Perspektif

Nostalgia 1998, Akankah Mahasiswa (Kembali) Menang?

4 Mins read

Oleh: Achmad Santoso*

Sudah dua dekade berlalu sejak aksi demonstrasi mahasiswa mengutuk rezim Orde Baru 1998. Kala itu, ribuan mahasiswa tumplek bleg di Jakarta, terutama saat menggeruduk gedung DPR. Kini, gelombang massa mahasiswa kembali menyapa pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Lagu-lagu seperti Darah Juang dan Totalitas Perjuangan kembali gemuruh berkumandang. Sangat terasa nuansa nostalgia 1998, lalu akankah mahasiswa kembali menang?

Selama mengikuti atau mengamati aksi demo sejauh ini, gerakan massa (mahasiswa, rakyat sipil, bahkan siswa) kali ini tampaknya adalah yang terakbar semenjak aksi 1998. Saya kemudian takjub sekaligus bertanya-tanya, tetapi retoris, apa yang paling menggerakkan mereka sehingga bisa sesolid dan segempita ini?

Di Balik Aksi 2019

Seorang kawan dalam percakapan di sebuah pesan instan WhatsApp berpendapat, “Sepertinya aroma romantisme kental banget ini.” Saya menangkap apa yang dimaksud kawan saya yang eks aktivis pengagum berat Kuntowijoyo itu: nostalgia.

Tentu ia menyampaikannya bukan untuk menegasikan. Lantas ia khawatir, ada “krisis akademisi” sehingga massa berpotensi tidak kuat melawan rezim. “Yang pintar-pintar sekarang ada di lingkaran kekuasaan,” ucapnya.

Di samping pintar, memang banyak alumnus aktivis 1998 yang vokal yang sekarang bertengger di pusat kekuasaan. Sebut saja Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, Fadli Zon, hingga Fahri Hamzah. Meme-meme soal ini juga tersebar luas di Facebok beberapa waktu belakangan.

Mereka tiba-tiba jadi seirama dengan jenderal “gaek” andalan Jokowi semacam Wiranto dan Luhut Binsar Pandjaitan. Dua orang yang pernyataannya tak jarang mengundang celaan publik.

Romantisme dan Nostalgia Gerakan 1998

Aksi mahasiswa tahun ini tentu berbeda konteks dengan gerakan 1998. Jika 1998 ingin mengeliminasi Orde Baru, dalam hal ini Soeharto beserta kroni-kroninya, ke luar dari istana alias memulangkannya ke Cendana. 2019 ini sasarannya lebih pada undang-undang seperti revisi UU KPK, KUHP, dan RUU kontroversial lain. Ada juga yang menggugat agar diselesaikannya persoalan kebakaran hutan, konflik di Papua, dan menolak TNI-Polri masuk ke ranah sipil. Oleh sebab itu, sasarannya tentu bukan menggusur pemerintahan yang sah. Tetapi meminta untuk dibatalkannya undang-undang yang sarat kontroversi itu.

Baca Juga  Siti Marjinal dan Fikih Mapan

Kendati demikian, aksi 2019 kali ini seperti deja vu 1998. Di samping gelombang massa yang besar di berbagai kota di Indonesia, ada kesamaan-kesamaan lain: anarkisme aparat hingga berujung tewasnya demonstran. Disusul dengan diciduknya aktivis semacam Dandhy Dwi Laksono.

Tahun 1998 silam, para aktivis juga diculik dan bahkan dihilangkan. Dalam proses demonstrasi pun, beberapa aktivis meninggal akibat tindakan semena-mena dan represifnya aparat.

Represivitas Aparat

Namun, dalih-dalih aparat selalu sama belaka. Pimpinan mereka senantiasa bilang bahwa aksi berjalan kondusif, padahal realitas di lapangan tidaklah demikian. Aparat bertindak brutal kepada mahasiswa. Aparat juga kerap mengklaim bahwa pengunjuk rasa yang memulai terlebih dulu sehingga mereka hanya merespons. Jawa Pos edisi Rabu (25/9/2019), misalnya, menampilkan judul besar dengan bunyi: MAHASISWA BABAK BELUR. Perhatikan narasi Jawa Pos berikut.

Polisi langsung masuk ke area DPRD Sulsel. Mereka bersiaga dengan tameng. Polisi lain mulai menembakkan gas air mata. Wartawan Fajar yang berada di lokasi demo sempat merasakan pedihnya gas air mata yang menyebar di halaman gedung DPRD. Mahasiswa membalas tembakan gas air mata dengan lemparan batu. Adu lempar dari jarak yang berdekatan itu berlangsung beberapa menit. Polisi langsung merangsek keluar setelah mahasiswa mengosongkan jalanan di depan gedung DPRD Sulsel. Saat itulah aparat bertindak represif mereka menangkapi satu per satu mahasiswa yang diduga menyebabkan keributan.

Mahasiswa yang bersembunyi di rumah atau kios penduduk diciduk sejumlah aparat. Pentungan dan bogem menta mendarat di sekujur tubuh. Bahkan, tak jarang berbuah bocor di kepala. Darah mengucur tak terkira.

Beberapa mahasiswa yang menggotong teman perempuannya yang pingsan juga dihajar aparat. Mereka ditendangi dengan membabi buta. Makin lama, aksi represif menjadi-jadi. Mahasiswa yang menyelamatkan diri ke permukiman warga juga diburu.

Di samping babak belur, tiga demonstran juga meninggal. Yang paling ramai diperbicangkan ialah meninggalnya Randi, usia 21 tahun, mahasiswa Universitas Haluoelo (UHO). Sebab, ia tewas akibat diterjang peluru, sangat dimungkinkan dilakukan aparat.

Baca Juga  Islam itu Mudah, Salafi lah yang Bikin Susah

Aksi pembelaan terhadapnya juga menggelegar di mana-mana. Tak terkecuali rencana unjuk rasa di Polda Jatim Senin lusa (30/9) oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Pasalnya, Randi diketahui merupakan salah satu kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Nostalgia 1998, Akankah Mahasiswa (Kembali) Menang?

Aksi mahasiswa berlangsung selama beberapa hari. Diawali dari Jakarta, Yogyakarta, hingga Malang. Lantas, Surabaya menggenapi aksi tersebut pada Rabu-Kamis (25-26/9). Termasuk kota-kota besar di luar Jawa. Seorang sumber demonstran berujar, demo di Surabaya terjadi belakangan agar gelombang aksi tidak putus alias berlangsung secara bergelombang. Dengan begitu, pemberitaan di media, misalnya, takkan putus.

Tuntutan paling utama mahasiswa tampaknya adalah pembatalan revisi UU KPK. Hal itu dapat kita terka salah satunya dari judul Jawa Pos yang fokus pada UU lembaga antirasuah tersebut. Di antaranya, Mahasiswa Makin Semangat Tolak Revisi UU KPK, Tuntut Batalkan UU KPK dan RUU Kontroversial, hingga Jangan Ragu Rilis Perppu. Nah, pembatalan memang bisa diperoleh melalui dua jalur: penerbitan Perppu atau banding ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut hemat saya, mahasiswa akan kian kuat jika didukung dan dibantu oleh akademisi, LSM, maupun aktivis di luar mereka. Termasuk hadirnya media massa yang pro dan tidak “nyinyir” terhadap gerakan ini. Lahirnya fenonema dosen yang mendukung aksi mahasiswa tentu menjadi kabar baik. Salah satunya dilakukan oleh dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, David Efendi, yang sempat viral dan menjadi perbincangan luas di lini masa media sosial.

***

Gelombang tekanan bertubi-tubi, hemat saya, akan membuka mata hati pemerintah, terutama Presiden, untuk serius memikirkannya. Bahan memungkinkan untuk tidak bisa tidur nyenyak. Nah, Kamis lalu presiden menyatakan kesiapannya untuk mengkaji penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.

Baca Juga  Sejarah Haji Indonesia (2): Peran Kemenag Bersama Yayasan PHI

Ini tentu menjadi kabar baik bagi jalan “kemenangan” mahasiswa. Meskipun, rencana itu tetap harus dikawal sampai tuntas. Karena itulah, ikhtiar ini memang memerlukan energi yang cukup besar. Namun, dalam nostalgia 1998, akankah mahasiswa (kembali) menang?

Memang, saya menengarai tidak semua tuntutan bakal disetujui oleh pemerintah. Jika tidak puas, kita, segenap pengunjuk rasa, harus menempuh jalur akhir, yaitu melalui MK. Di titik inilah mahasiswa perlu mendapat bantuan amunisi yang cukup banyak dari luar agar gol bisa tergapai.

Apabila tuntutan-tuntutan itu akhirnya terkabul, mahasiswa berhak menyandang status “pemenang” seperti halnya kemenangan 1998. Kemenangan yang juga milik rakyat, milik seluruh bangsa.

 

*Editor bahasa Jawa Pos, Aktivis muda Muhammadiyah Jawa Timur

Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds