Perspektif

NU Larang Keras Warganya Berpolitik Identitas

4 Mins read

Mengaitkan Nahdlatul Ulama (NU) dengan politik selalu menjadi topik hangat. Perbincangan terbaru misalnya seputar pemilihan bakal calon wakil presiden. Dari ketiga calon yang sering disebut namanya, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, ketiga-tiganya dikabarkan sedang mencari pasangan dari tokoh NU. Muncullah nama Rois Am Pengurus Besar NU (PBNU) KH. Miftahul Akhyar, mantan ketua umum KH Said Aqil Sirodj, tokoh NU yang sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal KH. Nazaruddin Umar, sampai tokoh-tokoh lainnya seperti Mahfud MD, Khofifah Indar Parawansa, dan lain-lain. Ini menandakan bahwa NU menjadi perhatian khusus di mata para aktivis partai. Ada semacam keistimewaan dalam tubuh NU sehingga ia menjadi rebutan hampir di setiap ajang pemilihan umum (pemilu). 

Setidaknya ada dua faktor X mengapa para politisi selalu ingin dekat dengan NU. Pertama, NU memiliki anggota dengan jumlah fantastis, baik struktural maupun kultural. Hasil survei Litbang Kompas Mei 2023 mengatakan 61,7 persen rakyat Indonesia mengaku sebagai warga NU. Dalam kacamata politik pragmatis, jumlah yang besar ini sangat potensial meningkatkan perolehan suara. Menjelang pemilihan presiden 2024 yang mensyaratkan kemenangan dengan perolehan suara 50 persen plus, dukungan warga NU dengan jumlah sebanyak itu sangatlah penting didapatkan (Fealy, 2005; Hamayotsu, 2009).

Kedua, jumlah warga NU yang banyak disertai dengan loyalitas yang tinggi pula. Relasi antara santri dan kyai dalam tubuh NU sangatlah erat. Ada semacam istilah sami’na wa atho’na “mengikuti apapun perintah kyai”. Doktrin ini sangat kuat dalam tubuh NU. Politisi melihat keuntungan besar dalam menggerakkan suara politik kaum nahdliyin lewat instrumen doktrin tersebut (Geertz, 1960; Dhofier 1985; Umam, 2011).  

Namun pertanyaannya, akankah NU berkenan digunakan sebagai modal kekuatan politik partai atau capres tertentu? Lebih jelas lagi, maukah NU dimanfaatkan dalam dunia politik?. Muncul pertanyaan-pertanyaan lain setelahnya. Tapi pertanyaan paling mendasar sebenanya, Apakah NU ber-politik?

Baca Juga  Konversi Hagia Sophia dan Simbolisasi yang Menjenuhkan

Apakah NU Berpolitik Praktis?

Fakta di lapangan, jika yang dimaksud adalah politik praktis pragmatis, begitu juga politik elektoral, politik identitas, atau apapun istilah sejenisnya, maka jelas jawabanya adalah NU tidak cawe-cawe dalam ranah itu. Istilah-istilah semacam itu sangat dihindari dan dijauhi oleh NU. Sikap NU dalam ber-politik sebenarnya sudah jelas, tegas, tidak terjun dalam dunia politik praktis. Sebagai asas prinsip, NU bukan dan tidak akan pernah menjadi partai politik.

NU memiliki rekam sejarah yang cukup berwarna dalam dunia politik. NU memang pernah menjadi partai politik pada 1952. Ketika itu NU aktif bergerak sebagaimana partai politik biasanya. Singkat kata, waktu itu NU memainkan peran politik aktif praktis. Tahun 1955 NU mengikuti pemilu untuk pertama kalinya sebagai sebuah partai. Seiring berjalannya waktu, tahun 1983 dalam Munas Nasional (Munas) di Situbondo Jawa Timur, NU mentalak tiga politik praktis. NU tidak lagi menjadi partai politik dan kembali pada asal mula fungsi diberdirikannya yaitu jam’iyah diniyyah ijtima’yah. NU kembali fokus sebagai organisasi Islam yang berjuang dalam ranah kemasyarakatan dan keagamaan. Muncullah kemudia istilah kembali ke khittah NU 1926

Muncullah kemudian istilah politik tingkat tinggi “siyasah ‘aliyah samiyah” dicetuskan oleh KH. Sahal Mahfudz (Rais ‘Aam PBNU 1999-2014), muncul juga istilah politik kebangsaan, politik kemanusiaan, dan lain sebagainya. Model politik seperti itulah yang coba diperankan oleh NU. Jika yang dimaksud adalah individu perorangan, NU tidak pernah melarang warga nahdliyin terlibat aktif dalam partai politik tertentu, namun tidak atas nama organisasi. Prinsip tersebut tertuang jelas dalam sembilan pedoman berpolitik warga NU hasil Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak,Yogyakarta.

Baca Juga  Nahdlatul Ulama vs Jokowi: NU Normal?

Meminjam istilah Bahtiar Efendy (2000), NU memainkan peran politik substansialistik, bukan politik formalistik. Sebenarnya istilah ini hampir sama dengan siyasah ‘aliyah samiyah yang dipopulerkan oleh Kyai Sahal. Politik substansialistik adalah politik yang lebih mengutamakan isi dan tujuan, bukan pada bungkus.

NU Bukan Kendaraan Politik Praktis

KH. Yahya Cholil Tsaquf atau Gus Yahya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dalam banyak kesempatan selalu mengingatkan bahwa NU bukan kendaraan politik. NU bukan tumpangan bagi para aktivis politik dalam merayu dan meraup suara kaum nahdliyyin. Gus Yahya selalu menegaskan prinsip itu. Yang terbaru misalnya ketika Gus Yahya menjawab pertanyaan awak media di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (9/6/2023).

Begitu juga beberapa waktu lalu ketika PBNU menerima kunjungan dari PP Muhammadiyah (Kamis, 25/5/2023), Gus Yahya kembali mengingatkan bahwa warga NU dilarang menggunakan identitas NU sebagai modal politik, apalagi bukan warga NU. “Siapapun, walaupun orang NU enggak boleh menggunakan identitas NU sebagai modal politik, dia harus punya kredibilitasnya sendiri, harus punya prestasinya sendiri, dia harus punya tawarannya sendiri, bukan hanya sekedar mengandalkan asal NU saja,” kata Gus Yahya ditemui di Kantor PBNU, Kamis (25/5/2023).

Antara Idealitas dan Realitas

Namun lewat tulisan ini penulis hendak memberikan sedikit tilikan atas realita yang terjadi. Dalam pengamatan penulis, ada semacam perbedaan antara fakta ideal yang dipegang teguh oleh NU dengan realita yang terjadi di lapangan. Menurut penulis, prinsip ideal yang dimiliki NU masih belum maksimal berjalan dan diterapkan di lapangan. Realita berbicara bahwa NU, atau setidaknya kader-kader NU masih bermain dan mengambil peran dalam dunia politik praktis dengan menggunakan baju kebesaran NU sebagai penglaris dan pemanis. Jika hal ini mungkin sedikit terjadi di kalangan tokoh elit NU, tapi realita di daerah (grassroot) tidak dapat dimungkiri. Tidak sedikit warga NU yang masih menggunakan politik identitas ke-NU-annya untuk meraup suara pendukung.

Baca Juga  KH Achmad Shiddiq dan Konsep Trilogi Ukhuwah

Dan rupanya, realita ini disadari oleh Gus Yahya. Buktinya, Gus Yahya selalu menegaskan, tidak hanya sekali, tapi berkali-kali, bahwa NU tidak bisa dijadikan modal politik. Jika realita di lapangan aman-aman saja, tidak mungkin Gus Yahya selalu mengingatkan prinsip tersebut. Oleh karenanya, dalam pandangan penulis, Gus Yahya cukup gelisah dan geram terhadap warga NU ataupun siapa saja yang masih menggiring NU ke dalam dunia politik praktis. Oleh karenanya, kegelisahan dan kegeraman Gus Yahya yang ditampilkan lewat pidato berulang-ulang kali tentang prinsip NU terjadi karena dua hal. Satu, banyak pihak luar yang ingin membawa NU dalam pusaran politik praktis, kedua tidak sedikit orang dalam NU sendiri yang masih menggunakan NU sebagai baju politik. Bahkan, Gus Yahya secara rutin melakukan kunjungan ke beberapa pesantren dalam rangka meminta tolong agar para kyai pesantren turut membantu menjaga prinsip berpolitik NU. Gus Yahya meminta agar para kyai tidak masuk dalam pusaran politik praktis, elektoral, maupun juga identitas.

NB: Artikel ini adalah hasil kerjasama antara INFID dan IBTimes.ID.

Editor: Yahya FR

Muhammad Yaufi Nur Mutiullah
2 posts

About author
Kader Muda Nahdlatul Ulama, Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds