Nidhal Guessoum adalah seorang Profesor Astronomi asal Aljazair yang jamak dirujuk sebagai Ibnu Rusd modern. Umumnya, perkenalan para pembaca dengan pemikiran Prof. Guessoum terjadi melalui karyanya yang terkenal luas, Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science.
Buku itu telah diterjemahkan dalam puluhan bahasa. Di Indonesia sendiri, buku ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan dengan judul Islam dan Sains Modern.
Dalam buku international best-seller itu, Guessoum berangkat dari satu thesis utama: bahwa terdapat relasi yang timpang antara agama dan sains dalam alam bawah sadar Muslim. Akibatnya, apresiasi kepada ilmu selalu bersifat ambigu:
“..Muslim selalu mengklaim bahwa pengetahuan dan sains menduduki posisi yang sangat tinggi dalam Islam tapi mereka segera berubah menjadi dogmatis, berpikiran tertutup dan selektif ketika mereka harus belajar sebuah teori yang menantang konsepsi lama mereka.”
Hubungan Agama-Sains
Bagi Guessoum, ambiguitas itu menimbulkan sikap pragmatis kepada ilmu. Ilmu hanya diakui sejauhmana ia menjustifikasi Agama. Sementara ketika keduanya nampak berseberangan, maka kecil kemungkinan untuk ilmu itu diperiksa secara objektif.
Seringkali ilmu itu segera saja dicap ‘kafir’ dan dieliminasi dari jagat diskusi. Hal ini menutup kemungkinan bagi kita untuk belajar dari ilmu itu. Yang kita harus curiga, jangan-jangan banyak kebenaran yang kita lewatkan karena sikap demikian.
Sebaliknya, ketika ilmu itu nampak logis bagi nalar Agama, maka ia akan diterima begitu saja. Terlepas dari ilmu itu belum melalui serangkaian pemeriksaan yang baku yang darinya kita dapat mencapai hasil yang terpercaya. Ilmu dipandang ilmiah dari standar Agama, bukan dari standar ilmu.
Sikap demikian tentu tidak bijak. Seharusnya kita mengukur suatu ukuran dengan alat ukurnya. Bagaimana mungkin mengukur suhu dengan timbangan atau sebaliknya mengukur berat dengan termometer?
Pseudosains Islam
Relasi timpang Sains-Agama inilah yang menjadi suatu keresahan mendalam bagi Guessoum. Keresahan yang tergambar dari pengalamannya setelah mengikuti suatu perhelatan Ilmuwan Muslim dunia yang diselenggarakan secara spektakuler di negaranya.
Pada pertemuan itu Guessoum disajikan berbagai hasil-hasil penelitian Muslim yang tidak berdasar kepada teori dan penemuan ilmiah yang teruji ketat. Sebut saja contohnya perubahan molekul air setelah dirapal bacaan dalam Al Quran yang kemudian diklaim berkhasiat menumpas berbagai penyakit kronis, serta sebuah proposal penanganan kerasukan jin dengan suatu terapi elektromagnetik.
Selain karena hasil-hasil penelitian itu secara teoretis sangat mustahil, metodologi verifikasi yang ditempuh juga sangat rapuh. Guessoum mengidentifikasi bahwa sedikit, bila tidak dikatakan sama sekali, yang memeriksa efek plasebo dari eksperimen mereka. Apakah betul pemberian terapi itu yang menyembuhkan pasien, atau sekedar pikiran pasien bahwa terapi itu telah menyembuhkan mereka?
Bagi Guessoum, fenomena diatas sangat ironis. Di satu sisi, umat Muslim berkehendak untuk membangun sains Islam, namun di sisi lain, pemahaman dan apresiasi terhadap sains tidak terbangun.
Akibatnya, kini tidak dapat kita pungkiri bahwa umat Muslim terbelakang dalam pengembangan teknologi. Mereka juga terperangkap dalam romantisme masa lalu kejayaan Islam, tanpa berhasil menghidupkan ulang iklim kondusif bagi kembalinya kejayaan itu.
Disitulah Guessoum rindu sekaligus sangsi. Ia sadar bahwa kemajuan Islam terjadi manakala agama dan ilmu dapat berdampingan tanpa perlu satu mematikan satu lainnya. Namun ia seketika ragu sebab melihat bahwa keduanya sering disikapi berbeda. Padahal, ilmu dan agama sejatinya berasal dari Tuhan, maka tidak perlu mempertentangkan keduanya.
Langkah Rekonsiliasi
Maka penting bagi kita untuk memahami posisi keduanya. Bahwa agama berisi panduan moral dan spiritual yang tidak selalu secara eksplisit, detail dan lengkap membahas segalanya. Untuk itulah diperlukan ayat-ayat kauniyah yang berasal dari pembacaan kita atas alam. Pembacaan itu tentunya menggunakan akal yang juga merupakan pemberian Tuhan yang menjadikan manusia makhluk sempurna.
Atas dasar pandangan itu maka seharusnya muslim dapat memposisikan secara setara baik agama dan sains. Keduanya harus berdialog, alih-alih unjuk dominasi. Sains berpotensi memecahkan persoalan kehidupan kita, namun tanpa nilai-nilai moral-etis yang bersumber dari agama, sains akan bekerja untuk ketiadaan.
Sementara agama yang dominan dan menjadikan ilmu sebagai subordinat akan menyebabkan agama berjarak dengan realitas dan modernitas. Agama seolah membangun sendiri sekat yang menghalangi dirinya untuk dapat secara aktual melakukan transformasi sosial di tengah masyarakat.
Sudah saatnya, kata Guessoum, seluruh umat Muslim terbuka untuk menilai secara seksama kebenaran teori-teori ‘Barat’ seperti teori evolusi dan teori kekekalan energi. Sebab, Islam tidak pernah membatasi kita untuk belajar dan membaca tanda-tanda alam. Sebaliknya, Islam justru mendorong kita untuk menyambut pengetahuan baru itu dan memeriksanya secara objektif.
Kita harus menjadi umat yang belajar dari masa lalu. Bahwa kesempitan dan kekakuan berpikir pernah membawa kita menuju kehancuran. Disisi lain, kunci kejayaan iIslam adalah sikap keterbukaan dan kesediaan bereksplorasi. Tentunya tanpa menanggalkan keimanan kita serta secara proporsional-dialogis memahami agama dan sains.