Mungkin sebagian dari Anda sudah pernah ke Kemuning. Atau setidaknya ke Tawangmangu. Kawasan wisata pegunungan yang terletak di ujung timur Jawa Tengah: Karanganyar. Yang sering disebut Bumi Intanpari, Di Jawa Tengah, Tawangmangu cukup populer. Mirip Puncak bagi masyarakat Jawa Barat dan Jakarta. Banyak villa, kafe, dan tempat outbound yang menyediakan berbagai jenis liburan. Baik untuk keluarga, sekolah, hingga rapat-rapat kantor.
Ada Air Terjun Grojogan Sewu, Bukit Sekipan, Taman Wisata Balekambang, The Lawu Park, Air Terjun Gumog Putri, Bukit Mongkrang, Sakura Hills, Rumah Atsiri Indonesia, Agrowisata Desa Nglurah, dan masih banyak lagi. Tak habis-habis jika Anda explore selama seharian penuh.
Tapi ketika Anda ke Tawangmangu, mungkin Anda tidak melihat, bahwa di sana ada praktik baik toleransi beragama yang betul-betul mengakar di masyarakat. Praktik baik itu terjadi di Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Ngargoyoso memiliki 9 desa, yaitu Puntukrejo, Berjo, Girimulyo, Segorogunung, Kemuning, Ngargoyoso, Jatirejo, dan Nglegok. Bisa jadi, cerita ini tertutup oleh indah dan ramainya wisata di sana.
Seorang tokoh lokal perempuan Ngargoyoso, Ratmini Ami, menceritakan pada saya tentang apa yang terjadi di sana.
“Ngargoyoso itu miniatur Indonesia,” ujarnya.
Di sana setidaknya ada tiga tempat ibadah yang saling mendukung, bukan saling menegasikan. Tiga tersebut adalah masjid, gereja, dan pure. Mayoritas Muslim, tapi banyak juga Kristen dan Hindu. Praktik yang paling dasar adalah saling menjaga di hari keagamaan.
Ketika Nyepi, umat Hindu beribadah di Pure. Rumah-rumah mereka kosong. Maka, saat itu Muslim bahu membahu untuk menjaga rumah. Ronda. Keliling desa untuk menjaga keamanan. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya. Di Idulfitri atau Iduladha, umat non-muslim membantu. Menjaga kondusivitas kampung. Semua berjalan dengan tertib dan baik.
Bahkan, untuk menggelar kegiatan keagamaan, seperti pengajian, harinya dibedakan. Misalnya, malam Jumat untuk kegiatan pengajian Muslim. Hari Sabtu untuk umat agama lain. Supaya tidak barengan. Semua sudah terkoordinasi dengan rapi.
Masyarakat Ngargoyoso saling mendukung usaha ekonomi masing-masing tanpa melihat agama. Ibu Ami punya usaha kripik kelapa dan pisang krispi. Ibu Yuli, temannya yang beragama Kristen, berjualan aneka snak, kue, dan sambal. Ibu-ibu yang lain punya usaha yang cukup variatif. Semua saling mendukung. Ketika ada yang butuh, saling membeli dagangannya. Kalau ada hajatan, yang dicari pertama adalah produk-produk yang diproduksi oleh tetangga. Tak hanya membeli, tapi juga saling membantu promosi. Meskipun beda iman. Kalau ada yang membuka usaha baru juga disambangi. Dilarisi oleh tetangga sendiri.
Usaha penglarisan produk tetangga itu dinaungi oleh Sekar Ayu. Sekar Ayu merupakan komunitas ibu-ibu di Ngargoyoso. Setiap bulan mereka rutin melakukan arisan. Arisan itu, selain untuk urusan ekonomi, juga untuk menjadi titik temu bagi ibu-ibu untuk saling menjalin silaturahmi, menjaga toleransi, dan komunikasi. Komunitas tersebut didirikan oleh Imparsial ketika mengadakan kegiatan di Ngargoyoso. Imparsial adalah NGO yang fokus pada isu-isu hak asasi manusia. Selain Sekar Ayu juga ada kelompok untuk bapak-bapak dan anak muda.
Ada cerita yang menarik di SDN 03 Ngargoyoso. Di sekolah tersebut, ada guru bernama Yohanes. Dari namanya, tentu ada sudah bisa menebak apa agamanya. Sebagai guru, ia memiliki tugas untuk menumbuhkan karakter dan norma kepada anak didik. Menariknya, salah satu tugas Yohanes adalah membiasakan anak-anak menghafalkan surat-surat pendek dalam Alquran. Ia mengajak anak-anak untuk taat beribadah, termasuk untuk melaksanakan salat duha dan salat zuhur. Lebih jauh, setiap Iduladha, ia ikut kegiatan pembagian daging kurban untuk masyarakat di sekitar sekolah.
Dengan apa yang ia lakukan itu, ia berharap untuk terus mengajarkan perdamaian dan toleransi kepada anak didik. Tak hanya mengajarkan, tapi ia memberikan teladan yang nyata.
Di Ngargoyoso, tentu cerita-cerita seperti itu adalah hal yang biasa. Toleransi sudah benar-benar mendarah daging dalam denyut nadi masyarakat. Toleransi itu tidak hanya menjadi slogan yang indah, tapi menjadi laku dan pedoman dalam kehidupan.
Menurut Ibu Ami, ada perasaan saling membutuhkan antar umat beragama. Bagi saya, ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Di mana umat beragama saling menegasikan. Ketika ada gereja yang akan dibangun, umat Islam menolak. Ketika ada masjid yang akan dibangun, misalnya, umat Kristiani menolak. Karena pandangannya biner. Seolah-olah, jika orang lain besar, kita akan menjadi kecil. Itulah yang disebut dengan pandangan biner. Pandangan yang serba hitam putih. Pandangan yang menegasikan kelompok lain.
Hal ini tidak terjadi di Ngargoyoso. Di mana setiap orang merasa membutuhkan orang lain. Perasaan saling membutuhkan ini jelas tidak akan menimbulkan sikap ekstrem dan radikal. Justru menimbulkan usaha tolong-menolong dan timbal balik yang sangat positif.
Selain itu, toleransi yang baik juga lahir karena tokoh agama di Ngargoyoso bersatu. Setiap tokoh agama menekankan perdamaian kepada umat masing-masing. Kalau ada satu dua masyarakat yang sedikit esktrem, pemimpin agamanya yang akan membina. Sehingga tidak terjadi gesekan di bawah.
Faktor ketiga yang menjadikan Ngargoyoso sedemikian kuat praktik toleransinya adalah adanya kegiatan-kegiatan yang menyatukan masyarakat. Salah satu lembaga yang beberapa kali berkegiatan di sana adalah Imparsial. NGO seperti Imparsial, bagaimanapun, memberikan warna tersendiri dalam perjalanan Ngargoyoso. Kehadiran NGO mampu meneguhkan keyakinan yang sudah dipegang oleh masyarakat, bahwa apa yang selama ini mereka lakukan adalah kebenaran yang harus terus dirawat.
*)Konten ini merupakan hasil kerjasama IBTimes dengan Kementerian Agama RI