Ibadah adalah kewajiban dalam umat Islam, di mana masjid adalah tempat berkumpul sekaligus bermunajat kepada Sang Khalik. Namun, niat ibadah tanpa melihat situasi dan konteks sosial bisa berujung petaka alih-alih pahala yang ingin didapatkan. Pada 27 Februari-1 Maret 2020, anggota Jama’ah Tabligh dari pelbagai negara, terdiri dari 14.500 orang Malaysia dan 1.500 orang warga asing, termasuk di dalamnya adalah Muslim Indonesia, berkumpul di Masjid Sri Petaling Jamek di Kuala Lumpur.
Pengajian tersebut ternyata menjadi ruang peningkatan drastis (exponential growth) penyebaran virus corona, tanpa disadari oleh anggota Jama’ah Tabligh sendiri (Blomberg.com, 15 Maret 2020). Kondisi ini mirip yang terjadi di Korea Selatan, di mana orang-orang yang menolak untuk dilakukan pemeriksaan, mereka justru pergi ke Gereja dan kemudian makan bersama dengan komunitas dan keluarganya. Resistensi yang justru berdampak luas terhadap jumlah korban.
Pasca pertemuan pengajian tersebut, setidaknya ada 150 orang dari Malaysia sendiri yang terinfeksi. Dengan total jumlah 790 korban, Malaysia memiliki lonjakan korban virus terbesar di Asia Tenggara. Sementara, orang Brunei yang hadir dalam pengajian itu, setidaknya 80 orang yang hadir 25 di antaranya terinfeksi virus tersebut. Ironisnya, hampir 696 orang Indonesia yang ikut hadir dan kembali ke Indonesia, alih-alih dilakukan penjejakan siapa yang ikut dan kemudian diperiksa siapa yang terkena, pihak otoritas pemerintah Indonesia, sejauh amatan saya, belum melakukan pendataan kepada mereka.
Rasanya tidak mungkin dari semua orang Indonesia yang ikut tidak ada yang terkena, jika membandingkan apa yang terjadi dengan anggota Jama’ah Tabligh yang berasal dari Brunei Darussalam. Padahal, ketika mereka terinfeksi, tidak hanya menularkan kepada keluarga terdekat, seperti anak-anaknya, istri, orangtua mereka, dan kemudian para tetangga dan teman-teman terdekatnya.
Di sini, niat untuk mensucikan hati, membersihkan nurani, dan beribadah kepada Allah justru bisa mencelakai keluarganya sendiri. Lalu, spiritualitas Islam semacam apa yang sebenarnya mereka bayangkan dengan melihat situasi ini?.
Ironisnya, pertemuan besar ijtima zona asia Jama’ah Tabligh internasional ini  diadakan lagi di Gowa Sulawesi Selatan dengan mendatangkan anggota internasional, baik dari Malaysia, Thailand, Filipina, India, dan Arab Saudi. Setidaknya, dikabarkan akan ada 8.6950 peserta. Pihak Otoritas Indonesia sebenarnya sudah melarangnya, tapi panitia masih bersikukuh untuk tetap mengadakan.
Mereka sadar bahwa pertemuan besar ini akan menjadi medium akumulasi virus. Namun, rasa takut kepada Allah, membuat mereka berani menghadapi virus tersebut dengan menggunakan logika fatalis bahwasanya setiap manusia akan menghadapi takdir kematian, sebagaimana diberitakan oleh Reuters pada 18 Maret 2020 saat mewawancarai salah satu pengurus yang bernama Arifuddin Saeni.
Harus diakui, teologi fatalis semacam ini sebenarnya menjadi spirit kelompok Jamaah Tabligh yang awalnya berdiri di India satu abad yang lalu. Keluar dari wilayah nyaman (comfort zone) dan meninggalkan pelbagai hal yang terkait dengan kehidupan duniawi dengan menjadi peziarah dan musafir dari satu tempat ke tempat yang lain adalah langkah untuk terus-menerus memperbaiki kekuatan spiritual mereka.
Masjid dan tempat pemondokan dengan membawa bekal seadanya untuk kehidupan sehari-hari adalah pola kehidupan yang mereka jalankan. Dengan sistem organisasi mereka yang terbuka dan apolitis, setiap individu bisa ikut terlibat untuk menjadi musafir dan peziarah yang bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu daerah ke daerah yang lain, dan dari satu negara ke negara lain dengan cara berkelompok (Farish A Noor, 17 Maret 2020). Â
Di tengah pandemik global, pergerakan mereka dengan cara berkelompok ini menjadi persoalan, apalagi kemudian mengadakan pertemuan ijtima di di kompleks Pesantren Darul Ulum, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada 19-22 Maret 2020. Upaya bersikeras tetap mengadakan kegiatan tersebut tidak hanya kenaifan, melainkan bentuk pengabaian dengan berlindung dibalik spritual agama.
Upaya membangun kesalehan pribadi tapi membawa mudharat kepada orang banyak adalah tindakan zolim; tidak hanya bagi dirinya, melainkan keluarganya yang akan terdampak. Jika begini, apakah pantas hal tersebut disebut bagian dari ibadah dan spiritual kepada Allah?
Sementara itu ijtima dengan pertemuan besar mengundang orang secara internasional memungkinkan untuk adanya peningkatan virus berkembang secara cepat dan massif di tengah kumpulan massa. Niat baik dalam berorganisasi dan beribadah juga harus dilihat konteks sosialnya, tidak semata-mata bentuk ngotot mempertahankan egoisme atas dalih kekuatan iman dan kesalehan.
Dalam konteks ini, saya sepakat dengan Farish A Noor (2020) bahwasanya Jamaah Tabligh harus memperbaiki gerakannya sendiri untuk menghindari mudharat yang lebih besar. Upaya meregulasi diri sendiri ini sebenarnya sudah pernah mereka lakukan dua puluh tahun sebelumnya, di mana mereka melakukan pengecekan kepada para anggotanya yang telah disusupi oleh kelompok teroris dalam melakukan kekerasan yang terjadi dalam pengeboman di Bali.
Upaya ini sebenarnya bisa dilakukan kembali saat ini dengan melakukan pencegahan sementara untuk bepergian secara berkelompok dan menginap di masjid ataupun pondok dengan melihat agama sebagai nilai sosial yang harus dipehartikan. Bahkan, dengan terlibat secara aktif dalam membatasi penyebaran virus ini dengan mengingatkan para anggotanya untuk melakukan semacam jeda penziarahan akan memberikan kontribusi signifikan, tidak hanya nama organisasi tersebut, melainkan juga upaya melepaskan stigma di tengah krisis global ini.