikan, yakni daya tahan Ngaji online di belantara dunia maya.
Memang, poin tersebut hanya bagian awal dari dinamika artikulasi keberagamaan baru, yang muncul akibat pemanfaatan massif teknologi internet ditambah kondisi pandemi sekarang ini. Namun, ia juga bagian dari faktor pengubah lanskap pengajian kitab kuning beserta tradisi di dalamnya. Bagaimana bisa?
Jadi, jika selama ini siaran langsung ngaji online menjadi viral karena terbantu akibat kondisi masyarakat yang diharuskan menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah terkait protokol pencegahan pandemi Covid-19. Dan didorong rasa bosan karena harus di rumah, bagi sebagian masyarakat yang dekat dengan kultur pesantren atau pernah nyantri tentu pilihan paling rasional adalah mengikuti ngaji online.
***
Sebelumnya, sudah dimaklumi bahwa ngaji online sebetulnya sudah beredar lama di media sosial. Nama Ulil Abshar Abdalla bisa diajukan sebagai pendobrak tradisi tersebut dengan Ngaji Ihya-nya yang sudah digagas beberapa tahun lalu.
Namun, apakah ngaji ihya bisa bersaing dengan ceramah para pendakwah media sosial yang terlebih dahulu populer? Nanti dulu. Sebab, jika kita telisik nama Gus Ulil malah tidak masuk dalam ulama paling banyak dikonsumsi oleh warganet.
Oleh sebab itu, Ngaji begitu mengambil jalan daring mau tidak mau harus beradaptasi dengan pernak-pernik kemampuan siaran, agar bisa dinikmati oleh khalayak yang heterogen. Tidak hanya melemparnya saja ke dunia maya tanpa ada kesesuaian dengan selera pasar (baca: warganet).
Ngaji Pasaran
Dalam tradisi pesantren, pengajian pasaran sebelumnya sangat kyai-sentris harus bernegosiasi tidak saja dengan heterogenitas pemirsa. Akibatnya kultur media sosial yang telah lama membentuk pola konsumsi warganet terhadap informasi bertarung dengan pola-pola dalam tradisi pengajian .
Memang, ngaji online memang punya komunitas santri yang bisa dijadikan modal sosial menggagas pola baru dalam konsumsi informasi, terutama keagamaan, lewat media sosial. Namun, tradisi ngaji yang bisa berlangsung hingga berjam-jam, tentu menuntut kekuatan fisik dan fokus yang bagus. Hal tersebut tentu berlawanan dengan pola konsumsi yang selama ini dibentuk dengan sifat kesekejapan dan massifikasi produksi informasi, yang terus menerus mendera manusia di media sosial.
Tentu ceramah yang ringkas menjadi menu yang “sesuai” dengan pola konsumsi warganet. Kondisi ini yang disebut oleh Carr sebagai media sosial memiliki kemampuan memaksa perubahan dari tradisi yang sebelumnya.
Akibatnya, ngaji kitab kuning kemungkinan akan bernegosiasi dengan kemasan isi konten dan formula produksi agar bisa beradaptasi. Namun apakah modal sosial tersebut mampu mengubah pola konsumsi warganet? Entahlah, sebab jika tradisi ngaji online ini hanya menggelora di bulan Ramadan saja maka justru akan sulit membentuk pola baru dalam konsumsi informasi.
Belum lagi jika model ngaji online hanya menjadi narrowcast (siaran terbatas) di kalangan tertentu saja, atau jika dalam kasus ini adalah kelompok santri belaka. Tentu kalangan santri muda harus mulai memikirkan dan berbuat bagaimana ngaji online bisa diterima oleh pemirsa yang heterogen.
Dus, efeknya adalah cita-cita desiminasi nilai-nilai moderatisme Islam, yang selama ini digadang-gadang bisa menguap begitu saja, jika gagal menformulasi tradisi baru dalam ngaji online yang bisa diterima banyak kalangan, tidak sekedar euforia sesaat dari kelompok santri di bulan Ramadan.