Mula-mula, saya membayangkan perdebatan sengit di facebook pada tahun-tahun awal 2014 dengan seorang senior di pondok yang sedang menyelesaikan kuliahnya di Yaman. Saat ini, ia tercatat aktif di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta.
Pokok perdebatan kami tidak begitu menarik, seputar soal mengambil sumber teks pemikiran keagamaan yang secara epistemologis bermasalah. Polemik kecil beberapa tahun silam itu tiba-tiba muncul seturut perdebatan pada beranda facebook yang ramai—oleh Mun’im dan Nuruddin.
Saya bergumam, masih relevankah perdebatan soal Barat dan Timur dalam naskah-naskah akademik kita—yang, meski kita sama-sama menyadari tentang bias-bias ideologi di dalamnya. Tapi, bukankah antara Barat dan Timur sudah tidak berbatas? Dihubungkan oleh perangkat lunak yang demikian cerdas, pun begitu juga dengan akses terhadap kerja-kerja ilmiah. Batas-batas itu kian menipis.
Pada dasarnya para sarjana baik terdahulu maupun sekarang, tidak bisa melepaskan bias subjektif dalam pikiran-pikirannya, bukan berarti mustahil bagi seseorang untuk masuk menerobos sebuah objek kajian yang mendekati objektif—dengan penegasan, objektivitas mutlak itu tidak mungkin ada. Silang pendapat yang timbul kemudian membelah pembaca ke dalam dua kelompok. Pendukung Mun’im atau Nuruddin. Yang, sejatinya tak sesederhana itu.
Sepanjang Perdebatan
Sepanjang debat-jawab berlangsung lebih dari dua arah itu, maksudnya tidak terjadi hanya pada dua orang. Tidak satupun opini atau komentar yang menitik-beratkan kepada pijakan nalar epistemik mereka yang berbeda.
Masing-masing terjebak pada detail-detail pembahasan yang rigid; seringkali melebar dari substansi, kurang mampu memunculkan helicopter view. Alih-alih argumen yang berkembang terbatas pada ‘gambar yang sempit’. Cara pandang yang menyempit-mendetail menghilangkan struktur berpikir yang lebih luas. Dengan kata lain, absennya pembahasan soal kerangka berpikir.
Mun’im, yang pada 2012 menyelesaikan disertasinya di Chicago dan menerbitkannya di Indonesia dengan judul “Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformid Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama Lain” tahun 2013 itu dianggap telah melenceng dari garis-garis ‘agama’—pakem yang lumrah. Lantas, apa yang dimaksud oleh Nuruddin sebagai melenceng?
Dari pembacaan sekilas, Nuruddin membela ‘ortodoksi’ agama yang dipahami olehnya melalui teks-teks keagamaan. Baginya, seperti halnya pemeluk agama pada umumnya yang memberikan porsi lebih pada emosi keagamaan, teks-teks agama ialah sesuatu yang suci.
Tentu. Namun, ia belum bisa membedakan mana ‘teks agama’ (agama itu sendiri) dan ‘penafsiran terhadap agama’ (ilmu-ilmu turunan dari teks agama). Masih menurutnya, dua-duanya dicampur-aduk jadi satu. Macam es campur. Saya tidak ingin mencurigai latar belakang studinya di Kairo—meski, Jasser Auda pada 2012 telah menghimbau pada salah satu sesi diskusi di Malaysia untuk tidak mengirim mahasiswa ke Timur Tengah, termasuk Mesir.
Dalam pada ini, Soroush misalnya, menelurkan teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama. Konsep ini menunjukkan sedikitnya benang merah; apa yang disebut sebagai ‘agama’ dan penafsiran terhadapnya tidaklah sama.
Agama suci. Pemahaman terhadapnya justru sebaliknya; penuh cacat dan temporer. Ketiadaan pemisahan terhadap yang sakral dan yang profan, menyebabkan inkonsistensi signifikan dalam pembacaan, termasuk hilangnya solusi konstruktif terhadap kekosongan epistemik.
Yang Belum Disadari Nuruddin
Sayangnya, Nuruddin di dalam pembelaannya—untuk dirinya, bukan agama, tidak menyadari perbedaan pijakan epistemik ini. Mun’im berangkat dari perspektif studi agama-agama yang notabene mengambil jarak dengan objek telaah.
Sementara Nuruddin melibatkan emosi keagamaan (dalam bahasa Ian G. Barbour, personal commitment). Ia merasa, studi kritik terhadap al-Qur’an (baca: penafsiran terhadap al-Qur’an) bagian dari tindakan merongrong wajah suci agama.
Demikian, agama dalam pemahaman Nuruddin masih dalam taraf normatif-nya saja. Ia tidak menyadari teks agama butuh meminjam bahasa-bahasa semiotik-linguistik untuk sampai pada pembaca.
Bahasa-bahasa itu sifatnya terbatas ruang-waktu. Oleh karena keterbatasan itu, mustahil menganggap teks-teks turunan dari ‘agama’ (ilmu tafsir, akidah, tasawuf, fiqh, etika, dll) suci dari keterputusan epistemologis. Suci dari cacat.
Justru, selayaknya ilmu-ilmu lain, ilmu-ilmu keagamaan—tidak memilih diksi ilmu agama, penegas bagi ketidaksucian upaya mendekati agama, sebab orang-orang sudah terlanjur memahami ilmu agama sama dengan ilmu yang suci; mengalami perkembangan dan pembekuan.
Doktrin berbau agama selalu suci mengingatkan kita pada abad pertengahan Eropa yang gelap. Bagi kelompok yang bertentangan dengan Gereja—sebagai otoritas keagamaan, layak dimusnahkan. Opini-opini Nuruddin setali mata uang dengan yang terjadi di abad-abad tersebut. Persis!
Pada konteks itu, ilmu-ilmu keagamaan (baca: studi) sebagaimana juga dituangkan dalam disertasi dan buku-buku Mun’im mesti ditempatkan sejajar dalam konteks produksi pengetahuan. Apalagi, disertasi yang Mun’im tulis memang sengaja dimaksudkan bagi terbukanya ruang-ruang diskursif yang lebih luas.Bukan produksi keimanan.
***
Jika pun keimanan bertambah, ia bonus dari ijtihad-nya. Tuhan sendiri yang akan memberi nilai itu. Sementara rasionalitas dan simpul-simpul epistemik adalah bagian pembaca untuk membedahnya.
Apa yang bisa dilihat kemudian, tidak lebih dari sebuah pengkultusan pemikiran keagamaan (penafsiran terhadap agama oleh otoritas-otoritas tertentu, berdasar klaim kesucian dan sepi dari cacat), yang dalam bahasa Arkoun disebut sebagai ‘taqdis al-afkar al-dini’.
Kalau saja Nuruddin menyadari apa yang ia pelajari di Universitas Al-Azhar dalam soal-soal tafsir dan filsafat, dll adalah turunan dari usaha seseorang melakukan pembacaan terhadap agama atau teks-teks non-agama, ia akan sedikit membuka mata, tidak pulas dalam buai fanatisme. Slogannya tentang pembelaannya terhadap kebenaran ialah kebenaran dalam pengertian yang sempit—ortodoksi yang ia anut dan yakini.
Karakter ortodoksi yang diulang-ulang itu, pada dasarnya diwariskan dari sekitar seribu tahun yang lalu. Tidak berubah. Ia tidak mampu memberikan jawaban yang komprehensif bagi problem-problem baru kemanusiaan. Model keagamaan ini tidak lebih dari proses salin-menyalin, atau kata Hassan Hanafi, sebuah model yang hanya memindahkan bunyi teks ke dalam realitas. Begitu pula Nuruddin.
Usaha yang Sama, Jalan yang Berbeda
Mun’im dan Nuruddin, keduanya sama-sama berusaha mendekati agama. Yang pertama mencoba memberi pengantar pada studi-studi yang telah lalu dengan penjelasan problem-problem dan ruang diskursif telaah ulang.
Sementara yang kedua memilih menerima dan menyalin ulang perspektif lama ‘nalar apologetik mutakallimun’ yang mencoba menyalin teks untuk modal legitimasi ‘kebenaran’ dirinya sendiri. Tentu keduanya tidak sama. Pemikiran keagamaan yang ditampakkan oleh Nuruddin tidak lebih dari suatu alat yang tak memiliki perangkat epistemologis relevan untuk mengurai fakta-fakta; miskin, konformis, dan seringkali polemis. Begitu.
Editor: Yahya FR