Kalam

Nonmuslim Serupa dengan Kafir, Apakah Benar?

3 Mins read

Belakangan lalu sempat ramai diperbincangkan mengenai istilah nonmuslim dan kafir. Bahkan ada wacana untuk penggantian istilah kafir dengan nonmuslim saja, dengan alasan untuk lebih bertoleransi. Lalu, apakah sebenarnya istilah kafir dan nonmuslim itu sama saja? Ataukah sebenarnya justru ada perbedaan antara kedua istilah tersebut?

Makna Kafir

Kafir diadopsi dari kata dalam bahasa Arab kafara yang artinya menutupi. Dalam kata kerja, kafir disebut dengan istilah kufur yang memiliki arti penolakan dari sebuah kebenaran. Secara etimologi, kafir merupakan pengingkaran atau penolakan atas kebenaran yang sesungguhnya yang sudah diterima oleh semua orang.

Dalam Alquran, kata kafir juga diperuntukan kepada petani yang karena mereka menggali tanah, menanam biji-bijian dan kemudian menutupnya dengan tanah (QS. al-Hadid: 20). Yang kemudian kata ini diadopsi ke dalam Bahasa Inggris menjadi cover dengan arti penutup atau sampul muka.

Alasan utama yang sering diutarakan orang kafir kenapa mereka tidak mengikuti kebenaran tersebut adalah karena vested interest. Di sini mereka terlihat tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya.

Yang dimaksud dari kebenaran di sini adalah Islam, lalu apa yang mereka tutupi? Dan apa yang mereka sangkal juga selama ini? Jika hal ini menjadikan ukuran, maka bagaimana dengan orang yang tidak mengerti atau orang yang tidak mengetahui kebenaran ini bisa disebutkan sebagai kafir?

Di dalam Alquran, kafir identik dengan penyangkalan secara sadar, tanpa pengaruh tekanan dari pihak mana pun. Sederhananya, bahwa orang kafir melakukan penolakan terhadap suatu kebenaran yang padahal mereka mengetahui tentang kebenaran tersebut. Misalnya Firaun yang telah diberitahukan akan kebenaran namun dia tetap menyangkal kebenaran tersebut.

Penjelasan Alquran

Seperti apa yang sudah jelaskan di dalam Alquran, jika seorang kafir ditanya mengenai siapakah pencipta dari alam semesta ini? Niscaya mereka akan menjawab bahwa Sang Pencipta alam semesta ini adalah “Allah”. Dari sini kita tahu bahwa penyangkalan akan kebenaran bukan karena mereka tidak yakin atas ketuhanan Allah.

Baca Juga  Gus Ulil: Cara Al-Ghazali Agar Tidak Mudah Mengkafirkan Orang Lain

Hal di atas sesuai dengan firman Allah pada surat az-Zumar ayat 38: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka akan menjawab: Allah.”

Begitu juga dengan kerasulan Nabi Muhammad. Sesua dengan firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 89: “Dan setelah datang kepada mereka kitab yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal biasa (memohon) kedatangan Nabi untuk mendapatkan kemenangan atas seorang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka pahami, lalu mereka ingkar kepadanya. Maka laknat Allah lah ats orang-orang yang ingkar.”

Dari sepenggal surat yang dijelaskan di atas kita tahu bahwa sebelum mereka mengharapkan kedatangan Nabi Muhammad untuk melawan orang-orang kafir. Mereka menjadi kafir justru setelah datangnya Nabi Muhammad yang selama ini mereka harap-harapkan. Lalu kenapa mereka menjadi kafir setelah datangnya Nabi Muhammad?

Dalam Firman Allah surat Ali-Imran ayat 86 dikatakan: “Bagaimana Allah akan menunjukkan kepada suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa rasul itu (muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.”

Motif Penolakan dan Penyangkalan

Banyak fakta yang mengatakan bahwa orang-orang kafir mengakui kenabian Nabi Muhammad. Seperti Abu Sufyan yang menyelinap di sekitar rumah Nabi Muhammad dan kemudian dia mendengarkan bacaan Alquran.

Meskipun demikian, bukan karena Abu Sufyan menolak Alquran, tetapi Abu Sufyan lebih mementingkan vested interest untuk mempertahankan kedudukan sosial dan politik. Abu Sufyan disebut kafir karena dia menolak akan kebenaran yang sudah jelas tampak di depannya karena alasan-alasan ekonomi, sosial, dan politik.

Baca Juga  Pemikiran Kalam Imam Syafi'i: Kritis terhadap Mutakallim

Husain Haikal juga memberikan pendapatanya bahwa mereka menolak dan menyangkal ajaran dari Nabi Muhammad didorong akan motif kepentingan individu dan mempertahankan pengaruhnya dalam kelas sosial.

Mereka lebih mempertahankan agama jahiliyah hanya karena demi keuntungan semata bagi mereka dan lagi-lagi agartetap mempertahankan pengaruhnya dalam kelas sosial dan politik. Bagaimana tidak, mereka menolak kebenaran karena menurut mereka merugikan, karena dalam doktrin Islam mereka seemua sama dalam kedudukan.Doktrin-doktrin itulah yang menjadi sebuah keberatan bagi mereka yang ingin memeluk agama Islam.

Selain itu, sejak zaman pra-Islam, Mekkah sudah menjadi tempat untuk transaksi ekonomi, yang kemudian banyak para pedagang singgah ke Arab untuk menuju Yaman, Syam, Mesir, dan sebagainya. Mekkah menjadi salah satu tempat yang harus dilewati untuk menuju ke tempat-tempat tersebut sehingga banyak dari mereka singgah untuk beribadah dan menyembah berhala di Kakbah.

Mekah pada saat itu menjadi pusat perdagangan dan juga arena kompetisi para sastrawan. Tentunya bagi mereka dakwah Islam yang bersifat antipaganisme akan membuat nilai-nilai dari kafilah Mekkah sebagai pusat perdaganagn menjadi mati. Dari sini kini kita dapat tahu bahwa penyangkalan terhadap kebenaran memang disebabkan karena vested inverest.

Nonmuslim Tidak Mesti Kafir

Maka, kita bisa mengambil kesimpulan jikamereka-mereka itu belum mengetahui Islam sama sekali. Juga mereka yang karena jauhnya tempat mereka dari peradaban Islam serta mereka belum juga mendapatkan argumen-argumen yang jelas dan benar mengenai Islam. Orang-orang tersebut tidak serta merta dapat sebut kafir.

Para ulama salaf dan khalaf belakangan juga berpendapat demikian. Keharusan pemilikan ilmu yang benar-benar tegak dan menyakinkan adalah dasar mereka menerima atau menolak ajaran Islam.

Senada dengan pendapat tersebut, al-Ghazali berpendapat bahwa orang-orang nonmuslim yang tidak sampai kepadanya dakwah tidak dapat disebut sebagai kafir. Bahkan, Ibnu Taimiyah berpendapat dalam Majma Fatawa, seseorang tidak dapat dikafirkan sampai tegaknya hujjah argumentasi yang mayakinkan.

Baca Juga  Ahlussunnah wal Jama’ah: Sejarah dan Pemikiran Akidah

Dari pandangan-pandangan di atas, akhirnya kita dapat tahu bahwa nonmuslim yang tulus dalam memilih dan menyakini keyakinannya tidak serta merta dapat disebut sebagai kafir atau menutupi keyakinannya terhadap suatu kebenaran. Wallahua’lam.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis islam dan Anggota Intellectual Movement Community (IMC) Institut Agama Islam Negeri Jember
Articles
Related posts
Kalam

Inilah Tujuh Doktrin Pokok Teologi Asy’ariyah

3 Mins read
Teologi Asy’ariyah dalam sejarah kalam merupakan sintesis antara teologi rasional, dalam hal ini adalah Mu’tazilah serta teologi Puritan yaitu Mazhab Ahl- Hadits….
Kalam

Lima Doktrin Pokok Teologi Mu’tazilah

4 Mins read
Mu’tazilah sebagai salah satu teologi Islam memiliki lima doktrin pokok (Al-Ushul al-Khamsah) yaitu; at-Tauhid (Pengesaan Tuhan), al-Adl (Keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa’id…
Kalam

Asal Usul Ahlussunnah Wal Jama'ah

2 Mins read
Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan pemahaman tentang aqidah yang berpedoman pada Sunnah Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ahlussunnah Wal Jama’ah berasal dari tiga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds